Masuki Tahun Ke-25, Reformasi Masih Belum Sepenuhnya Ideal
Sejumlah pekerjaan rumah menanti untuk memperbaiki kualitas reformasi Indonesia. ”Tapi, so far, kita sudah jauh maju dari 25 tahun lalu,” kata mantan Sekretaris Jenderal Aldera Pius Lustrilanang.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Masyarakat berjalan bersama dalam peringatan 25 tahun reformasi yang diselenggarakan aktivis Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) di Kompleks DPR, Jakarta, Minggu (21/5/2023). Penyelenggara mengklaim acara ini dihadiri sekitar 25.000 orang.
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi sosial politik saat ini dinilai aktivis Aliansi Demokrasi Rakyat atau Aldera sudah jauh lebih maju dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi 25 tahun lalu. Namun, reformasi yang sudah berjalan juga belum sepenuhnya ideal karena cenderung masih prosedural. Ada cukup banyak pekerjaan rumah menanti untuk memperbaiki kualitas reformasi Indonesia.
Mantan Sekretaris Jenderal Aldera Pius Lustrilanang menekankan, perayaan 25 tahun reformasi sejak 21 Mei 1998 ada karena telah diperjuangkan dengan susah payah. Banyak orang yang ditangkap, dibunuh, dan disiksa. ”Kita berada di situasi di mana ada upaya-upaya untuk kembali ke masa lalu, untuk memperluas jabatan masa presiden dari dua periode jadi tiga periode, ada keinginan menunda pemilu. Itu semua adalah wacana yang membahayakan bagi demokrasi,” tutur Pius di lapangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Minggu (21/5/2023).
Ia melalui Aldera mengingatkan DPR agar patuh pada konstitusi. Hal itu juga yang mendorongnya memperingati 25 tahun reformasi di kompleks DPR. Sejak pukul 05.30, lapangan DPR mulai dipadati masyarakat dari beragam generasi. Mereka berpakaian serba hitam guna ikut merayakan 25 tahun reformasi. Aldera merayakan bersama masyarakat yang diklaim dihadiri 25.000 peserta dengan jalan sehat serta penampilan musisi dan kelompok musik.
Pius menambahkan, ada perkembangan terhadap jalannya reformasi di Indonesia. Sebab, seluruh prasyarat demokrasi telah tercipta, seperti pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan langsung, supremasi hukum, kebebasan pers, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Mantan Sekretaris Jenderal Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) Pius Lustrilanang menjawab pertanyaan awak media di Kompleks DPR, Jakarta, Minggu (21/5/2023). Ia menyebut ada beberapa upaya yang dilakukan pihak lain sehingga menunjukkan kemunduran demokrasi.
Meski demikian, reformasi yang terbentuk memang belum sepenuhnya ideal karena cenderung masih prosedural. Sejumlah pekerjaan rumah menanti untuk memperbaiki kualitas reformasi Indonesia. Beberapa di antaranya adalah hukum yang masih ”tajam ke bawah, tumpul ke atas” serta sejumlah pelanggaran HAM yang masih terjadi. ”Tapi, so far, kita sudah jauh maju dari 25 tahun lalu,” kata Pius yang kini menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ia juga mengusulkan agar pemerintah menetapkan tanggal 21 Mei sebagai Hari Reformasi yang diperingati setiap tahun. Menurut dia, jika hari kelahiran Pancasila dirayakan, sudah semestinya reformasi juga mendapat perhatian serupa.
Sementara itu, jatuhnya korban-korban pada kerusuhan 1998 jelang reformasi perlu ditindaklanjuti. Meski Presiden Joko Widodo telah menyampaikan penyesalan terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu, sikap itu dinilai masih belum cukup. Setidaknya ada dua pilihan untuk menuntaskan kasus itu, yakni pengadilan atau rekonsiliasi. ”Itu adalah tugas negara. Negara yang harus bertanggung jawab. Tinggal kita lihat negara mau atau (tidak),” ujar Pius.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin, mengatakan, saat ini Indonesia sebenarnya berada pada fase transisi dari otoritarian menuju demokrasi. Saat ini, rakyat Indonesia seakan-akan melangkah ke depan, tetapi sebenarnya pada akhirnya kembali ke belakang. ”Transisi menuju demokrasi ternyata kita gagal mengalami konsolidasi demokrasi. Apakah menuju ke situ? Cita-citanya begitu, tetapi gagal. Kita tersesat menuju ke sana,” ujar Zainal.
Walau praktik-praktik demokrasi, seperti pemilihan umum tetap berjalan, tak bersifat demokratis. Sebab, esensinya telah hilang sehingga hanya sebatas pada formalitas belaka.
Menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia mencapai puncaknya pada 2015 dengan skor 7,03. Setelah itu, indeks menurun hingga mencapai titik terendahnya pada 2020 dengan 6,30. Indeks terdongkrak pada 2021-2022 dengan 6,71 (Kompas.id, 15/2/2022 dan 16/3/2023).
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY (ARB)
Sampai Jumat (15/5), RSCM telah menerima 137 jenazah korban kebakaran dari beberapa pusat pertokoan di Jakarta yang dibakar massa pada kerusuhan sehari sebelumnya. Jenazah telah hangus terbakar sehingga keluarga sulit mengenali korban.
Salah satu isu yang terus digaungkan pada peringatan reformasi adalah keadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada 1998. Hal itu menjadi salah satu tuntutan agenda reformasi.
Zainal menilai, negara, yakni pemerintah, kekuasaan kehakiman, dan DPR gagal menegakkan agenda reformasi penegakan hukum dan HAM. Penyelesaian kasus-kasus tak efektif karena adanya halangan pada level partai politik serta rekomendasi DPR.
Institusi-institusi negara tak dapat diandalkan sehingga tagihan pada publik untuk menuntaskan masalah itu membesar. Alhasil, masyarakat perlu berkonsolidasi untuk mengawal isu ini.
Hal serupa dikatakan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Ia menilai, proses reformasi Indonesia sedang di titik terendah. Banyak hal yang kembali ke masa-masa Orde Baru. Salah satunya soal kebebasan berpendapat. Saat ini memang tak seekstrem sebelum reformasi, tetapi adanya peretasan atau doxing menunjukkan tekanan kebebasan berekspresi sesuai perkembangan zaman.
STEPHANUS ARANDITIO
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menjelaskan potensi dampak UU Cipta Kerja terhadap masyarakat desa dan buruh dalam peluncuran buku modul untuk rakyat berjudul Memahami dan Melawan Omnibus Law UU Cipta Kerja, di Jakarta, Jumat (24/3/2023).
Selain itu, aktor-aktor lama saat ini justru ”membajak” institusi-institusi negara. Alhasil, apabila menginginkan perubahan, aturan terkait aktor-aktor politik itu perlu dibongkar. ”Bagaimana kita membuat aturan ’main’ supaya aktor-aktor lama, elite politik, kartel-kartel politik diminimalkan. Kita reformasi total partai politik, kita bikin lebih demokratis,” tutur Bivitri.
Tak hanya itu, pendidikan masyarakat sipil juga perlu digencarkan. Bukan lagi pendidikan kewarganegaraan, tetapi kewargaan. Hal ini supaya publik menyadari hak-hak politiknya. Pada saat bersamaan, aktor-aktor politik juga harus mampu mendengar suara publik.