Pendaftaran calon anggota legislatif mulai dibuka pada 1-14 Mei 2023. Kendati demikian, partai politik masih menanti putusan MK mengenai sistem pemilu. Ini karena putusan MK juga menentukan strategi partai.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (13/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS – Tersisa 11 hari sebelum pendaftaran calon anggota legislatif dibuka pada 1-14 Mei 2023. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sistem pemilihan umum atau pemilu proporsional terbuka dan tertutup masih samar. Karena itu, partai politik pun menyiapkan strategi untuk skenario terburuk.
Gerindra berharap putusan MK adalah sistem pemilu proporsional terbuka. Jika yang terjadi sebaliknya, Gerindra telah meminta kadernya memenangkan partai.
Demokrat tak menyiapkan skenario apa pun karena memandang aturan kontestasi yang sudah ada tidak perlu diubah karena tahapan pemilu sedang berlangsung.
Partai Bulan Bintang, sebaliknya, berharap sistem proporsional tertutup. Namun, juga siap dengan sistem terbuka.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, partainya masih berharap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sistem pemilu proporsional terbuka. Ketidakpastian sistem tersebut memaksa partai harus siap dengan keadaan apa pun.
”Karena putusan MK masih samar, Gerindra harus menyiapkan strategi untuk menghadapi skenario terburuk. Kami akan all-out (mengerahkan seluruh tenaga) apabila diputuskan sistem pemilu proporsional tertutup,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (20/4/2023).
Pada November 2022 lalu, pemilu legislatif yang diselenggarakan dengan sistem proposional terbuka, seperti diatur dalam Pasal 168 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, itu dipersoalkan ke MK. Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 itu, mengutip informasi dari laman situs MK, diajukan oleh sejumlah pihak, antara lain, Demas Brian Wicaksono, salah satu pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Para pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut berkenaan dengan sistem proporsional berbasis suara terbanyak telah bermakna dibajak oleh calon anggota legislatif (caleg) pragmatis. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik, tetapi mewakili diri sendiri.
Hingga kini, persidangan uji materi terkait dengan sistem pemilu masih berlanjut di MK. Karena itu, menurut Habiburokhman, Gerindra merancang skenario terburuk. Jika MK menjatuhkan putusan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, Gerindra telah meminta para kadernya untuk fokus memenangkan partai. Ruang untuk mengandalkan ketokohan dan kekerabatan para calon legislatif (caleg) di daerah kian sempit. Ini karena pemilu proporsional tertutup berfokus pada menjual visi, misi, dan program partai yang diperjuangkan.
Lain halnya Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Partai Demokrat Andi Arief. Dia menyampaikan, semestinya aturan kontestasi yang sudah ada tidak perlu diubah karena tahapan pemilu sedang berlangsung.
”Putusan MK sebaiknya memperhatikan hal yang dikehendaki masyarakat dan parpol. Ini dapat diibaratkan pertandingan yang sudah mulai. Jadi, jangan diubah peraturan yang sedang berlangsung,” ucap Andi.
Oleh karena itu, Partai Demokrat tidak pernah menyiapkan strategi apabila putusan MK menghendaki sistem pemilu proporsional tertutup. Menurut Andi, selain bertentangan dengan keinginan publik, perubahan sistem pemilu juga tidak adil ketika diputuskan sekarang.
Namun, tak semua parpol bimbang menghadapi putusan MK. Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Noor, contohnya, malah berharap pada sistem pemilu proporsional tertutup. Meski demikian, partainya siap terhadap apa pun putusan MK mendatang. Ini karena PBB telah merasakan kedua sistem pemilu baik secara proporsional terbuka maupun tertutup.
Semestinya aturan kontestasi yang sudah ada tidak perlu diubah karena tahapan pemilu sedang berlangsung. (Andi Arief)
Pada 1999-2009, PBB turut serta dalam sistem proporsional tertutup, sedangkan pada 2009-2019 juga ikut dengan sistem proporsional tertutup. Berubah atau tidaknya sistem pemilu tidak serta-merta ikut mengubah strategi PBB dalam pemilu. ”Kami memasukkan kedua sistem pemilu dalam strategi pemenangan, jadi tidak ada yang berubah,” lanjut Afriansyah.
Dalam sistem proporsional terbuka, secara otomatis partainya akan menjaring caleg-caleg yang bermodal finansial besar untuk mampu mendulang suara. Selain itu, para caleg juga akan berkompetisi satu sama lain di daerah pemilihan (dapil) masing-masing untuk menang. PBB harus berkompromi dengan kandidat caleg, sehingga fungsi partai dapat tereduksi.
Sementara sistem proporsional tertutup, seluruh kader akan membantu mempromosikan visi, misi, dan program partai. Karena itu, setiap caleg akan terbantu dan tidak perlu mengeluarkan biaya besar dalam kontestasi politik lima tahunan.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Ilustrasi. Jemek Supardi mencoba mengangkat persoalan seputar fenomena Pemilu 2009 melalui pantomim yang ia pentaskan dengan tajuk Calegbrutussaurus di Gedung Sosieted Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (18/3/2009). Jemek menilai Pemilu 2009 adalah sebuah dagelan tersendiri karena banyak caleg dengan foto gaya selebritisnya menebar janji muluk untuk memperjuangkan rakyat.
50 persen
Menurut peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati, baik sistem pemilu proporsional terbuka maupun tertutup memiliki peluang yang sama dalam putusan MK, yakni 50 persen. Tenggat waktu yang tersedia saat ini dinilai masih memungkinkan bagi MK untuk mencari putusan terbaik.
”Putusan MK mendatang akan berdampak langsung pada metode kampanye dan pengambilan keputusan internal partai. Apabila MK memutuskan untuk sistem pemilu proporsional terbuka, parpol dapat menggunakan strategi seperti Pemilu 2019. Hal ini berlaku sebaliknya untuk sistem pemilu proporsional tertutup, parpol perlu menyiapkan strategi baru,” katanya.
Wasisto menjelaskan, MK perlu mempertimbangkan secara matang sebelum melahirkan putusan. Sebab, kedua sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dia mencontohkan, sistem pemilu proporsional terbuka menguatkan peran pemilih, tetapi melemahkan peran partai. Hal sebaliknya berlaku untuk sistem proporsional tertutup.
Mantan Hakim Konstitusi MK I Dewa Gede Palguna menuturkan, sistem pemilu proporsional tertutup akan bagus apabila parpol telah mempraktikkan prinsip meritokrasi. Sebab, caleg yang direkrut adalah orang-orang yang telah memenuhi kriteria standar partai. ”Jadi, peran partai akan sangat kuat. Parpol juga dapat mengontrol platform dan ideologi masing-masing,” ungkapnya.
Sebaliknya, tutur Palguna, sistem pemilu proporsional terbuka kerap dianggap lebih demokratis karena popularitas individu yang menentukan kemenangan. Namun, sistem tersebut dapat memunculkan pragmatisme dan persaingan antar-caleg di internal partai. Selain itu, parpol nyaris tidak mampu mengawal platform dan ideologinya.