Tindakan Anggota TNI ”Datangi” Polrestabes Medan Cederai Prinsip Negara Hukum
Sejumlah elemen kelompok masyarakat sipil menggelar jumpa pers menanggapi peristiwa tentang sekelompok anggota TNI yang mendatangi Polrestabes Medan, Sabtu (5/7/2023).
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
MAWAR KUSUMA WULAN/KOMPAS
Calon perwira remaja dari tiga matra TNI di Upacara Prasetya Perwira (Praspa) TNI-Polri tahun 2023 yang digelar di halaman Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu (26/6/2023). Dalam kesempatan tersebut, Presiden Joko melantik dan mengambil sumpah para calon perwira remaja (capaja) yang berjumlah 833 orang dari matra TNI dan kepolisian.
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok masyarakat sipil menilai insiden sekelompok prajurit TNI yang mendatangi Kepolisian Resor Kota Besar Medan, Sumatera Utara, merupakan bentuk pelecehan terhadap Indonesia sebagai negara hukum. Kejadian yang terus berulang semacam itu memperlihatkan adanya persoalan kultural dan struktural yang belum selesai dari reformasi di sektor keamanan.
Hal itu disampaikan kelompok masyarakat sipil dalam jumpa pers daring, Minggu (6/8/2023), yang diselenggarakan untuk menanggapi peristiwa tentang sekelompok anggota TNI yang mendatangi Polrestabes Medan pada Sabtu (5/7/2023). Sebagaimana dilaporkan Kompas.com, sekelompok personel TNI yang mendatangi Polrestabes Medan terkait dengan status penahanan ARH, seorang tersangka pemalsuan surat keterangan lahan sebuah perusahaan di Sumatera Utara.
Ketua Forum de Facto Feri Kusuma berpandangan, peristiwa semacam itu tidak terjadi pertama kali, tetapi sudah beberapa kali terjadi dan terus berulang. Peristiwa semacam itu menunjukkan adanya ancaman militer terhadap supremasi hukum, demokrasi, serta penegakan hukum.
”Ini tidak hanya melanggar Undang-Undang tentang TNI, tapi banyak instrumen yang dilanggar. Dari sisi kode etik itu pelanggaran, dari sisi hukum pidana itu pelanggaran, dari sisi hak asasi manusia itu sebagai salah satu bentuk ancaman, dan dari sisi antar lembaga itu semua ancaman,” kata Feri.
Terhadap pelanggaran tersebut, menurut Feri, mestinya para anggota TNI tersebut tidak hanya dikenakan pelanggaran kode etik, tetapi juga dipecat. Sebab, TNI dibentuk untuk mencetak prajurit yang profesional yang tunduk pada Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan hukum, demokrasi dan hak asasi manusia.
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar Ketua Forum de Facto Feri Kusuma
Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai bahwa kejadian di Medan tersebut merupakan bentuk rendahnya penghormatan dan penerimaan anggota TNI terhadap hukum yang ada, termasuk proses penegakan hukumnya. Sikap tersebut tidak hanya sebentuk arogansi, tetapi juga juga anggapan bahwa mereka adalah warga dengan keistimewaan.
”Tindakan main hakim sendiri, penggerudukan, intimidasi yang itu dilakukan terhadap institusi negara itu dianggap normal dan dibenarkan oleh mereka untuk dilakukan. Ini bukan praktik yang baik, melainkan buruk,” ujar Gufron.
Adapun, Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Hadi Wahyudi mengatakan, kedatangan penasihat hukum Kodam I/Bukit Barisan dan beberapa anggotanya ke Polrestabes Medan untuk berkoordinasi terkait status penahanan ARH, saudara dari Mayor Dedi Hasibuan. Hadi mengatakan, kedatangan Mayor Dedi dan beberapa anggotanya untuk mengetahui sejauh mana proses hukum terhadap ARH dalam perkara dugaan pemalsuan surat keterangan tanah yang menjerat ARH.
”Semua ini dalam koridor koordinasi terkait persoalan hukum. Pada prinsipnya, kepolisian profesional dalam menegakan hukum berdasarkan aturan yang berlaku,” ujarnya seperti dikutip dari Kompas.com (6/8/2023).
Kepala Penerangan Kodam I Bukit Barisan Kolonel (Inf) Riko Siagian menyampaikan hal yang sama bahwa Mayor Dedi Hasibuan bertindak sebagai penasihat hukum ARH yang juga merupakan saudaranya. Kapendam juga menyesalkan terkait Mayor Dedi Hasibuan yang membawa anggota TNI mendatangi Kasat Reskrim.
”Kodam I Bukit Barisan dan Polda Sumut solid dan berkomitmen setiap persoalan hukum mempercayakan semua prosesnya terhadap kepolisian. Juga dalam hal ini kepada Polrestabes Medan,” ujar Riko (Kompas.com 6/8/2023).
Bentuk intervensi
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya Saputra berpandangan, yang dilakukan anggota TNI di Polrestabes Medan tersebut bukanlah koordinasi, melainkan intimidasi yang merupakan bentuk intervensi terhadap penegakan hukum. Hal semacam itu termasuk dalam tindakan perintangan terhadap proses hukum (obstruction of justice).
Oleh karena itu, kata Dimas, tindakan semacam itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Selain telah mengganggu independensi hukum, kejadian itu juga menunjukkan arogansi yang ditunjukkan militer yang ternyata masih terus tumbuh dalam diri anggotanya. Hal itu menunjukkan masih perlunya perbaikan di tubuh militer baik secara struktural maupun kultural. Selain itu, peristiwa tersebut sekaligus menegaskan kembali wacana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya Saputra
Menurut catatan peneliti dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Annisa Azzahra, sepanjang tahun 2023, aksi penggerudukan kantor polisi oleh anggota TNI sudah terjadi empat kali, mulai dari puluhan hingga ratusan personel. Tindakan intimidatif semacam itu dipastikan akan memengaruhi proses penegakan hukum yang dijalankan kepolisian sehingga proses penegakan hukum yang jujur, adil, serta bebas intervensi tidak tercipta.
”Jika mereka merasa ada yang salah, seharusnya yang mereka lakukan adalah memberikan laporan adanya proses yang salah, bukan menggeruduk dan mengintimidasi,” kata Annisa.
Berangkat dari peristiwa tersebut, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar memaparkan adanya masalah di dalam reformasi militer yang merupakan bagian dari reformasi di sektor keamanan. Ketika Reformasi tahun 1998 ingin mengembalikan kedaulatan hukum dan menempatkan militer agar bekerja sesuai hukum, tetapi ternyata instrumen untuk mendukung akuntabilitas dalam menjalankan proses itu belum memadai.
Hal itu tampak dari belum direvisinya UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer. Padahal, UU tersebut merupakan instrumen kunci untuk memastikan akuntabilitas dari seluruh tindakan dan pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh TNI. Sebaliknya, UU tersebut justru menciptakan situasi impunitas.
”Situasi yang hampir mirip, hari ini terjadi intimidasi hukum dengan memperlihatkan kekuatan militer. Ini berarti tidak ada jaminan terhadap keberulangan. Ini tentu akan mencederai negara hukum itu sendiri,” tutur Wahyudi.
Untuk menghindari hal serupa, kata dia, revisi UU tentang Peradilan Militer mesti dilakukan. Di sisi lain, kontrol masyarakat sipil harus diperkuat, termasuk mendorong anggota DPR untuk merespons secara keras dan tegas terhadap kejadian semacam itu.
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar
Soliditas artifisial
Melalui keterangan tertulis, Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi berpandangan, kejadian semacam itu akan mendorong terciptanya ”normalisasi intimidasi” penegakan hukum di banyak sektor. Pola penyelesaian semacam itu sudah berulang kali terjadi, seperti sebelumnya terjadi di Kupang dan di Kabupaten Jeneponto pada April lalu, yang semuanya berakhir dengan pernyataan bersama antara perwakilan institusi TNI dan Polri.
”Sinergi dan soliditas artifisial inilah yang membuat kasus serupa berulang dan tidak pernah diselesaikan dalam kerangka relasi sipil-militer yang sehat dalam negara demokratis dan kepatuhan asas kesamaan di muka hukum dalam kerangka negara hukum. Supremasi TNI dengan privilese peradilan militer adalah salah satu penyebab permanen terjadinya normalisasi berupa intervensi penegakan hukum,” terang Hendardi.
Hendardi berharap agar Komando Daerah Militer (Kodam) I/Bukit Barisan memeriksa dan memastikan peristiwa serupa tidak berulang serta memberikan sanksi setimpal terhadap pelanggaran disiplin prajurit. Sementara institusi kepolisian diharapkan menginvestigasi duduk perkara yang memicu normalisasi intimidasi penegakan hukum tersebut.
”Dalam jangka panjang, pekerjaan rumah membangun relasi sipil-militer yang sehat harus terus dilakukan, khususnya oleh presiden dan DPR sebagai institusi pembentuk hukum,” ujar Hendardi.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Presiden Joko Widodo didampingi Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berjalan menuju ruang Rapat Pimpinan TNI-Polri di Jakarta, Rabu (8/2/2023). Pada acara tersebut, Joko Widodo menyampaikan beberapa hal seperti investasi dan hilirisasi, kebakaran hutan, dan menjaga kondusivitas di tahun politik. Presiden juga meminta TNI dan Polri menjaga agar industrialisasi dan hilirisasi berjalan dengan baik dan tidak terjadi gangguan serta agar tidak terlibat dalam politik praktis.