Meski manuver elite parpol untuk menjajaki kerja sama sudah semakin gencar, PDI-P tetap bergeming. Satu- satunya parpol yang punya tiket mencalonkan presiden-wapres itu masih belum menentukan arah koalisi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Mural bertema pemilihan presiden di salah satu tembok di Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (15/4). Pasca pemilihahan umum legislatif, partai politik mulai disibukkan rencana koalisi untuk bisa mengajukan calon presiden pada pemilihan presiden-wakil presiden 9 Juli mendatang.
Enam bulan menjelang pendaftaran calon presiden-calon wakil presiden dibuka, konstelasi politik semakin menghangat. Pertemuan antar-elite politik dengan balutan silaturahmi dan buka puasa bersama semakin gencar terjadi. Dari sejumlah pertemuan di bulan Ramadhan itu pula, wacana koalisi besar mengemuka.
Keseriusan untuk membentuk koalisi besar ditunjukkan oleh manuver para elite politik satu pekan terakhir. Partai-partai politik pendukung pemerintahan yang kini telah tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) juga menunjukkan upaya penjajakan dengan menghadiri acara silaturahmi Ramadhan yang digelar Partai Amanat Nasional (PAN).
Acara yang digelar di kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu (2/4/2023), itu dihadiri lima pucuk pimpinan parpol KIB dan KKIR. Mereka adalah Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Mardiono, dan tentu Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan selaku tuan rumah. Selain itu, hadir pula Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yang sudah sejak lama membentuk KKIR.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mendukung ide pembentukan koalisi besar yang dikemukakan Ketua Umum Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Meski manuver elite parpol untuk menjajaki kerja sama sudah semakin gencar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tetap bergeming. Satu-satunya parpol yang punya tiket mencalonkan presiden-wapres itu masih belum menentukan arah koalisi. Parpol pimpinan Megawati Soekarnoputri ini belum sedikit pun menunjukkan sinyal terkait arah koalisi maupun capres yang akan diusung.
Tidak terlibatnya PDI-P dalam pembicaraan-pembicaraan mengenai koalisi besar tak pelak menimbulkan spekulasi, lima parpol koalisi pendukung Presiden Joko Widodo yang tengah menjajaki pembentukan koalisi besar akan meninggalkan PDI-P di Pilpres 2024 mendatang.
Meski demikian, anggapan itu langsung ditepis Ketua DPP PDI-P Eriko Sotarduga. Meski sampai sekarang belum ada satu pun kader yang mengetahui haluan yang akan dipilih Megawati, bukan berarti tidak ada kemungkinan bagi PDI-P untuk membangun kerja sama dengan parpol lain. ”Kalau misalnya nanti diputuskan Ibu Ketua Umum (Megawati) sesuai (koalisi besar), tidak ada salahnya juga kita bekerja sama,” kata Eriko dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”PDI-P Ditinggal atau...?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (12/4) malam.
Peserta kongres mengisi daftar dalam hari kedua Kongres V PDI-P di Grand Inna Bali Beach Hotel, Bali, Jumat (9/8/2019). Hari kedua pleno membahas program partai, sikap politik partai serta AD/ART partai.
Selain Eriko, acara bincang-bincang yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu juga dihadiri Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan, dan budayawan Eros Djarot.
Eriko mengatakan, wacana koalisi besar bisa berubah setelah Megawati menentukan keputusan capres, seperti saat Pemilu 2014. Ia justru khawatir jika semua parpol merapat ke koalisi PDI-P karena akan memunculkan calon tunggal.
Wacana koalisi besar bisa berubah setelah Megawati menentukan keputusan capres, seperti saat Pemilu 2014
Nurdin justru menyarankan, PDI-P sebaiknya mencalonkan capres-cawapres sendiri dan tidak bergabung dengan koalisi besar. Selain memiliki golden ticket, PDI-P juga memiliki kader dengan elektabilitas tinggi, yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Bergabungnya PDI-P ke koalisi besar dikhawatirkan akan menambah kerumitan, terutama jika menetapkan syarat agar capres berasal dari kader mereka. Namun, ia menegaskan, koalisi besar tidak anti terhadap PDI-P.
Buka kesempatan
Meski demikian, menurut Habiburokhman, masih terbuka kesempatan PDI-P untuk bergabung ke koalisi besar. Selain relasi Gerindra dan PDI-P relatif baik, ketua umum kedua partai itu juga dekat. Prabowo sangat menghormati Megawati, apalagi pada 2004 lalu keduanya merupakan pasangan capres-cawapres yang turut berkontestasi di pilpres.
Sementara Djayadi menuturkan, berdasarkan pengalaman sejarah, PDI-P selalu bekerja sama dengan parpol lain dalam pilpres sejak tahun 2004 sampai 2019. Kemungkinan besar PDI-P juga akan tetap berkoalisi untuk menghadapi Pilpres 2024. Jika tidak bergabung dengan koalisi besar, ada kemungkinan PDI-P akan mengajak parpol nonparlemen.
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) menggelar konferensi pers setelah menerima kunjungan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (kanan) di kediaman Prabowo Jalan Kertanegara, Jakarta, Sabtu (8/3/2023).
Namun, Djayadi mengingatkan, jalan untuk membentuk koalisi besar sekaligus menetapkan capres-cawapres juga tidak akan selalu mulus. Penentuan capres memang akan lebih mudah selama elektabilitas Prabowo tinggi. Namun, penentuan nama cawapres akan lebih rumit.
Ia memprediksikan, ada sejumlah nama yang bakal ditetapkan sebagai cawapres. Di antaranya Airlangga, Erick Thohir, Sandiaga Uno, dan Khofifah Indar Parawansa.
Meski belum pasti, minimal lima parpol pendukung pemerintah sudah menjajaki kerja sama untuk pilpres. Sementara ke mana arah PDI-P berlabuh, sampai sekarang masih menjadi teka-teki.