Mahasiswa Didorong untuk Terus Menjaga dan Rawat Demokrasi Pascareformasi
Tak mudah perjuangkan reformasi yang dimulai sejak 1978-1998 oleh mahasiswa. Karena itu, mahasiswa perlu menjaga dan merawat demokrasi agar Indonesia tidak dikuasai kembali oleh rezim otoriter dan represif seperti dulu.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, pengamat politik & ekonomi Faisal Basri, dan Audrey Chandra (moderator, kiri ke kanan) menjadi narasumber dalam sarasehan bertajuk Reformasi Memanggil; 25 Tahun Reformasi bersama Aldera" di Jakarta, Jumat (19/8/2023). Sarasehan ini digelar harian Kompas bersama Yayasan Aldera untuk memperingati 25 tahun reformasi 1998.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya menjaga dan merawat demokrasi setelah 25 tahun reformasi tidak boleh berhenti. Mahasiswa didorong berani bersuara dan memiliki semangat seperti pada masa reformasi 1998. Mereka mau berkorban mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia pada masa sekarang.
Pengamat ekonomi dan politik Faisal H Basri mengungkapkan, reformasi pada 1998 tak terlepas dari kondisi krisis ekonomi yang ditandai dengan terus merosotnya nilai tukar rupiah. Banyak bank yang menjadi jantung ekonomi kolaps.
Fase berbenah dari krisis terjadi pada pemerintahan Presiden BJ Habibie yang dilanjutkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan meredam inflasi. Pada periode ini, demokratisasi juga semakin membaik, salah satunya pengakuan terhadap agama Khonghucu.
Kondisi krisis mulai hilang pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan membayar hutang lebih cepat. Sebab, stabilitas ekonomi sudah terjamin sejak pemerintahan Habibie dan Gus Dur. Kondisi ekonomi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melenggang ke arah yang baik.
Pengamat politik dan ekonomi Faisal Basri menjadi narasumber dalam sarasehan bertajuk Reformasi Memanggil; 25 Tahun Reformasi bersama Aldera di Jakarta, Jumat (19/5/2023). Sarasehan ini digelar harian Kompas bersama Yayasan Aldera untuk memperingati 25 tahun reformasi 1998.
”Sayangnya momentum emas ini lepas. Harga-harga komoditas naik. Kita berkelimpahan valas (valuta asing), tetapi seribu triliun lebih habis buat dibakar. Subsidi BBM. Jadi, bukan untuk kesejahteraan rakyat,” kata Faisal saat diskusi peringatan 25 tahun reformasi 1998 bertajuk ”Reformasi Memanggil” yang diselenggarakan Harian Kompas bersama Aldera di Jakarta, Jumat (19/5/2023).
Sayangnya momentum emas ini lepas. Harga-harga komoditas naik. Kita berkelimpahan valas (valuta asing), tetapi seribu triliun lebih habis buat dibakar. Subsidi BBM. Jadi, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Memasuki era reformasi, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia itu dikenal sebagai salah satu pendiri Majelis Amanah Rakyat ( MARA) yang merupakan cikal bakal berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan pada 23 Agustus 1998. Faisal menjadi sekjen pertama. Namun, ia kemudian keluar karena berseberangan dengan Ketua Umum Amien Rais.
Hadir juga sebagai pembicara Sekretaris Jenderal Aldera 1993-1998 Pius Lustrilanang dan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo. Acara ini juga dihadiri sejumlah mahasiswa dari beberapa universitas.
Pesimisme Faisal Basri
Pada awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kata Faisal, pertumbuhan ekonomi justru menurun. Pada era Orde Baru, perbankan menyalurkan kredit hingga 65 persen dari produk domestik bruto (PDB), sedangkan saat ini hanya 40 persen. Penerimaan pajak juga terus menurun. Ironisnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak bisa mengaudit Direktorat Jenderal Pajak sampai ada kasus transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan.
Dengan rupiah tak kunjung menguat, Faisal memperkirakan tingkat kesejahteraan Indonesia sulit menyusul Thailand dan Malaysia. ”Kami mengingatkan, 23 tahun lagi akan disusul oleh Vietnam dan Filipina sehingga 23 tahun lagi kita hanya lebih tinggi dari Timor Leste, Kamboja, Laos, dan Myanmar,” tuturnya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Mahasiswa bersiap mengikuti sarasehan bertajuk "Reformasi Memanggil; 25 Tahun Reformasi bersama Aldera" di Jakarta, Jumat (19/8/2023). Sarasehan ini digelar harian Kompas bersama Yayasan Aldera untuk memperingati 25 tahun reformasi 1998.
Berdasarkan data Bank Dunia, kata Faisal, angka harapan hidup Indonesia turun dari 70 tahun pada 2019 menjadi hanya 67 tahun pada 2021. Situasi tersebut hanya sedikit lebih tinggi dari Myanmar. Bahkan, Indonesia kalah dari Timor Leste.
Faisal mengungkapkan, dari sisi kebebasan berpendapat juga mengkhawatirkan. Perguruan tinggi mulai disusupi kepentingan politik. Rektor atau dosen yang mengkritik pemerintah langsung mendapatkan teguran. Rektor terpilih yang tidak dikehendaki penguasa bisa dibatalkan. Ia berharap, mahasiswa menyuarakan situasi ini agar ada perbaikan.
Berkeliling ke kampus-kampus
Dalam acara ini, perwakilan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) Jusuf Ngadri menyerahkan penghargaan kepada Pius untuk buku Aldera sebagai penjualan buku terbanyak dalam kurun waktu enam bulan (15 Oktober 2022 hingga 15 April 2023), yakni sebanyak 160.540 eksemplar.
Perwakilan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) Jusuf Ngadri menyerahkan penghargaan kepada Pius untuk buku Aldera sebagai penjualan buku terbanyak dalam kurun waktu enam bulan (15 Oktober 2022 hingga 15 April 2023) yakni sebanyak 160.540 eksemplar.
Pius bersyukur buku Aldera terbit menjelang 25 tahun reformasi pada situasi politik yang agak suram dengan adanya ide perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode, penundaan pemilu, dan lain-lain. Ia keliling ke beberapa kampus dengan membawa buku tersebut untuk mengingatkan kembali perjuangan para mahasiswa di masa lalu.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Perwakilan dari MURI Jusuf Ngadri menyerahkan penghargaan MURI kepada Sekretaris Jenderal Aldera Pius Lustrilanang dalam sarasehan bertajuk "Reformasi Memanggil; 25 Tahun Reformasi bersama Aldera di Jakarta, Jumat (19/8/2023). Penghargaan MURI ini diberikan untuk penjualan buku terbanyak kurun waktu enam bulan yaitu 160.540 eksemplar untuk buku Aldera.
Ia mengatakan, tidak mudah memperjuangkan reformasi yang dimulai sejak 1978 sampai 1998 oleh mahasiswa. ”Itu lagi-lagi adalah peran mahasiswa. Perlu banyak orang yang ditahan, diculik, dibunuh untuk menegakkan demokrasi yang kita nikmati hari ini,” kata Pius.
Pius mengingatkan agar mahasiswa menjaga dan merawat demokrasi. Sebab, demokrasi saat ini sering dirampok oleh kaum sipil populis yang menang dalam pemilu. Mereka membajak demokrasi secara pelan-pelan dengan mengakali konstitusi agar bisa berkuasa lebih lama. Ia tidak ingin Indonesia memiliki lagi presiden yang berkuasa terlalu lama.
Saya minta kepada seluruh mahasiswa, pada seluruh aktivis demokrasi, mari kita berkolaborasi. Mari kita bersatu merawat demokrasi kita.
”Saya minta kepada seluruh mahasiswa, pada seluruh aktivis demokrasi, mari kita berkolaborasi. Mari kita bersatu merawat demokrasi kita,” kata Pius.
Budiman Tanuredjo menceritakan bagaimana perjuangan aktivis dan mahasiswa pada masa reformasi dalam melawan kekuatan Orde Baru dengan risiko mati. Salah satunya Pius, korban penculikan 1998, yang berani memberikan kesaksian ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kesaksiannya itu akhirnya memberikan kesimpulan bahwa penculikan terhadap aktivis dilakukan oleh kelompok terorganisasi. Aktivis tersebut ada yang kembali, tetapi ada juga yang masih hilang.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo menjadi narasumber dalam sarasehan bertajuk Reformasi Memanggil; 25 Tahun Reformasi bersama Aldera di Jakarta, Jumat (19/8/2023). Sarasehan ini digelar harian Kompas bersama Yayasan Aldera untuk memperingati 25 tahun reformasi 1998.
Berbagai aksi demonstrasi yang diawali di Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditandai dengan tewasnya mahasiswa Moses Gatotkaca lalu bergerak ke sejumlah tempat hingga ada enam mahasiswa yang tewas. Berbagai kerusuhan yang terjadi di Jakarta berakhir dengan mundurnya Presiden Soeharto hingga akhirnya BJ Habibie minta dukungan pada rakyat.
Budiman mengatakan, agenda tuntutan reformasi ada yang tercapai, tetapi ada juga yang masih terbengkalai. Karena itu, muncul gerakan Reformasi Memanggil untuk meneruskan agenda reformasi yang belum selesai. Adapun tuntutan reformasi yakni penegakan supremasi hukum; pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; amendemen konstitusi; pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri); serta pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.