Banyak kalangan mengkhawatirkan perubahan sistem pemilu di tengah tahapan Pemilu 2024 yang sudah berjalan akan menimbulkan kegaduhan baru. Pengalaman perubahan sistem pemilu jelang Pemilu 2009 mestinya jadi pertimbangan.
Oleh
IQBAL BASYARI, MAWAR KUSUMA WULAN
·5 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Perwakilan delapan fraksi DPR menggelar konferensi pers terkait sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023). Delapan fraksi di DPR menolak sistem pemilu proporsional tertutup usai pertemuan menyikapi mencuatnya rumor putusan Mahkamah Konstitusi. berdasarkan pernyataan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana.
Di tengah menghangatnya suhu politik Tanah Air, publik digaduhkan dengan dugaan bocornya putusan perkara uji materi sistem pemilu yang akan diambil oleh sembilan hakim konstitusi. Mahkamah Konstitusi diisukan akan mengembalikan sistem pemilihan anggota legislatif dari proporsional daftar terbuka menjadi proporsional tertutup.
Adalah Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang pertama kali melontarkan informasi mengenai MK akan mengubah sistem pemilu. Dalam unggahannya di media sosial, ia mengaku mendapatkan informasi itu dari orang yang sangat dipercaya dan memiliki kredibilitas.
Unggahan tersebut sontak mengundang berbagai reaksi mengingat banyak pihak yang menantikan putusan uji materi sistem pemilu itu. Terlebih, tahapan pemilu sudah berjalan dan partai-partai politik telah mendaftarkan bakal calon anggota legislatif (caleg) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) di berbagai tingkatan.
Delapan dari sembilan parpol di parlemen keras menolak sistem pemilu dikembalikan ke sistem proporsional daftar tertutup. Tak hanya mengganggu tahapan pemilu, perubahan sistem pemilu juga dikhawatirkan akan membuat ratusan ribu bakal caleg kehilangan hak konstitusionalnya.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) menutup sidang putusan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung MK, Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Kekhawatiran juga disampaikan banyak kalangan, salah satunya Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui akun media sosial Twitter, Yudhoyono menyampaikan bahwa pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan kekacauan politik.
Isu MK akan mengembalikan sistem pemilu ke proporsional tertutup pun dibantah Ketua MK Anwar Usman. Seusai menghadiri upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di Monumen Nasional, Jakarta, Kamis (1/6/2023), Anwar menegaskan tidak ada kebocoran karena perkara itu belum diputus.
Anwar meminta semua pihak menunggu putusan MK. Sebab, MK baru mengumpulkan kesimpulan akhir dari para pihak pada Rabu (31/5/2023). ”Setelah itu baru ada rapat permusyawaratan hakim untuk menentukan apa putusannya. Ya, tunggu saja,” tuturnya.
Dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum bertajuk ”Benarkah Pemilu Tertutup Lagi?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu malam, Denny mengaku sengaja menyampaikan informasi yang didapatkan kepada publik agar masyarakat bisa melakukan kontrol dan pengawasan terhadap MK. Menurut dia, para hakim MK perlu memikirkan matang-matang putusan mengenai sistem pemilu karena dampaknya sangat luas. ”Kalau sudah diputus, tidak bisa lagi dikoreksi,” ujarnya.
Acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu juga dihadiri oleh Ketua DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman, dan pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD serta mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna juga hadir secara virtual.
REBIYYAH SALASAH
Senior Partner Integrity Law Firm yang juga Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2011-2014, Denny Indrayana, saat ditemui pada Minggu (11/12/2022).
Denny menegaskan, belum adanya putusan resmi dari MK tidak bisa menghalangi pihak-pihak lain seperti dirinya untuk melihat dan memprediksi putusan yang akan ditetapkan para hakim konstitusi terkait sebuah perkara. Sebagai pihak yang menolak sistem proporsional tertutup, ia mengingatkan agar MK tidak masuk dalam ranah penentuan sistem pemilu karena itu masuk dalam kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan pembuat undang-undang.
Melalui kontroversi ini, ia berharap agar pada ujungnya MK tetap mempertahankan sistem pemilu proporsional daftar terbuka. ”Saya ingin sistem proporsional terbuka tetap dipertahankan karena dengan segala plus minusnya, saat sekarang yang terbaik. Kalau ingin diubah sistemnya, beri ruang pada DPR, Presiden, dan DPD karena bisa mengganggu tahapan pemilu yang sudah berjalan,” tuturnya.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem pemilu proporsional tertutup sejatinya bukan barang baru. Pascareformasi, sistem itu pernah diterapkan pada Pemilu 1999. Kala itu, pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai dalam surat suara. Adapun penentuan calon terpilih sepenuhnya berdasarkan nomor urut dalam daftar caleg yang sebelumnya telah disodorkan parpol.
ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Petugas KPU menyiapkan peralatan untuk acara Validasi dan Persetujuan Surat Suara Anggota DPR, Presiden dan Wakil Presiden di kantor Pusat KPU, Jakarta, Jumat (4/1/2019).
Menjelang Pemilu 2004, pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, memutuskan mengubah sistem pemilu tersebut. Usulan perubahan datang dari pemerintah yang berpegang pada amanat Ketetapan MPR tahun 1999 yang menginginkan pemilu semakin berkualitas dengan memberikan partisipasi politik kepada rakyat semakin luas.
Alhasil, pada Pemilu 2004, sistem pemilu berubah menjadi proporsional daftar terbuka. Namun, pada praktiknya sistem pemilu yang diterapkan bisa dibilang hanya semi-terbuka karena pemilih bisa memilih tanda gambar parpol dan nama caleg, tetapi penentuan caleg terpilih tetap mengacu pada pemenuhan bilangan pembagi pemilih dan nomor urut.
Pola penentuan caleg terpilih baru berubah dengan berbasis pada suara terbanyak setelah ada putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008 atau empat bulan menjelang pemungutan suara 9 April 2009. Dengan putusan ini, mulai Pemilu 2009, sistem pemilihan menggunakan proporsional daftar terbuka secara utuh dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Pengalaman di tahun 2008 saat terjadi perubahan di tengah jalan harus dianggap sebagai pengalaman buruk yang tak boleh diulang lagi
Palguna menyatakan, secara teori MK bisa mengambil putusan yang berbeda dari putusan sebelumnya. Namun, harus ada argumentasi hukum yang kuat dari para hakim konstitusi. Putusan yang berbeda juga bisa diambil jika ada fakta hukum lain. Misalnya, ada perubahan dalam sistem ketatanegaraan yang menyebabkan bahwa sesuatu yang dahulu dikonstruksikan sebagai kebijakan hukum terbuka ternyata menjadi persoalan yang bisa dipermasalahkan konstitusionalitasnya.
”Tetapi, dalam konteks Indonesia, saya setuju ini adalah bagian dari open legal policy dari pembentuk undang-undang untuk mengurusnya. MK tidak boleh masuk soal itu. Sebab, sistem yang mana pun, mau terbuka atau tertutup, ujungnya ada pada apakah parpol sudah menjalankan fungsi-fungsi minimum partai,” tutur Palguna.
Tidak sehat
Feri mengingatkan, perubahan sistem pemilu di tengah tahapan yang sudah berjalan merupakan hal yang tidak sehat. Sebab, parpol dipastikan harus mengubah strategi pemenangan, sedangkan penyelenggara pemilu harus menyesuaikan dan melakukan sosialisasi kepada pemilih. Dari sisi pemilih, perubahan sistem pemilu juga bisa membuat mereka kebingungan karena biasanya bisa mencoblos nama caleg, nantinya hanya mencoblos tanda gambar parpol.
”Pengalaman di tahun 2008 saat terjadi perubahan di tengah jalan harus dianggap sebagai pengalaman buruk yang tak boleh diulang lagi,” ucapnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para politisi yang akan maju menjadi calon legislatif (caleg) pada pemilu mendatang memanfaatkan momentum Hari Raya Idul Fitri untuk beradu pencitraan diri melalui pemasangan spanduk seperti terlihat di perempatan Jalan Dewi Sartika Depok, Jawa Barat, Selasa (25/4/2023).
Benny, bahkan, menyampaikan bahwa kekacauan politik yang dikhawatirkan Yudhoyono sangat mungkin terjadi jika sistem pemilu tiba-tiba diubah hanya beberapa bulan sebelum pemungutan suara. Apalagi, semua parpol peserta pemilu sudah mengajukan nama caleg dengan asumsi sistem pemilu yang digunakan tetap proporsional daftar terbuka. Jika berubah, besar kemungkinan banyak caleg yang mengundurkan diri. Dampak lain adalah parpol akan kesulitan menata ulang strategi pemenangannya.
Ia juga mengingatkan, ada delapan dari sembilan fraksi di DPR yang menolak sistem proporsional tertutup. Jika MK memutuskan perubahan sistem pemilu, ada kekhawatiran delapan parpol akan memboikot pemilu. ”Kalau boikot dilakukan, inilah agenda tersembunyi dari belakang untuk menunda pemilu dengan membuat situasi menjadi chaos. Ada skenario seperti itu yang sengaja dilakukan,” tutur Benny.
Sementara sebagai satu-satunya parpol parlemen yang mendukung pemberlakuan sistem proporsional tertutup, kata Basarah, PDI-P tetap akan menghormati dan menjalankan apa pun putusan MK nanti.
Saat ini, sembilan hakim MK baru akan menggelar rapat permusyawaratan untuk merumuskan putusan perkara uji materi sistem pemilu. Seperti halnya imbauan Ketua MK, semua pihak diharapkan dapat menunggu putusan resmi para hakim konstitusi. Hal yang pasti, Pemilu 2024 harus tetap berjalan sesuai dengan jadwal dan tahapan yang telah ditetapkan KPU.