DPR belum juga mengagendakan pembacaan surat presiden terkait usulan pembahasan RUU Perampasan Aset dalam rapat paripurna.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nasib Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana yang diusulkan pemerintah masih menggantung. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat belum juga membacakan surat presiden yang berisi usulan pembahasan bersama RUU tentang Perampasan Aset dalam rapat paripurna DPR. Lambannya tindak lanjut usulan pembahasan RUU Perampasan aset kian menegaskan spekulasi tentang adanya upaya aktor politik untuk menjegal pembentukan regulasi tersebut.
Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat presiden (surpres) berisi pembahasan RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana kepada pimpinan DPR pada 4 Mei 2023. Pemerintah mengharapkan DPR segera menindaklanjuti usulan pembahasan RUU tersebut begitu memasuki masa persidangan setelah reses.
Namun, hingga rapat paripurna kedua pada Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 yang digelar pada Jumat (19/5/2023), pimpinan DPR belum juga membacakan surpres RUU Perampasan Aset. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan, sesuai jadwal yang sudah disusun, DPR belum mengagendakan membacakan surpres RUU Perampasan Aset pada tiga rapat paripurna pertama di Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023.
Agenda sekarang ini sudah terjadwal dari April sehingga rapat paripurna Selasa kemarin, hari ini, dan Selasa pekan depan memang sudah terjadwal agendanya.
Politikus Partai Gerindra itu menjelaskan bahwa agenda tiga rapat paripurna pertama sudah dijadwalkan sejak bulan April lalu. Rapat paripurna pada Jumat ini, misalnya, sudah dijadwalkan untuk membahas penyampaian pemerintah terhadap kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal RAPBN 2024.
”Agenda sekarang ini sudah terjadwal dari April sehingga rapat paripurna Selasa kemarin, hari ini, dan Selasa pekan depan memang sudah terjadwal agendanya,” kata Dasco rapat paripurna di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Jumat siang.
Sesuai dengan mekanisme yang berlaku, surpres usulan pembahasan RUU akan dibacakan dalam rapat paripurna setelah dibahas dalam rapat pimpinan (rapim) DPR. Namun menurut Dasco, saat ini pimpinan DPR masih berkoordinasi dengan Sekretariat Jenderal DPR mengenai jadwal dan materi yang akan dibahas dalam rapim.
”Kami akan lakukan sesuai mekanisme. Saat ini kami lagi koordinasikan dengan pihak Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR seberapa banyak bahan yang kami harus rapim-kan. Kalau memang harus rapim, berarti kami akan rapim langsung,” ujar Dasco.
RUU Perampasan Aset baru bisa dibahas setelah surpres dibacakan di hadapan rapat paripurna yang dilanjutkan dengan pembahasan di rapat Badan Musyawarah (Bamus) atau rapat konsultasi pengganti Bamus. Dalam rapat yang diikuti pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi itu akan diputuskan alat kelengkapan DPR yang ditunjuk untuk membahas RUU Perampasan Aset bersama pemerintah.
Ditemui secara terpisah, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan, sampai saat ini beleid RUU Perampasan Aset masih berada di meja pimpinan DPR. Meski dokumen tersebut sudah diserahkan oleh pemerintah ke DPR pada awal Mei, tidak bisa langsung segera dibawa ke rapim dan bamus karena harus mengikuti jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya.
RUU ini, kata Bambang, memang harus dikawal hingga ditetapkan menjadi undang-undang. Oleh karena itu, pembahasan harus dilakukan secara terbuka dan melibatkan publik.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola berpendapat, lambatnya pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR semakin menguatkan spekulasi mengenai adanya penolakan dari aktor-aktor politik. Penolakan kemungkinan terjadi karena instrumen undang-undang tersebut memuat prosedur penelusuran, pemblokiran, penyitaan, dan perampasan aset hasil tindak pidana.
”Kita tahu instrumen RUU Perampasan Aset yang diatur berkaitan erat dengan penelusuran aset para kelompok yang punya porsi kekuasaan besar seperti anggota DPR. Saat ini pelaku kejahatan dihukum dengan pidana badan, maka dengan adanya UU Perampasan Aset, akan ada alternatif hukuman berupa perampasan aset.” katanya.
Menurut Alvin, pembahasan RUU Perampasan idealnya rampung sebelum Pemilu 2024. Selain kebutuhan akan regulasi itu sudah sangat mendesak, perumusan UU Perampasan Aset juga sudah mangkrak selama lebih dari 10 tahun. RUU Perampasan Aset sudah dua kali masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2008 dan 2014, tetapi gagal dibahas.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman mengatakan, pengesahan RUU Perampasan Aset penting untuk memberikan dampak hukum lain, terutama bagi para pelaku korupsi. Sebab, selama ini, ketentuan yang berlaku di Indonesia belum dapat memberikan efek jera secara maksimal terhadap pelaku korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya.
”Menurut saya, pemberantasan korupsi harus dengan cara itu (UU Perampasan Aset). Kalau UU ini tidak disahkan, saya meminta rakyat untuk tidak memilih satu pun anggota DPR sekarang menjadi anggota DPR pada periode selanjutnya,” tutur Boyamin.