Nomor Urut ”Cantik” Masih Jadi Incaran Bakal Caleg
Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, calon anggota legislatif di nomor urut berapa pun dinilai memilki kans keterpilihan yang sama karena penentuan keterpilihan dari jumlah suara yang diperoleh.

Bendera partai politik peserta pemilu terpasang di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (27/1/2023). KPU telah menetapkan 18 partai politik (parpol) nasional sebagai peserta Pemilu 2024.
> Tahapan pendaftaran bakal caleg parpol akan dibuka pada 1-14 Mei 2023.
> Partai politik tak asal-asalan dalam menempatkan bakal caleg di nomor urut teratas dalam surat suara pemilihan anggota legislatif. Ada sejumlah kriterianya.
> Dalam sistem proporsional terbuka, kans keterpilihan bakal caleg di nomor urut berapa pun sama besarnya.
JAKARTA, KOMPAS — Meski bakal bertarung di pemilu dengan sistem proporsional terbuka, bakal calon anggota legislatif masih mengincar nomor urut ”cantik” seperti nomor urut teratas di surat suara karena diasosiasikan dengan peluang kemenangan. Tidak dimungkiri, itu bisa memunculkan gesekan di internal. Sejumlah partai membuat peraturan ketat untuk mengantisipasinya.
Pematangan daftar calon anggota legislatif (caleg) di sejumlah partai politik jelang pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum pada 1-14 Mei 2023 mulai bergerak dari urusan jumlah, administrasi, hingga penentuan nomor urut di kertas suara. Salah satunya di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P Arif Wibowo mengatakan, pihaknya sudah menuntaskan pengisian daftar caleg di seluruh tingkatan dengan mengikuti konfigurasi yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, termasuk menentukan nomor urut untuk setiap caleg.
Ia mengakui proses penentuan nomor urut masih diwarnai perebutan di antara para bakal caleg. Meski tidak terjadi dalam jumlah besar, ada bakal caleg yang meminta nomor urut tertentu, umumnya yang teratas, karena mengasosiasikannya dengan peluang kemenangan. ”Kalau terjadi (perebutan nomor urut), itu masih ada. Tetapi tidak banyak,” kata Arif saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (18/4/2023).
Baca juga: Konflik Internal Parpol Rentan Terjadi Saat Penetapan Caleg

Arif Wibowo
Ia menambahkan, hal itu terjadi karena bakal caleg tidak memahami aturan internal partai mengenai pencalonan anggota legislatif. Padahal, partai berlambang banteng moncong putih itu memiliki Peraturan PDI-P Nomor 25A Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif yang di antaranya mengatur tentang tata cara perekrutan, seleksi, dan penetapan nomor urut.
Untuk menentukan nomor urut caleg, partai akan melakukan pemeringkatan skor yang dilihat dari beberapa hal. Misalnya, jabatan di parpol, kualifikasi kader, dan rekam jejak selama menjadi anggota partai. Bahkan, penilaian lebih rinci dilakukan untuk para bakal caleg petahana, yakni dengan melihat bagaimana pelaksanaan fungsi pengawasan, legislasi, dan anggaran selama mereka menjabat.
”Jadi itu komplet, ada instrumen yang digunakan untuk mengukur, menilai, melakukan asesmen terhadap seluruh bakal caleg,” kata Arif.
Partai juga memberikan penjelasan mengenai penempatan setiap caleg di nomor urut tertentu. Itu juga sudah dimusyawarahkan secara berjenjang, mulai dari Dewan Pimpinan Cabang (DPC), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), hingga ke DPP, yang tidak terlepas dari pertimbangan strategis partai dalam rangka pemenangan. ”Setiap susunan caleg itu menggambarkan kemampuan partai untuk meraih suara dan kursi sebanyak-banyaknya,” ujar Arif.
Baca juga: Pekan Ini, KPU Buka Silon untuk Pendaftaran Caleg Parpol

Warga melintas di depan poster calon anggota legislatif pada Pemilu 2014 yang masih terpasang di salah satu sudut Kota Tangerang, Banten, Minggu (27/4/2014).
Menurut Arif, umumnya penjelasan itu bisa diterima bakal caleg yang tidak mendapatkan nomor urut sesuai dengan keinginannya.
”Kalau ada satu dua konflik kecil, perbedaan pendapat, kita jelaskan. Karena ini ada alat ukurnya, kita punya peraturan yang mengarut mekanisme rekrutmen dan seleksinya. Ada sistem skoring, kualifikasi kader, jadi komplet,” katanya.
Aturan partai
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi membenarkan penentuan nomor urut caleg kerap menjadi persoalan tersendiri. Ini karena nomor urut selalu dikaitkan dengan kemudahan sosialisasi dan peluang kemenangan. Akan tetapi, hal tersebut tidak pernah mencuat hingga menjadi konflik di internal PAN karena sudah diantisipasi melalui peraturan partai.

Viva Yoga Mauladi
Dalam Peraturan PAN tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota, kata Viva, disebutkan bahwa penentuan nomor urut didasarkan pada sistem skor dengan beberapa indikator. Indikator dimaksud antara lain status sebagai pengurus partai, jenjang pendidikan, durasi menjadi kader dan pengurus partai, serta rapor kegiatan sebagai bakal caleg di dapil.
”Itu diatur secara detail, terukur, rasional, dan obyektif. Jadi semua bakal caleg bisa mengukur dirinya sendiri,” katanya.
Baca juga: Rahasia Caleg Modal Cekak Menembus Parlemen
Menurut Viva, peraturan partai itu diperkuat dengan budaya yang diklaimnya telah dibangun sejak Pemilu 1999 atau pertama kalinya PAN mengikuti pemilu. Sejak saat itu, PAN telah menerapkan sistem suara terbanyak, yang kini menjadi bagian dari pemahaman perilaku dan pengurus PAN.
”Bahkan, sering kali bakal caleg yang tidak dapat meraih nomor urut satu justru memilih nomor buncit. Misal, jumlah caleg di dapil ada tujuh, mana nomor urut favorit adalah nomor satu dan tujuh,” ujarnya.

Sekjen DPP Partai Nasdem, Johnny G Plate (kedua kiri) didampingi Taufik Basari (tidak terlihat), Effendy Choirie, Herman Taslim, Dedy Ramanta, dan Charles M (kiri ke kanan) berkunjung ke Redaksi Kompas, Jakarta, Jumat (10/11/2017).
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Nasdem Effendy Choirie pun mengungkapkan bahwa partainya memiliki cara yang sama dengan PAN dalam upaya meminimalisasi potensi konflik di internal akibat penentuan nomor urut caleg, yakni berpegang pada peraturan partai. Dalam peraturan partai tersebut, telah diatur kriteria seperti apa caleg yang mendapat prioritas nomor urut atas.
”Jadi, tidak perlu lobi, kami sudah punya peraturan partai,” ucap Choirie.
Prioritas pertama adalah caleg petahana. Kedua, caleg tersebut merupakan pengurus partai, baik di DPP maupun di Dewan Pimpinan Wilayah (DPW). Ketiga, caleg tersebut dianggap memiliki keistimewaan atau nilai yang berbeda dibandingkan caleg lainnya, misalnya caleg tersebut telah memiliki basis massa atau jejaring sosial yang kuat di wilayah tersebut karena ketokohannya.

Syaiful Huda
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Syaiful Huda mengaku DPP sangat berhati-hati dalam penempatan nomor urut caleg. Caleg yang dianggap lebih memiliki kemampuan politik dan jejaring sosial biasanya diberikan nomor urut atas. Namun, ini juga terkadang memicu konflik karena caleg lain biasanya juga merasa memiliki jejaring sosial kuat dan malah diberikan nomor urut bawah.
Dalam situasi ini, DPP PKB berusaha bersikap obyektif. Partai akan memanggil caleg-caleg tersebut dan menggelar pertemuan bersama. Di antara para caleg kemudian mulai memetakan daerah basisnya masing-masing sehingga tidak ada daerah yang saling bersinggungan.
”Jadi, kami sudah punya tim yang juga melakukan kerja mapping dan memastikan tidak terjadi konflik itu. Itulah caranya agar bisa berkompetisi dengan partai lain. Jadi partai hanya bisa berkompetisi dengan partai lain jika partai tersebut mampu menuntaskan dulu konsolidasi internal antarcalegnya. Kalau itu tidak terjadi, yang terjadi malah caleg makan caleg sendiri di internal partai,” kata Huda.
Baca juga: Lika-liku Parpol Raih Simpati Anak Muda demi Mendulang Suara

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil berpendapat persepsi pemilih saat ini masih menganggap caleg dengan nomor ”cantik” merupakan tokoh-tokoh yang diutamakan oleh partai dan berkualitas. Padahal, ini hanya persoalan persepsi saja. Toh, pada akhirnya, dalam sistem proporsional terbuka, keterpilihan seorang caleg tetap ditentukan oleh perolehan suara terbanyak.
Namun, yang kemudian dilakukan partai justru berkelindan dengan persepsi itu sendiri. Karena itu, dalam sistem proporsional terbuka pun masih ada perseteruan di internal partai untuk mendapatkan nomor urut kecil, entah menggunakan pengaruh ataupun uang.
”Jadi ada kesan melahirkan favoritisme kepada caleg-caleg tertentu itu ya dengan nomor urut tadi itu. Seolah-olah nomor urut di bawah bukan orang prioritas atau dianggap sebagai pelengkap saja dari daftar caleg yang diajukan partai. Padahal, enggak, dia mau nomor, 1, 10, atau 12, misalnya, dia punya peluang yang sama sepanjang partainya dapat kursi dan dapat suara terbanyak,” kata Fadli.
Untuk itu, menurut Fadli, dibutuhkan perbaikan serius apabila ingin memperbaiki kualitas representasi. Selain itu, perlu juga dijelaskan kepada masyarakat bahwa nomor urut tidaklah berpengaruh terhadap keterpilihan caleg dan tidak mencerminkan kualitas caleg. ”Pilihlah caleg yang kemudian betul-betul bisa membangun keterkaitan programatik dan berdialog dengan pemilh. Mereka yang bisa menjalankan fungsi representasi dan menjaring aspirasi, itu yang kemudian terpilih. Mau dia nomor berapa pun, dalam sistem proporsional terbuka, peluang dia sama, sepanjang mendapatkan suara terbanyak,” ucap Fadli.