UU Peradilan Militer Mendesak Direvisi, Polemik Korupsi Basarnas Hanya Puncak Gunung Es
Regulasi membuat prajurit TNI yang terjerat korupsi hanya bisa diproses peradilan militer. Ada yang diadili dan dihukum berat, tetapi ada pula yang belum tersentuh. Revisi UU Peradilan Militer jadi mendesak dilakukan.

Ketua KPK Pastikan Penetapan Tersangka Dugaan Korupsi Basarnas Sesuai Prosedur.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer kian mendesak untuk direvisi. Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan dua perwira TNI aktif dalam dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang menimbulkan polemik tak ubahnya puncak gunung es pada penegakan hukum terhadap prajurit TNI aktif yang terlibat korupsi.
Sejak pengadilan militer berada di bawah Mahkamah Agung, terbukti memang ada prajurit TNI yang terjerat kasus korupsi atau pidana umum lainnya diadili secara terbuka. Namun, karena ketentuan undang-undang bahwa prajurit hanya bisa diproses melalui peradilan militer, ada pula prajurit TNI yang sampai saat ini belum tersentuh proses hukum. Padahal, beberapa di antaranya telah diungkap terlibat dalam tindak korupsi di pengadilan umum.
Sebut saja kasus korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland (AW-101). Meskipun nama eks Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purn) Agus Supriatna disebut dalam tuntutan terdakwa dari pihak swasta, ia tak terjerat hukum. Padahal, pemimpin TNI AU 2015-2017 itu disebut bersama-sama dengan terdakwa swasta telah memperkaya diri atau orang lain atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara Rp 738,9 miliar (Kompas, 31 Januari 2023).
Pada 2017, majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi Jakarta dalam pertimbangannya saat menjatuhkan hukuman kepada pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Pertama Bambang Udoyo karena terbukti menerima suap Rp 1 miliar dalam pengadaan proyek satelit pemantauan di Bakamla, memerintahkan agar Laksamana Madya Arie Sudewo yang menjabat sebagai Kepala Bakamla kala itu dilaporkan ke Polisi Militer TNI. Proyek pengadaan satelit itu merugikan negara Rp 402 miliar. Namun, hingga kini Arie tak pernah terdengar diproses hukum lebih lanjut.
Sejak pasca-Reformasi, Ketetapan (TAP) MPR VII Tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk pada peradilan umum jika melanggar hukum pidana umum.
Ketentuan itu pun telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Hanya hingga kini, ketentuan itu belum dapat diimplementasikan mengingat ada Pasal 74 di UU TNI yang juga mengatur bahwa ketentuan tersebut berlaku setelah ada UU baru terkait peradilan militer.
Baca juga: Kasus Basarnas, TNI Minta KPK Patuhi Prosedur Hukum

Pengamat menilai tidak ada yang salah dengan penyidik KPK saat tangani korupsi di Basarnas.
Tak ayal, langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan dua perwira TNI aktif sebagai tersangka pada kasus korupsi di Basarnas dipersoalkan karena dipandang menyalahi aturan yurisdiksi peradilan militer meski penetapan itu berangkat dari operasi tangkap tangan (OTT). TNI menilai seharusnya kasus itu diserahkan kepada Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Polemik pada penanganan kasus ini menguat, antara lain, saat Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan permintaan maaf atas OTT di Basarnas terhadap prajurit aktif TNI, yakni Kepala Basarnas periode 2021-2023 Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto. Diduga, dalam kurun waktu 2021-2023, Henri bersama dan melalui Afri menerima Rp 88,3 miliar dari berbagai vendor proyek di Basarnas.
Permintaan maaf itu disampaikan Tanak seusai bertemu Komandan Pusat Polisi Militer TNI Marsekal Madya Agung Handoko, Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda TNI Julius Widjojono dan jajaran pejabat TNI lainnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (21/7/2023).
Adanya polemik ini, masyarakat sipil pun menyuarakan agar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer direvisi agar anggota TNI aktif yang terlibat kasus korupsi ataupun pidana umum dapat diproses di peradilan sipil atau umum. Dorongan yang selaras dengan iklim demokrasi saat ini, yakni transparansi dan akuntabel.
Kisruh antara TNI dan KPK ini menegaskan kembali urgensi reformasi peradilan militer. Sebab, kata Al Araf, secara politik hukum UU Peradilan Militer dahulu lahir untuk melanggengkan impunitas.
Tidak melanggar yurisdiksi
Bagi koalisi masyarakat sipil yang peduli pada isu reformasi militer, pernyataan pimpinan KPK itu dianggap menunjukkan sikap tak tegas. Sebab, Pasal 42 UU No 30/2002 sebagaimana diubah dengan UU No 19/2019 tentang KPK menyebut KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
”Selemah-lemahnya iman, KPK bisa menggunakan pasal itu untuk tetap menyidik perkara yang melibatkan prajurit TNI aktif,” kata peneliti Centra Initiative, Al Araf, saat dihubungi, Senin (31/7/2023).
Kisruh antara TNI dan KPK ini menegaskan kembali urgensi reformasi peradilan militer. Sebab, kata Al Araf, secara politik hukum UU Peradilan Militer dahulu lahir untuk melanggengkan impunitas. TNI yang tidak mau direformasi enggan mengakui supremasi hukum. Mereka masih ingin menjadi warga negara kelas I yang bebas dari jeratan hukum saat melanggar aturan hukum.
Baca juga: Ketua KPK: Penetapan Pelaku Dugaan Korupsi di Basarnas Sesuai Prosedur Hukum

Ia juga sepakat bahwa keberadaan UU Peradilan Militer itu sudah tidak relevan lagi. Sebab, Pasal 3 Ayat 4 (a) Ketetapan (TAP) MPR VII Tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan agar prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Aturan itu juga dipertegas dalam Pasal 55 Ayat 2 dalam Undang-Undang No 34/2004 tentang TNI di mana prajurit harus tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer, sebaliknya tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
”Langkah KPK meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Basarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi adalah tindak pidana khusus sehingga mekanisme peradilan militer bisa diabaikan dengan dasar asas lex specialist derogate lex generalis atau undang-undang yang khusus mengesampingkan yang umum,” tegas Araf.
Alih-alih meminta maaf, masyarakat sipil mendesak KPK untuk tetap mengusut tuntas kasus itu. Sebab, jika kasus ditangani Puspom TNI, dia khawatir hal itu akan menghalangi pengungkapan kasus secara lebih transparan dan akuntabel. Mereka juga khawatir permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya bisa menjadi jalan impunitas.
Skeptisisme masyarakat sipil ini punya alasan mendasar. Sebab, dalam kasus korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland (AW-101), meski nama eks Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purn) Agus Supriatna disebut dalam tuntutan terdakwa dari pihak swasta, ia tak terjerat hukum.
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono, saat dikonfirmasi, Selasa (1/8/2023), justru mempertanyakan kritik dari masyarakat sipil yang menurut dia kurang obyektif. Selama ini, TNI sudah cukup tegas dalam menindak kasus korupsi di internal mereka. Salah satu buktinya adalah pada 2016, Brigadir Jenderal Teddy Hermayadi divonis penjara seumur hidup dalam kasus korupsi alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI di Kementerian Pertahanan. Selain divonis seumur hidup, Pengadilan Militer tingkat II di Jakarta Timur juga meminta jenderal bintang satu itu mengembalikan kerugian negara sebesar 12.409 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 130 miliar dan disanksi berat dipecat dari TNI.
”Masyarakat sipil tolong lebih obyektif melihatnya. Apakah mereka ini melihat problem yang diselesaikan TNI betul-betul secara akademis atau ada muatan-muatan tertentu? Puspom TNI sudah pernah memutus tegas kasus Brigjen Teddy tahun 2016 yang dihukum seumur hidup,” ujarnya.
Baca juga: Kasus Dugaan Korupsi di Basarnas, Puspom TNI Jamin Penegakan Hukum
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F11%2F19%2Ff3f91724-8b35-4357-aab1-05e2c96d3859_jpg.jpg)
Ilustrasi. Empat dari tujuh anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang diadili di Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) III Surabaya, Senin (21/4/2003), divonis bersalah dan dipidana penjara yang beragam dalam kasus terbunuhnya Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay. Tujuh anggota Kopassus dihukum beragam antara dua hingga 3,5 tahun penjara dan empat di antara mereka dipecat dari dinas militer.
”Sudah ada kasus korupsi yang divonis berat seumur hidup, salah satunya diputus di pengadilan militer, itu apa komentar dari masyarakat sipil? Tolong dibaca dulu, baru dikomentari,” imbuhnya.
Ia meminta agar masyarakat sipil melihat perkara ini secara lebih umum dan global, jangan hanya secara parsial dan sepotong-potong. Dia juga meminta agar isu ini disikapi dengan bijak agar tidak dijadikan alat oleh pihak tertentu untuk memecah belah atau mengadu domba bangsa.
Terdapat rahasia negara
Mantan hakim militer Brigadir Jenderal (Purn) Deddy Suryanto mengatakan, sejak pascareformasi, tepatnya tahun 2004, pengadilan militer berada satu atap dengan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, pengadilan militer juga menerapkan prinsip-prinsip seperti pengadilan umum, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan agama. Pengadilan militer pun sudah memiliki sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) seperti di pengadilan umum.
Deddy berpandangan, dengan prinsip itu aspek transparansi dan akuntabilitas yang menjadi prasyarat pascareformasi sudah terpenuhi. Saat menjabat sebagai hakim militer pun, menurut dia, dirinya kerap menjatuhkan vonis yang lebih berat dari tuntutan oditur (jaksa) militer.
Sejak pascareformasi, tepatnya tahun 2004, pengadilan militer berada satu atap dengan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, pengadilan militer juga menerapkan prinsip-prinsip seperti pengadilan umum.
Saat menangani kasus korupsi di kalangan prajurit TNI, Deddy memang kerap menjatuhkan vonis tegas. Vonis hukuman seumur hidup terhadap Brigadir Jenderal Teddy Hermayadi dalam kasus korupsi alutsista TNI di Kementerian Pertahanan, salah satunya, dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai oleh Deddy pada akhir 2016.
Beberapa bulan kemudian, pada 2017, Deddy dengan majelis hakim yang dipimpinnya kembali menjatuhkan hukuman empat tahun enam bulan penjara kepada pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Pertama Bambang Udoyo karena terbukti menerima suap Rp 1 miliar dalam pengadaan proyek satelit monitoring di Bakamla. Adapun korupsi pada proyek satelit ini merugikan negara hingga Rp 402 miliar.
Dalam pertimbangan putusannya, dia bahkan menyarankan agar Kepala Bakamla saat itu Laksamana Madya Arie Sudewo dilaporkan ke penyidik POM TNI terkait dugaan keterlibatannya dalam korupsi pengadaan satelit monitoring tersebut. Kendati demikian, hingga kini tak terdengar Arie diproses hukum untuk dugaan korupsi di Bakamla.
”Undang-undang kekuasaan kehakiman mengatur bahwa ada empat kamar peradilan. Kenapa kemudian terdakwa militer tidak bisa diadili di pengadilan umum? Itu karena kalau terbukti melakukan kesalahan, dia langsung dipecat dari dinas militer,” kata Deddy.
Baca juga: Mahfud MD: Lanjutkan Penegakan Hukum Dugaan Korupsi Basarnas

Laksamana Pertama Bambang Udoyo selaku terdakwa meninggalkan pengadilan seusai menjalani sidang kasus proyek pengadaan satelit monitoring Bakamla di Pengadilan Militer Tinggi II, Jakarta Timur, Rabu (1/11/2017). Mantan Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla itu didakwa menerima suap senilai 105.000 dollar Singapura atau sekitar Rp1 miliar terkait proyek pengadaan satelit monitoring Bakamla.
Terkait transparansi terhadap publik, berdasarkan pengalaman Deddy menjadi hakim militer, tidak semua pertimbangan hukum majelis militer bisa dibuka secara blak-blakan kepada publik. Misalnya, alasan majelis tidak memecat terdakwa tertentu karena keahliannya masih dibutuhkan dalam strategi perang atau pertahanan dan keamananan negara. Jika hal itu dibuka secara terang benderang kepada publik, dikhawatirkan justru akan membuka strategi perang yang bisa dipelajari pihak musuh.
”Akuntabilitas dan transparansi tetap bisa diawasi oleh publik. Tetapi, tentu saja tidak bisa seterbuka pengadilan umum karena ada informasi yang bersifat rahasia karena menyangkut keamanan negara,” ucapnya.
Usulan dari pemerintah
Dengan adanya polemik penanganan kasus korupsi di Basarnas, pemerintah juga mulai membuka wacana terbukanya kemungkinan dilakukannya revisi terhadap UU Peradilan Militer. Salah satunya disampaikan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Jumat (4/8/2023). ”Kalau revisi (aturan perundang-undangan) itu menjadi biasa, lha. Dalam waktu sekian lama setelah pelaksanaan, ada hal-hal yang dirasa perlu direvisi. Saya rasa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 juga sama, ada hal-hal yang perlu disempurnakan supaya sesuai tuntutan keadaan,” tutur Wapres Amin.
Sebelumnya, wacana serupa disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik. Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Ia mengungkapkan bahwa usulan revisi UU Peradilan Militer akan dicatat untuk dipertimbangkan. ”Nanti kami agendakan, kan, sudah ada di Prolegnas, ya, di Prolegnas jangka panjang. Nanti kita bisa bicarakan, kapan prioritas dimasukkan. Saya sependapat itu perlu segera dibahas,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum, Rabu (2/8/2023), mengungkapkan, inisiatif untuk revisi UU Peradilan Militer memang sebaiknya berasal dari pemerintah. Sebab, UU No 31/997 tersebut merupakan undang-undang teknis.
”Mestinya pemerintah yang menyiapkan, sebagai inisiatornya. Kami yang membahas. Tentu memberikan DIM (daftar inventarisasi masalah)," kata Arsul. Ditanya lebih lanjut apakah revisi tersebut menjadi sesuatu yang urgen, ia mengungkapkan, ”Saya kira iya. Karena sebetulnya hampir 20 tahun lalu UU TNI sudah mengamanatkan itu, tetapi belum dilaksanakan.”
Seperti diketahui, Pasal 65 Ayat 2 UU No 34/2004 tentang TNI mengatur secara jelas bahwa prajurit aktif tunduk pada peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk ke peradilan umum dalam pelanggaran hukum pidana umum. Namun, ketentuan tersebut tidak bisa dilaksanakan mengingat ada Pasal 74 UU yang sama yang mengatur bahwa ketentuan tersebut berlaku setelah ada UU baru terkait Peradilan Militer.
”Kalau dilihat dari cita hukum di UU TNI, kalau ada pelanggaran pidana umum meski itu melibatkan militer maka diberlakukan yurisdiksi peradilan umum. Itu cita hukum yang belum bisa operasional karena belum bisa direvisi UU Peradilan Militernya,” kata Arsul.
Baca juga: Wapres Amin: Revisi UU Peradilan Militer Keniscayaan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F03%2F12%2F49d0c7eb-bab5-4e86-bd10-bce466000784_jpeg.jpg)
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Arsul Sani
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P, TB Hasanudin, mengungkapkan, revisi UU Peradilan Militer tersebut bisa dilakukan berbarengan dengan revisi UU TNI yang saat ini sudah dalam tahap perencanaan. Draf revisi UU TNI sudah digodok oleh Mabes TNI untuk kemudian dibahas di Kementerian Pertahanan. ”DPR siap-siap saja,” ucapnya.
Namun mengingat polemik penanganan korupsi di Basarnas telah menimbulkan kegaduhan di publik, Al Araf pun mendorong agar Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang revisi UU Peradilan Militer terkait pihak mana yang berwenang menangani kasus Kepala Basarnas. Ia menilai perdebatan publik yang terjadi beberapa waktu lalu sudah memenuhi unsur kegentingan memaksa yang menjadi alasan penerbitan perppu.
Selain itu, ujarnya, realitas politik hukum pembentukan UU No 31/1997 dibuat ketika rezim Soeharto hendak berakhir. Saat itu, Presiden juga merupakan Panglima ABRI. UU tersebut dibentuk dalam semangat untuk melindunginya dari jerat hukum yang kemungkinan menimpa.
”Dia (Soeharto) belajar dari negara-negara seperti di Amerika Latin ketika pemimpinnya turun kemudian diadili di peradilan umum. Maka, dibuatkanlah rezim peradilan militer,” ungkapnya.
Dalam buku Menerobos Jalan Buntu: Kajian terhadap Sistem Peradilan Militer di Indonesia yang diterbitkan Kontras pada 2009 disebut, suara lantang aktivis prodemokrasi untuk revisi UU Peradilan Militer dan mereformasi TNI secara lebih substansial telah digaungkan. Sebab, aturan sisa peninggalan rezim Orde Baru itu terbukti menjadi tembok penghalang melawan impunitas.
Yurisdiksi istimewa untuk aparat militer yang melakukan tindak pidana umum itu dinilai menutup pintu keadilan bagi korban, baik korban tindak pidana umum, korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, maupun korban kasus korupsi yang dampaknya lebih luas dan sistemik.
Baca juga: Perwira TNI di Jabatan Sipil Dievaluasi

Imbas Korupsi di Basarnas, Jokowi Akan Evaluasi Posisi TNI di Jabatan Sipil
Peneliti Politik Keamanan Centre for Strategic and International Studies, Nicky Fahrizal, pun berpandangan, melihat polemik penegakan hukum antara KPK dan TNI, memang ada kebutuhan penting untuk merevisi aturan tentang TNI baik itu UU TNI maupun UU Peradilan Militer. Hal itu termasuk evaluasi penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil seperti yang telah disampaikan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Untuk membenahi itu semua, Nicky mengatakan, salah satu prasyaratnya adalah ada komitmen kuat dari pembentuk undang-undang, termasuk dari Presiden selaku kepala negara, untuk membenahi sengkarut aturan hukum yang ada saat ini.
”Jika memang benar Presiden ingin mengevaluasi penempatan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil secara menyeluruh, artinya UU Peradilan Militer harus sinkron dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena penyalahgunaan wewenang pascareformasi itu biasanya di bidang penganggaran,” jelasnya.
Seperti diungkapkan Nicky, baik sipil maupun militer ada potensi penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan anggaran. Sudah saatnya peradilan militer harus disesuaikan dengan kerangka negara demokrasi hari ini.