Penyidik Periksa Mantan Direktur Utama Pengelola Jalan Tol MBZ
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan, penyidik masih dalami kasus dugaan korupsi pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated. Mantan Direktur Utama PT Jasa, DD, pun diperiksa.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Mantan Direktur Utama PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated. Meski belum ada tersangka, penyidik mengaku sudah memperoleh gambaran kasus dugaan korupsi yang nilai kontraknya mencapai Rp 13,5 triliun tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, pada Selasa (6/6/2023), mengatakan, penyidik masih mendalami dan mengembangkan kasus dugaan korupsi pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated yang dibangun dengan mekanisme rancang bangun (design and build). Salah satu pihak yang hari ini dipanggil dan diperiksa adalah DD selaku Direktur Utama PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek tahun 2016-2020.
PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek adalah operator Jalan Tol Jakarta Cikampek Layang atau yang kini disebut Jalan Tol MBZ yang juga merupakan anak usaha dari PT Jasa Marga (Persero) Tbk. "Pemeriksaan itu dilakukan untuk memperkuat pembuktian,” kata Ketut.
Selain DD, terdapat dua saksi yang juga diperiksa pada hari Selasa ini, yakni W selaku Cashier Divisi 5 pada PT Waskita Karya (persero) Tbk dan S selaku pimpinan tim konsultan PMI pada PT Aria Jasa Reksatama. Hingga saat ini, penyidik belum menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated.
"Pemeriksaan itu dilakukan untuk memperkuat pembuktian,"
Meski demikian, kata Ketut, penyidik telah menetapkan seorang pensiunan PT Waskita Karya (Persero) Tbk sebagai tersangka merintangi penyidikan (obstruction of justice) kasus tersebut bernama IBN. Menurut Ketut, yang bersangkutan disangka telah memengaruhi dan mengarahkan para saksi untuk menerangkan hal yang tidak sebenarnya, tidak memberikan dokumen yang dibutuhkan oleh penyidik, serta menghilangkan barang bukti.
”Sebab itu mengakibatkan proses penyidikan menjadi terhambat dalam menemukan alat bukti. ”
”Sebab itu mengakibatkan proses penyidikan menjadi terhambat dalam menemukan alat bukti,” kata Ketut.
Secara terpisah, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung mengatakan, penyidikan perkara pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated atau Jalan Tol MBZ merupakan pengembangan dari penanganan kasus dugaan korupsi yang melibatkan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Adapun PT Waskita Karya (Persero) Tbk merupakan kontraktor dalam pembangunan jalan tol yang nilai kontraknya sekitar Rp 13,5 triliun.
Terkait dengan pengembangan kasus tersebut, Kuntadi membenarkan bahwa pihaknya juga memeriksa seorang saksi berinisial S yang merupakan staf pembangunan jalan tol ruas Terbangi Besar-Pematang Panggang-Kayu Agung yang berada di Pulau Sumatera. Namun, Kuntadi menolak menjelaskan lebih jauh tentang keterkaitan pembangunan Jalan Tol MBZ dengan jalan tol ruas Terbangi Besar-Pematang Panggang-Kayu Agung. ”Iya, diduga ada keterkaitan,” kata Kuntadi.
Kasubdit Penyidikan Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang Direktorat Penyidikan Jampidsus Kejagung Haryoko Ari Prabowo menambahkan, pengembangan kasus dugaan korupsi pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated masih tetap berjalan. Prabowo memastikan bahwa modus dugaan korupsi dalam perkara tersebut sudah tergambarkan.
Meski demikian, Prabowo menolak untuk menjawab modus tersebut terkait dengan penggelembungan harga proyek. ”Nanti kita lihat,” kata Prabowo.
Pengawasan lemah
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira berpandangan, terjadinya dugaan korupsi di BUMN yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia merupakan paradoks. Sebab, perusahaan yang seharusnya selalu menerapkan prinsip transparansi dan bertanggung jawab terhadap publik justru diduga terjadi korupsi.
”Ini menandakan mekanisme pengawasan dari komisaris, dari auditor internal dan tim pengawas internal tidak berjalan. ”
”Ini menandakan mekanisme pengawasan dari komisaris, dari auditor internal dan tim pengawas internal tidak berjalan,” kata Bhima.
Hal itu, menurut Bhima, memunculkan pertanyaan tentang pengelolaan sebuah perusahaan terbuka yang seharusnya diisi para profesional di bidangnya. Sebaliknya, yang dikhawatirkan adalah posisi penting di dalam perusahaan justru diisi orang yang tidak memiliki kompetensi dan profesionalisme karena dipilih berdasarkan kedekatan atau preferensi politik, termasuk untuk posisi yang menjalankan fungsi pengawasan. Hal itu berpotensi memunculkan penyalahgunaan wewenang.
Tidak hanya itu, Bhima berpandangan, persoalan dugaan korupsi di tubuh BUMN tersebut dapat bersifat sistemik dan terkait dengan lembaga lain, seperti perbankan. Sebelum memberikan fasilitas pembiayaan, perbankan mestinya memiliki mekanisme untuk melakukan verifikasi terhadap setiap proyek yang dijalankan oleh BUMN.
Berdasarkan hal itu, menurut Bhima, langkah pertama yang diperlukan adalah penggantian direksi dan komisaris di BUMN yang diduga terkait kasus korupsi. Selanjutnya, dia berharap agar mekanisme pengawasan internal mesti dibenahi dan diperkuat, termasuk menggandeng lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan. (NAD)