Hormati Penahanan Sekretaris MA, KY Nilai Pembenahan MA Tak Terelakkan
Hasbi Hasan merupakan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) yang terjerat korupsi setelah Nurhadi. Banyak pihak mendesak reformasi di tubuh MA, mulai dari rekrutmen hingga pengawasan agar tak mengulang kasus serupa.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sekretaris Mahkamah Agung Hasbi Hasan masuk ke dalam mobil tahanan setelah resmi ditahan di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (12/9/2023). Hasbi Hasan menjadi orang ke-17 yang ditahan KPK atas kasus suap pengurusan perkara di lingkup Mahkamah Agung. Sebelumnya KPK telah menahan 16 tersangka, termasuk 2 hakim agung MA, Gazalba Saleh dan Dimyati Sudrajat. Hasbi Hasan terbukti menerima suap sebesar Rp 3 miliar untuk pengurusan perkara gugatan perdata kasus perkara internal koperasi simpan pinjam Intidana.
Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting mengatakan, pihaknya mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk fokus terhadap isu korupsi sektor peradilan (judicial corruption). KY menghormati penegakan hukum KPK yang menjerat Sekretaris Mahkamah Agung Hasbi Hasan.
KY akan melakukan pemeriksaan etik terhadap Hasbi lantaran ia juga menjabat sebagai hakim. “Pemeriksaan etik ini akan dilakukan pada waktunya, dalam arti dengan menghormati dan memberikan ruang bagi KPK untuk bekerja,” ujar Miko secara tertulis, Kamis (13/7/2023).
Dalam waktu bersamaan, KY menilai MA cukup responsif dalam situasi ini. Oleh karena itu, pihaknya turut mendukung langkah-langkah pembenahan yang akan dilakukan MA.
Sebelumnya, KPK telah menahan Hasbi Hasan yang terjerat kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA. Sebab, ia andil dalam mengawal dan mengurus kasasi perkara debitor Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana, Heryanto Tanaka.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sekretaris Mahkamah Agung Hasbi Hasan dikerumuni wartawan setelah diperlihatkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam ekspos terkait penahanannya di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (12/9/2023). Hasbi Hasan menjadi orang ke-17 yang ditahan KPK atas kasus suap pengurusan perkara di lingkup Mahkamah Agung. Sebelumnya KPK telah menahan 16 tersangka, termasuk dua hakim agung MA, Gazalba Saleh dan Dimyati Sudrajat. Hasbi Hasan terbukti menerima suap sebesar Rp 3 miliar untuk pengurusan perkara gugatan perdata kasus perkara internal koperasi simpan pinjam Intidana.
Campur tangan Hasbi dan Komisaris Independen PT Wika Beton Dadan Tri Yudianto membuktikan putusan pidana yang diharapkan Heryanto. Pengurus KSP Intidana, Budiman Gandi Suparman, disebut bersalah dan dipidana lima tahun penjara. Padahal, Pengadilan Negeri Semarang telah membebaskannya.
”Sekitar periode Maret 2022 sampai dengan September 2022 terjadi transfer uang melalui rekening bank dari HT (Heryanto) kepada DTY (Dadan) sebanyak tujuh kali dengan jumlah sekitar Rp 11,2 miliar. Dari uang Rp 11,2 miliar tersebut, DTY kemudian membagi dan menyerahkannya kepada HH (Hasbi) sesuai komitmen yang disepakati keduanya dengan besaran yang diterima HH sejumlah sekitar Rp 3 miliar,” tutur Ketua KPK Firli Bahuri saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Sekitar periode Maret 2022 sampai dengan September 2022 terjadi transfer uang melalui rekening bank dari HT (Heryanto) kepada DTY (Dadan) sebanyak tujuh kali dengan jumlah sekitar Rp 11,2 miliar. Dari uang Rp 11,2 miliar tersebut, DTY kemudian membagi dan menyerahkannya kepada HH (Hasbi) sesuai komitmen yang disepakati keduanya dengan besaran yang diterima HH sejumlah sekitar Rp 3 miliar. (Firli Bahuri)
Pihaknya juga berencana mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) guna mengembalikan kerugian negara. Diharapkan hal itu juga memberi efek jera bagi pelaku.
Berkaca dari kasus sebelumnya, bekas Sekretaris MA Nurhadi juga menerima gratifikasi dari penanganan perkara suap, gratifikasi, dan pencucian uang. Baik Nurhadi maupun menantunya, Rezky Herbiyono, divonis masing-masing enam tahun penjara serta denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan (Kompas.id, 12/7/2023).
Mengakar dan Sistemik
Menurut peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, kejadian kali ini menunjukkan korupsi pada tubuh MA telah mengakar dan sistemik. Meski para pejabat terkait diganti, ”penyakitnya” tak hilang.
”Jadi, problem korupsi di MA ini intergenerasional, antargenerasi, sehingga yang harus dilakukan itu juga harus mendasar. Perubahan mendasar reformasi MA,” kata Zaenur.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Zaenur Rohman memberikan keterangan kepada wartawan mengenai penolakan terhadap revisi UU KPK, di Tugu Yogyakarta, Selasa (17/9/2019). Aksi itu dilakukan bersama Jaringan Anti Korupsi (JAK) Yogyakarta.
Ia mendukung upaya KPK untuk menjerat Hasbi dengan TPPU. Sebab, harta hasil kejahatan itu banyak diubah, dialirkan, dan diserupakan seolah-olah dari perolehan yang sah. Melalui pendekatan TPPU, tak temuan perkara yang disidik, tetapi KPK akan menemukan perkara-perkara lain.
”TPPU juga akan mendukung secara optimal upaya hasil aset recovery (pemulihan aset),” ujar Zaenur.
Sejumlah pihak mendesak adanya perbaikan di tubuh MA. Reformasi ini perlu diperkuat dengan peran pengawasan, baik internal maupun eksternal.
Miko mengatakan, pendekatan berbasis merit perlu dilakukan. Salah satunya dengan menelusuri rekam jejak para calon sekretaris MA. KY bisa berkontribusi, khususnya calon berlatar belakang hakim. Sementara, calon yang tak berlatar belakang hakim dapat ditelusuri Badan Pengawasan MA, terutama bagi para pegawai di bawah Sekretaris MA yang didominasi tak berlatar belakang hakim.
”Sekalipun sama-sama berstatus unit kerja eselon I dengan Sekretaris MA, (tetapi) peran pengawasan Badan Pengawasan MA perlu diperkuat, baik dari struktur, anggaran, maupun ’dukungan politis’,” kata Miko.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Wakil Ketua Komisi Yudisial M Taufiq HZ (kanan), anggota Komisi Yudisial Binziad Kadafi (kiri), dan Juru Bicara KY Miko Ginting (tengah) saat menggelar konferensi dengan jurnalis di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (26/12/2022). Komisi Yudisial mulai melakukan pemeriksaan etik secara bertahap terhadap sejumlah hakim di lingkungan Mahkamah Agung yang tertangkap akibat kasus suap oleh KPK. Selain pemeriksaan secara etik, Komisi Yudisial juga akan menelisik dan mempelajari pola suap yang terjadi di lingkup MA untuk perumusan antisipasi agar tidak terjadi lagi. Selain itu Komisi Yudisial juga akan memperketat seleksi hakim di Mahkamah Agung untuk seleksi-seleksi selanjutnya.
Secara terpisah, Zaenur mengatakan, reformasi MA perlu diubah pada tahap rekrutmen, pembinaan, dan pengawasan. Nilai integritas perlu menjadi acuan saat perekrutan.
Perekrutan pegawai hingga hakim agung perlu mengutaman nilai integritas. Jangan sampai tahap penerimaan itu justru jadi ladang korupsi. Selain itu, seluruh lapisan MA perlu menanamkan kebanggaan terhadap nilai integritas.
Perekrutan pegawai hingga hakim agung perlu mengutamakan nilai integritas, jangan sampai tahap penerimaan itu justru jadi ladang korupsi. Selain itu, seluruh lapisan MA perlu menanamkan kebanggaan terhadap nilai integritas.
Unsur pengawasan, Zaenur menambahkan, masih jadi masalah terbesar yang dihadapi MA. Hal itu perlu dilakukan pada seluruh level, tak hanya badan pengawas, tetapi juga dari setiap pimpinan satuan kerja guna meningkatkan tanggung jawab.
”Maka setiap bentuk pelanggaran pidana yang dilakukan oleh insan pengadilan harus juga dimintakan pertanggungjawabannya kepada pimpinannya. Agar pimpinannya itu terdorong untuk melakukan pembinaan dengan pengawasan yang baik,” tuturnya.
Selama ini, pengawasan internal juga sangat bertumpu pada badan pengawas. Padahal, pengawasan juga perlu dilakukan oleh masing-masing satuan kerja, yakni pimpinan pada para anggotanya.
Selain itu, ketika seseorang mengetahui adanya praktik suap-menyuap, maka dia dapat melaporkannya pada Badan Pengawas MA. Informan ini perlu dilindungi dan diberi penghargaan. Namun, selama ia dipersekusi, tak dilindungi, dan berisiko tinggi, maka laporan itu tak akan terjadi.