Kasus Putusan Prima, Ketua PN Jakpus Tak Penuhi Panggilan KY
Selain Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Liliek Prisbawono, Komisi Yudisial bakal memanggil majelis hakim PN Jakpus yang mengadili perkara gugatan Prima, yakni T Oyong, H Bakri, serta Dominggus Silaban.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Sejumlah kader Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) berunjuk rasa di depan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Kamis (8/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial atau KY memanggil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat serta majelis hakim yang mengadili perkara gugatan Partai Rakyat Adil Makmur atau Prima di pengadilan tersebut. KY diharapkan menelusuri ada atau tidaknya intervensi dari putusan yang berimbas pada penundaan Pemilu 2024 itu.
Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting mengatakan, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Liliek Prisbawono Adi dipanggil untuk dimintai keterangan terkait dengan putusan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hari ini.
Namun, panggilan itu tak dipenuhi Liliek. Alasannya, karena ada agenda lain. ”Pemanggilan ulang akan segera dilakukan karena nilai informasi yang ingin dimintakan sangat penting untuk membuat terangnya perkara ini,” ujar Miko secara tertulis, Senin (29/5/2023).
Selain Liliek, KY juga bakal memanggil majelis hakim PN Jakarta Pusat yang mengadili perkara gugatan Prima, yakni T Oyong, H Bakri, serta Dominggus Silaban. Mereka dipanggil untuk diperiksa, besok, Selasa (30/5). KY berharap mereka dapat hadir memenuhi panggilan tersebut.
AYU NURFAIZAH UNTUK KOMPAS
Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting menerima laporan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih di kantor KY, Kramat, Senen, Jakarta Pusat, Senin (6/3/2023).
Pemanggilan dan penggalian keterangan ini dilaksanakan guna menelusuri ada atau tidaknya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dalam pengambilan putusan terkait dengan perkara gugatan dari Prima.
Seperti diketahui, pada 2 Maret lalu, majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam putusan gugatan perdata Prima menyatakan, KPU melakukan perbuatan melawan hukum dan diperintahkan membayar ganti rugi materiil Rp 500 juta. KPU juga dihukum agar tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan itu diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari.
Gugatan terhadap KPU dilayangkan Prima karena merasa dirugikan saat proses verifikasi administrasi partai politik peserta Pemilu 2024. Prima dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu.
Selanjutnya, KPU mengajukan banding. Pada awal April lalu, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan putusan PN Jakarta Pusat.
Sidang pembacaan putusan banding perkara perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap Komisi Pemilihan Umum terkait dengan tahapan Pemilihan Umum 2024 di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Selasa (11/4/2023).
Menurut majelis hakim, walaupun gugatan Prima adalah terkait dengan perihal gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, substansi sengketa dalam pokok perkara tersebut adalah berupa akibat diterbitkannya keputusan oleh KPU. Dengan demikian, secara substansi, hal tersebut adalah termasuk sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa sehingga menjadi kewenangan kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara.
Namun, Prima tak puas dengan putusan itu, dan kini mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Berkas kasasi Prima sudah diterima oleh Bagian Umum MA pada Jumat (26/5).
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Ihsan Maulana berharap agar KY dapat segera memproses pemeriksaan terhadap hakim PN Jakarta Pusat yang dilaporkan. Sebab, putusan yang telah ditetapkan Pengadilan Tinggi Jakarta ternyata diajukan kasasi oleh Prima ke Mahkamah Agung (MA).
”Supaya ini memberi titik terang dan juga proses kasasi yang dilakukan Partai Prima terkait keputusan penundaan pemilu. Ini supaya mengingatkan kembali bahwa sampai tingkat MA sekalipun, jangan ada proses yang sebetulnya di luar dari aturan hukum,” ujarnya.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Peneliti Kode Inisiatif Ihsan Maulana berbicara dalam diskusi media bertajuk "Sengketa Pilkada: Dalil Hoaks dan Model Baru Penggembosan Suara di Pilkada 2020" secara daring, Senin (25/1/2021).
Sesuai dengan audiensi Koalisi Masyarakat Sipil, termasuk Perludem, kepada KY, pihak terkait dalam hal ini, seperti majelis hakim PN Jakpus pengadil perkara Prima, harus dijatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahannya, bahkan sanksi terberat sekalipun, seperti sanksi peringatan keras.
Tak hanya itu, Ihsan berharap KY berani menelusuri apakah ada intervensi atau tidak dari putusan hakim PN Jakarta Pusat tersebut. Jika memang ditemukan adanya intervensi, bisa saja kasus itu ditindak secara pidana.