Pada Peraturan KPU No 10/2023 tentang tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tak ada larangan penggantian nomor urut caleg setelah daftar ke KPU. Namun, ini dinilai tak memberi kepastian.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fleksibiltas partai politik untuk mengubah nomor urut, perpindahan daerah pemilihan, dan lembaga perwakilan setelah penyerahan daftar calon anggota legislatif dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian. Perubahan tersebut memicu pragmatisme transaksional dan membuat nasib caleg yang sudah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum semakin tidak menentu.
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, tidak ada larangan berkenaan penggantian nomor urut caleg setelah didaftarkan ke KPU. Pasal 66 Ayat (1) huruf b PKPU 10/2023 juga disebutkan, parpol juga dapat mengajukan perubahan rancangan DCS pada masa pencermatan rancangan DCS untuk mengajukan perpindahan dapil terhadap caleg pada lembaga perwakilan dan parpol yang sama.
Dengan demikian, parpol dalam mengganti nomor urut, dapil, maupun lembaga perwakilan seluruh caleg yang sudah didaftarkan. Perubahan bisa dilakukan di masa pencermatan daftar caleg sementara (DCS) dan pencermatan (daftar caleg tetap) DCT berdasarkan keputusan dari pimpinan parpol tingkat pusat. Adapun masa pencermatan DCS dilakukan pada 6-11 Agustus, sedangkan pencermatan DCT pada 24 September hingga 3 Oktober.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, tidak ada larangan berkenaan penggantian nomor urut caleg setelah didaftarkan ke KPU.
Mantan anggota KPU, Evi Novida Ginting, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (17/5/2023), mengatakan, perubahan nomor urut, dapil, maupun lembaga perwakilan baru terjadi di Pemilu 2024. Pada dua pemilu sebelumnya, yakni pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, nomor urut, dapil, dan lembaga perwakilan tidak bisa diubah setelah parpol menyerahkan daftar caleg ke KPU.
Menurut dia, penyusunan daftar calon merupakan wewenang parpol. Namun, berbagai dinamika di parpol bukan menjadi ranah KPU sebagai penyelenggara pemilu. Setelah proses pencalegan selesai di parpol dan diserahkan pada KPU, seluruh kewenangan berpindah dari parpol kepada KPU. Sebab, ada tahapan dan proses verifikasi yang akan dilakukan. Tidak diubahnya nomor urut merupakan upaya dalam menjamin ketertiban, kepastian, dan akuntabilitas terhadap proses serta tahapan sampai ditetapkannya DCS.
”Hal teknis verifikasi dan perubahan-perubahan nomor urut bukan merupakan hal yang mudah karena menyangkut administrasi yang cukup banyak, bahkan akan menimbulkan ketidakpastian terhadap calon legislatif yang bisa saja mengalami kerugian akibat perubahan-perubahan yang bisa jadi di luar pengetahuan calon tersebut,” ucap Evi.
Jika tidak banyak yang diubah, menurutnya, kerja KPU akan lebih profesional dengan penataan teknis yang lebih tertib, memberikan kepastian, dan akuntabel. Sementara kondisi sekarang yang dapat diubah justru memberikan fleksibilitas kepada parpol untuk mengubah nomor urut caleg yang sudah diserahkan ke KPU. ”Terlihat tidak ada batasan kewenangan yang jelas antara parpol dan KPU dalam proses pencalonan legislatif saat ini,” tuturnya.
PKPU berpotensi tak lindungi hak dan kepastian hukum caleg
Penentuan dapil caleg mestinya tidak instan dan tidak berubah dengan mudah karena berkaitan dengan hubungan caleg dengan konstituennya.
Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai, PKPU 10/2023 berpotensi tidak melindungi hak dan memberikan kepastian hukum pada caleg terkait dengan kepesertaan mereka di pemilu. Penggantian dengan persetujuan ketum parpol dan perpindahan dapil yang bisa dilakukan saat berstatus DCS bisa memicu pragmatisme transaksional serta merugikan caleg yang sudah bekerja keras mengelola partai. Terlebih, jika persyaratannya tidak jelas dan diserahkan sepenuhnya pada partai.
”Penentuan dapil caleg mestinya tidak instan dan tidak berubah dengan mudah karena berkaitan dengan hubungan caleg dengan konstituennya,” ujarnya.
Menurut Titi, pengaturan oleh KPU tersebut akhirnya bisa menyandera caleg dan membuat posisi caleg sangat lemah saat berhadapan dengan hukum. PKPU 3/2023 bisa ditafsirkan sangat memfasilitasi kepentingan partai yang sangat besar, tetapi dengan mengorbankan hak caleg dan pemilih atas pencalonan yang akuntabel dan berkeadilan. Akibatnya, nasib caleg menjadi semakin tidak menentu meskipun sudah didaftarkan ke KPU.
”Perubahan-perubahan itu menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan membuka keran politik transaksional di internal partai. Aturan ini justru mengancam soliditas partai dan pada akhirnya malah bisa memicu konflik internal yang dapat melemahkan kerja-kerja pemenangan partai,” katanya.