Kesulitan Meminta Keterangan dari KPK, Ombudsman Buka Peluang Panggil Paksa
Ombudsman berpeluang memanggil paksa Ketua KPK Firli Bahuri dan sejumlah pejabat KPK karena tak memenuhi panggilan dalam pemeriksaan dugaan malaadministrasi pemberhentian Endar Priantoro dari Direktur Penyelidikan KPK.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI tetap melanjutkan pemeriksaan laporan pemberhentian Brigadir Jenderal (Pol) Endar Priantoro sebagai Direktur Penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi meski pihak KPK tak memenuhi permintaan keterangan secara langsung. Opsi lain yang bisa diambil, Ombudsman bisa memanggil paksa pihak terlapor dalam hal ini Ketua KPK Firli Bahuri dan sejumlah pejabat di KPK, dengan bantuan kepolisian.
Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, mengungkapkan, Ombudsman mendapatkan pengaduan dari Endar pada 18 April 2023 yang melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri, Sekretaris Jenderal KPK Cahya H Harefa, dan Kepala Biro Sumber Daya Manusia (SDM) KPK Zuraida Retno Pamungkas terkait proses pemberhentian dirinya sebagai Direktur Penyelidikan KPK. Pelapor menduga pemberhentian ini mengandung unsur malaadminsitrasi.
Setelah melihat syarat formil dan materil, kasus ini disampaikan ke pimpinan Ombudsman serta diputuskan untuk dilanjutkan ke pemeriksaan. Selain memeriksa dokumen, Ombudsman juga memeriksa pihak terkait, yakni pelapor dan pihak terkait lainnya. Ombudsman misalnya, sudah memeriksa Endar dan pihak dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Selain itu, Ombudsman sudah mengirimkan surat pemanggilan ke Firli pada 11 Mei, tetapi KPK justru mempertanyakan kewenangan Ombudsman.
”Intinya adalah KPK secara kelembagaan tidak dapat memenuhi permintaan tersebut dengan sejumlah alasan yang intinya itu mempertanyakan, menolak kasus ini bagian dari pengaduan di Ombudsman,” kata Robert dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Ombudsman kembali mengirimkan surat pemanggilan pada 22 Mei yang intinya menjelaskan kewenangan Ombudsman dan prosedur penanganan pemeriksaan. Namun, KPK kembali tidak datang dan mengirimkan surat terkait kewenangan Ombudsman. Jika saat pemanggilan ketiga pihak terlapor tidak datang lagi, Ombudsman akan mengambil opsi lainnya.
Opsi tersebut, yakni Ombudsman tetap melanjutkan pemeriksaan dan menempatkan pihak terlapor tidak menggunakan haknya untuk memberikan jawaban. Opsi ini biasa digunakan ketika terlapor mempunyai kendala yang sifatnya teknis atau tidak memiliki pemahaman yang utuh terhadap kasus yang ada.
”Kita kemudian menganggap yang bersangkutan tidak menggunakan haknya dan Ombudsman melanjutkan proses pemeriksaan tanpa keterangan, informasi, dan klarifikasi dari pihak yang bersangkutan. Ini terjadi di sejumlah kasus,” kata Robert.
Opsi lainnya adalah Ombudsman memanggil paksa terlapor dengan bantuan kepolisian. Robert menegaskan, opsi ini diambil, jika Ombudsman menilai ketidakhadiran itu karena unsur kesengajaan. Apalagi, menyampaikan argumentasi yang justru mempertanyakan kewenangan Ombudsman. Menurut Robert, terlapor yang mempertanyakan kewenangan Ombudsman sama dengan mempertanyakan Presiden dan DPR yang membentuk Undang-Undang Ombudsman.
”Ombudsman bekerja bukan karena kemauan sendiri, tetapi karena mandat negara, ada perintah dari undang-undang yang disusun oleh presiden dan DPR. Sehingga mempertanyakan kewenangan seperti ini sama dengan mempertanyakan mandat negara. Ini sesuatu yang sangat serius. Sebagai lembaga negara ini menjadi suatu yang sangat-sangat serius,” tegasnya.
Menurut Robert, dalam menjaga etika hubungan antarkelembagaan, KPK memiliki permasalahan etik yang tidak kalah serius dengan menyatakan bahwa mereka secara kelembagaan tidak akan memenuhi pemanggilan Ombudsman. Sikap dari KPK tersebut akan direspons Ombudsman secara serius dengan menggunakan opsi sesuai dengan kewenangan Ombudsman.
Ia menegaskan, suatu lembaga negara harus menjaga etika antarlembaga. Jika ada lembaga yang mempertanyakan kewenangan lembaga negara lain, perlu dipertanyakan moralitas dan profesionalitasnya dalam bekerja serta menjaga hubungan antarlembaga.
Robert berharap, semua lembaga menghargai kewenangan lembaga negara lain untuk menjaga hubungan antarlembaga dan memenuhi kewajibannya seperti hadir dalam pemeriksaan. Ketidakhadiran dalam pemanggilan merupakan bagian dari upaya menghalangi pemeriksaan.
Sejauh ini, Ombudsman belum menemukan dugaan malaadministrasi dalam kasus Endar. Sebab, belum ada hasil akhir yang akan disampaikan dalam bentuk laporan hasil pemeriksaan.
Melalui keterangan tertulis, Cahya H Harefa mengatakan, KPK menghormati proses yang berlangsung di Ombudsman. Namun, seluruh proses perekrutan, pengembangan karier, hingga purnatugas seorang pegawai merupakan bagian dari manajemen SDM dalam suatu organisasi.
”Demikian halnya pada proses pemberhentian Endar Priantoro sebagai Direktur Penyelidikan KPK yang telah selesai masa tugasnya adalah ranah manajemen ke-SDM-an di KPK, bukan pelayanan publik,” kata Cahya.
Menurut Cahya, pelayanan publik sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Oleh karena itu, sesuai UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, penyelesaian persoalan ini bermuara pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan di Ombudsman.
”Oleh karena itu, atas permintaan klarifikasi oleh Ombudsman kepada KPK tidak bisa dipenuhi karena substansi yang hendak diklarifikasi tidak termasuk dalam ranah pelayanan publik yang merupakan kewenangan Ombudsman. Namun, berdasarkan ketentuan perundangan tersebut, pengujian persoalan kepegawaian lebih tepat ranahnya di PTUN,” kata Cahya.