Putar Otak Melepas Stigma Caleg Artis
Sejumlah caleg artis menyadari modal popularitas saja tidak cukup untuk mengantarkan mereka ke kursi parlemen. Turun ke masyarakat juga penting selain modal finansial yang mencukupi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F12%2F03243829-f7cb-4998-bcaa-1070e84ef484_jpeg.jpg)
Para bakal caleg artis yang akan maju dalam Pemilihan Legislatif 2024 menyampaikan gagasan mereka di depan wartawan, di Kompleks Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Jujur, aku tak kuasa.
Saat terakhir kugenggam tanganmu.
Namun, yang pasti terjadi.
Kita mungkin tak bersama lagi…..
Sepenggal lirik lagu ”Demi Cinta” yang dipopulerkan band Kerispatih ini tiba-tiba menggema di ruang pers Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/7/2023). Sejumlah wartawan yang berada di luar ruangan bergegas melihat konser ”kaget” itu. Suara mantan kibordis band Kerispatih, Doadibadai Hollo atau biasa dikenal Badai, memang cukup membuat para wartawan terkesima.
”Ini kalau saya nyanyi di atas panggung, bayarnya mahal lho,he-he-he,” kelakar Badai, disambut gelak tawa dan tepuk tangan meriah dari para wartawan yang berada di dalam ruangan itu.
Badai kini sudah menyandang status sebagai bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Pria yang pada Januari lalu genap berusia 45 tahun itu telah merasa cukup menjadi seorang musisi sehingga memilih banting setir menjadi politisi. Alasannya sederhana. Ia ingin menyuarakan kegelisahan para koleganya sesama seniman yang belum sejahtera. Negara dinilainya belum hadir untuk mereka.
”Saya menilai ada dua hal, apakah negara terlalu hati-hati bikin peraturan pelaksananya atau memang ada ketidakpedulian negara pada dunia seni. Apakah isu musik tidak begitu seksi dibanding isu korupsi?” ucapnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F01%2F29%2F71ce9e16-b8a5-40d9-9c83-f11497f265da_jpg.jpg)
Badai "Kerispatih"
Keputusan Badai untuk maju di gelanggang politik ini tidak mudah karena sempat mendapat penolakan dari ibunya. Ibunya berpikiran bahwa hidup Badai sudah nyaman sebagai musisi: sudah cukup dari sisi finansial, juga sudah memiliki banyak pengikut. Namun, bagi Badai, itu saja belum cukup.
”Saya bilang, saya hadir di Indonesia bukan hanya sebagai musisi, tetapi perpanjangan tangan bagi para seniman. Ini supaya saya bisa memutuskan kebijakan-kebijakan baru dalam regenerasi politik,” ujar Badai, yang maju di daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat VI meliputi Kota Depok dan Kota Bekasi.
Baca juga: Caleg Pesohor, dari Panggung Turun ke Kampung
Sebagai politisi baru yang juga maju dari partai baru, Badai menyadari tantangan kontestasi di pemilihan legislatif (pileg) tidak mudah. Apalagi, rata-rata masyarakat masih menganggap para pesohor yang maju di kontestasi minim literasi politik dan ekonomi.
”Memang stigma caleg artis ini kuat sekali di bawah. Tetapi, itu PR (pekerjaan rumah) kami untuk meyakinkan masyarakat bahwa kami politisi yang bersih, juga punya gagasan dan program yang clearuntuk kemakmuran rakyat. Untuk itu, saya berusaha banyak turun ke pasar-pasar, masuk komunitas-komunitas, blusukan,” ujar Badai.
Popularitas tidak cukup
Ratih Sanggarwati sependapat dengan Badai. Mantan artis sekaligus peragawati yang kini maju sebagai bakal calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia itu juga merasa popularitas saja tidak cukup untuk bertarung di Pemilu 2024. Caleg artis pasti akan dipandang sebelah mata oleh rakyat jika hanya mengandalkan popularitasnya sebagai artis.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F06%2F29%2Fee922dfd-2cd1-4eb4-90e4-2c7769017c4d_jpeg.jpg)
Peragwati Ratih Sanggarwati, yang juga anggota Komisi X DPR RI, mencicipi kopi khas Lombok sebelum acara dialog dengan di Kantor Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Barat, di Mataram, Lombok, Jumat (29/6/2018).
”Beban berat bagi para pesohor masuk partai. Jangan sampai hanya ada pikiran, kami ini hanya menjadi vote getter. Tidak salah menjadi vote getter, tetapi setelah dapat suara banyak, ada pekerjaan rumah untuk mengisi kapasitas diri supaya pemilih tidak kecewa,” tutur Ratih.
Ratih mencoba menganalogikan proses caleg artis untuk dapat lolos ke parlemen seperti naik tangga. Para caleg artis mungkin merasa beruntung karena tidak memulai semuanya dari nol sebagaimana caleg yang lain. Setidaknya publik sudah mengenal raut wajah mereka.
Namun, perlu diingat, popularitas yang dimiliki para caleg artis itu ibaratnya baru berada di tangga keenam dari 10 anak tangga yang harus ditapaki. Artinya, masih ada empat anak tangga lagi yang harus ditapaki agar rakyat bersedia dan rela hati menjatuhkan pilihannya kepada mereka.
”Tinggal anak tangga ketujuh sampai kesembilan, para caleg artis ini bisa membuat konten yang mempromosikan program-program yang akan dibawa nanti. Tentu, program itu harus bisa langsung menyentuh kebutuhan rakyat. Janganngawang-ngawang. Jika sudah sampai anak tangga ke-10, itu sudah pada tahap keyakinan orang untuk pasti memilih mereka,” kata Ratih.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F10%2F01%2F8339c0bd-2572-41aa-8ef2-07184315f463_jpg.jpg)
Artis sekaligus anggota legislatif terpilih periode 2019-2024, Krisdayanti, mengenakan kebaya saat dilantik melalui Sidang Paripurna MPR di Ruang Rapat Paripurna I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).
Ratih merasa memiliki keberuntungan lain lagi karena ia pernah terpilih pada Pemilu 2014 dan duduk sebagai anggota Komisi X DPR yang salah satunya mengawasi bidang pendidikan. Kala itu, ia maju dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Berbagai pengalaman di Komisi X DPR itulah yang menjadi bekal Ratih untuk mempromosikan dirinya ke masyarakat di dapil Jawa Timur I yang meliputi Kabupaten Sidoarjo dan Kota Surabaya. Ia ingat sekali waktu itu telah memberikan banyak beasiswa bagi para pelajar.
”Jadi ketika sudah punya keahlian bernyanyi seperti Mas Badai, misalnya, itu sudah merebut setengah audiens. Tetapi, ketika kita sudah ngomong bahwa kita pernah duduk di komisi ini dan ini, sudah melakukan ini dan ini, lalu akan melakukan apa nanti, maka akan menjadi penguat keyakinan bagi audiens untuk memilih,” ucap Ratih.
Baca juga: Caleg Artis Belum Dibarengi Kapabilitas Politik sebagai Legislator
Ratih pun tak memungkiri, butuh biaya yang relatif besar untuk turut berkontestasi dalam pemilu. Apalagi, bila maju di dapil ”neraka”, dapil di mana mereka yang berkontestasi adalah para politikus senior yang sudah punya pengaruh dan basis massa besar. Ia mengaku bisa merogoh kocek hingga Rp 2 miliar untuk biaya sosialisasi hingga kampanye.
Belum tentu terpilih
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Arzeti Bilbina, pun membenarkan bahwa tidak mudah bagi caleg artis untuk bisa lolos ke Senayan. Menurut dia, ada tiga poin yang menjadi kunci untuk maju dalam kontestasi pileg. Tiga poin itu adalah dikenal, disuka, lalu dipilih.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F10%2F01%2Fa9645016-0c5d-43e2-9f63-04a3d487269d_jpg.jpg)
Artis sekaligus anggota legislatif terpilih periode 2019-2024, Arzeti Bilbina Huzaimi, mengenakan kebaya saat dilantik melalui Sidang Paripurna MPR di Ruang Rapat Paripurna I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).
Para pekerja seni atau artis sebenarnya sudah memiliki dua dari tiga poin itu, yakni dikenal dan disukai. Namun, untuk sampai pada tahap dipilih, mereka harus full turun ke dapil.
”Daya tarik seorang artis, layaknya semut, gampang dikerubuti oleh masyarakat. Ini nilai jual ketika parpol meminta pekerja seni untuk menjadi bagian memenangkan kontestasi, baik pileg atau pemilihan kepala daerah. Tetapi, bukan berarti artis bakal terpilih. Enggak juga. Tergantung kerja keras, harus all out,” ujar Arzeti.
Arzeti bersyukur berada di PKB karena diberikan keleluasaan penuh untuk berdialog dengan para politisi senior, para kiai, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan aktivis. Dengan begitu, dia bisa belajar banyak untuk bersosialisasi dan mendekatkan diri pada masyarakat.
Daya tarik seorang artis, layaknya semut, gampang dikerubuti oleh masyarakat. Ini nilai jual ketika parpol meminta pekerja seni untuk menjadi bagian memenangkan kontestasi, baik pileg atau pemilihan kepala daerah. Tetapi, bukan berarti artis bakal terpilih. Enggak juga. Tergantung kerja keras, harus all out.
Ketika awal masuk di PKB, ia juga mendapatkan pendidikan politik sehingga tak canggung lagi ketika harus turun untuk mendekati, mendengarkan, dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. ”Jadi, keberadaan para tokoh dan pekerja seni itu juga memberi kemudahan bagi partai ketika akan mengambil hati masyarakat,” katanya.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, berpandangan, jika berbicara tantangan dan peluang caleg artis, setidaknya ada tiga modal yang harus dimiliki di dalam peta politik Indonesia yang cenderung pragmatis. Pertama, popularitas dan elektabilitas.
Para caleg artis tentu memiliki popularitas, tetapi belum tentu memiliki elektabilitas. ”Jadi, dalam politik, orang yang populer atau sangat populer, seperti para artis itu, belum tentu dipilih. Artis tidak menjamin punya elektabilitas tinggi,” ujar Ujang.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F17%2F260fdc94-74be-4c32-b801-63a1f9904fc2_jpg.jpg)
Bendera partai politik dipasang di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (17/1/2023). Penyusunan rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Sosialisasi yang akan mengatur seputar sosialisasi bakal calon peserta Pemilu 2024 sebelum masa kampanye pemilu ditargetkan sudah tuntas akhir Januari ini.
Oleh karna itu, caleg artis harus piawai mengonversi popularitas yang tinggi menjadi elektabilitas. Tak dimungkiri, di tengah kondisi masyarakat yang semakin pragmatis, ”isi tas” dari para caleg menjadi modal kedua yang harus dimiliki. Namun, kekuatan finansial itu seyogianya digunakan untuk memberikan barang-barang yang memang dibutuhkan masyarakat, seperti bahan-bahan kebutuhan pokok.
”Jadi kalau hanya mengandalkan popularitas, pasti sulit menang. Karena tidak ada elektabilitas, jika tidak ada ‘isi tas’. Kan, banyak juga artis yang maju di pileg maupun pilkada, hanya mengandalkan popularitas, malah jadi tewas. Ya, karena elektabilitasnya tidak ada,” ujar Ujang.
Tantangan menjadi semakin besar karena sebagian caleg artis maju dari partai baru. Partai baru biasanya belum teruji kapasitas institusi kepartaiannya. Jaringan kepartaiannya juga belum teruji. Oleh karena itu, bagi mereka yang maju dari partai baru, kerja mereka tentu akan menjadi dobel. ”Tantangannya menjadi tidak sederhana,” kata Ujang.

Caleg pesohor di Pemilu 2019
Modal ketiga adalah turun ke bawah dan membawa program-program kerakyatan. Para caleg artis juga harus intens menemui konstituen dan menyampaikan program-program yang riil dibutuhkan oleh masyarakat.
”Kerja-kerja kerakyatan, mendekati hai rakyat, itu sangat penting. Itu sebuah keniscayaan dan keharusan,” ujar Ujang.
Baca juga : Jatuh Bangun Caleg Pendatang Baru Menembus Parlemen
Para pesohor atau selebritas mungkin selalu juara di atas panggung hiburan, tetapi tidak di panggung politik. Di kontestasi politik, mereka tak bisa hanya mengandalkan bakat atau popularitas mereka. Lebih dari itu, para caleg artis harus intens turun ke bawah, serta membawa gagasan baru kepada rakyat. Ini sekaligus untuk melepas stigma yang tertanam di publik bahwa para pesohor yang bakal maju di kontestasi itu hanya sebatas mengandalkan popularitas.