Wacana koalisi besar memancing elite partai menjajaki kerja sama. Namun, di balik keriuhan itu, ada pertanyaan soal gagasan apa yang hendak ditawarkan koalisi partai?
Oleh
NINA SUSILO, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, IQBAL BASYARI
·4 menit baca
Pertemuan di antara elite partai politik semakin gencar setelah ada wacana pembentukan koalisi besar.
Dinamika koalisi hingga pendaftaran pasangan calon presiden-calon wakil presiden Oktober 2023 mendatang diyakini masih cair.
Analis politik menilai koalisi partai yang diwacanakan cenderung pragmatis, tetapi belum disertai tawaran gagasan programatik yang kuat.
Sebagai magnet baru dalam politik Tanah Air jelang Pemilu 2024, gagasan pembentukan koalisi besar menarik elite-elite partai untuk saling bertemu. Tidak hanya bagi partai parlemen, tetapi juga partai nonparlemen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pada Kamis (6/4/2023), Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menerima kunjungan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan jajaran pengurus PBB. Yusril menyambangi kediaman Prabowo di Jakarta, sehari setelah Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia Hary Tanoesoedibjo juga berkunjung ke rumah Prabowo.
Prabowo mengatakan, dalam pertemuan dengan Yusril dibahas sejumlah hal tentang Pemilu 2024. Keduanya bertukar pandangan dan saran untuk pemilu mendatang. Keduanya juga membahas gagasan pembentukan koalisi besar yang saat ini diwacanakan lima parpol anggota Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Indonesia Raya (KIR).
”Kami sudah sepakat sebagaimana dengan kawan-kawan politik kami, keyakinan saya, dan saya sudah sampaikan hendaknya politik kita itu politik di antara keluarga besar. Jadi, demokrasi kita harus bercirikan kekeluargaan,” ujarnya.
Sebelumnya, sinyal pembentukan koalisi besar menguat setelah bertemunya Presiden Joko Widodo dengan Prabowo, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, serta Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mardiono. Lima partai itu selama ini tergabung dalam dua koalisi partai, yaitu KIB dan KIR.
Yusril menuturkan, pertemuan kali ini akan mempererat kerja sama antara PBB dan Gerindra, termasuk dalam membangun koalisi. Meski masih sangat cair, PBB siap berkoalisi dengan parpol mana pun. ”Kami juga menyambut baik terbentuknya berbagai koalisi yang sudah ada sekarang ini, yang pasti juga gagasan untuk membangun koalisi besar,” katanya.
Magnet wacana koalisi besar juga disikapi beragam oleh partai-partai nonparlemen selain PBB. Dari sembilan partai politik nonparlemen yang menjadi peserta Pemilu 2024, sementara ini, Kompas menangkap kecenderungan lima parpol punya tendensi mendukung koalisi besar, dua parpol cenderung mendukung Koalisi Perubahan untuk Persatuan, dan dua parpol belum terbaca sikapnya.
Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) Mahfuz Sidik mengatakan, ide koalisi besar sejalan dengan ide partainya yang mengutamakan rekonsiliasi nasional dan konsolidasi elite. Hal ini mengingat keterbelahan yang terjadi seusai Pemilu 2014, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, dan Pemilu 2019. Dia memandang koalisi besar sangat diperlukan untuk menyatukan kepentingan nasional. Walakin, penjajakan koalisi diharapkan tidak berdasarkan kepentingan partai atau figur tertentu.
Sebaliknya, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyatakan, koalisi besar membahayakan masa depan demokrasi. Ini karena kepentingan elite partai tidak selalu sejalan dengan konstituennya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Ummat Nazaruddin menyebutkan, koalisi besar merupakan upaya mengamankan pemerintahan Jokowi. Hal ini dianggap berseberangan dengan nilai-nilai Partai Ummat yang mendukung terjadinya perubahan. Sesuai Rapat Kerja Nasional Partai Ummat, kata Nazaruddin, pihaknya lebih mendukung Anies Baswedan dan bergabung dengan Koalisi Perubahan untuk Persatuan.
Soal koalisi besar
Wacana koalisi besar telah menjadi magnet. Namun, bagaimana awal kemunculan gagasan ini? Apa makna munculnya koalisi ini? Pertanyaan-pertanyaan itu turut dibahas dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Jokowi Orkestrasi Koalisi” di Kompas TV, Rabu (5/4) malam. Dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, hadir sebagai narasumber Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid, Wakil Ketua Umum PAN Yandri Susanto, Wakil Sekjen Partai Nasdem Hermawi Taslim, dan pengamat politik Choirul Umam.
Dalam dialog tersebut terungkap Zulkifli Hasan sudah membicarakan pertemuan ketua umum partai yang berlangsung di DPP PAN dengan Presiden Jokowi. Semua ketua umum parpol dalam koalisi pemerintah diundang. ”Rencana mengumpulkan kader dan memperluas pertemuan di luar kader sudah dibicarakan sebelum Ramadhan. Bang Zul lalu menyampaikan kepada Presiden dan tidak ada buka bersama sebab berakhir pukul dua siang,” tutur Yandri.
Namun, diakui, menjelang Pemilu 2024, semua komunikasi masih sangat terbuka. Koalisi yang terbentuk juga masih sangat dinamis. ”Semua masih bisa terjadi,” ujar Yandri. Jazilul berseloroh, ”Semua memang belum ada yang pasti selain PKB nomor (urut) 1.”
Hermawi Taslim juga mengakui peta koalisi masih sangat dinamis. ”Yang hampir jelas, koalisi kami (Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan PKS) sudah ada orangnya (capres),” ujar Hermawi.
Dia juga meyakinkan, Koalisi Perubahan untuk Persatuan tidak akan mengubah calon presiden yang diusung, Anies Baswedan, dengan calon wapres akan ditentukan Anies sendiri.
Menunggu gagasan
Choirul Umam menuturkan, koalisi besar menjadi strategi untuk mengepung PDI-P dengan satu proposal politik yang diajukan. Namun, komposisi capres-cawapres akan menjadi persoalan tersendiri.
Koalisi masih sangat cair. Negosiasi sosok capres-cawapres juga masih bisa bergeser. Apa pun bisa terjadi dalam politik. Namun, hal terpenting, menurut Umam, semestinya ada gagasan yang dimunculkan dalam narasi dinamika koalisi ini. Namun, katanya, koalisi miskin gagasan. Isu kesejahteraan, utang luar negeri yang menumpuk, performa ekonomi yang tidak optimal, pendidikan, pelemahan korupsi dan demokrasi malah tak tergarap.
”Koalisi Indonesia Bersatu, misalnya, menarasikan transformasi ekonomi, tetapi detail transformasi ekonomi seperti apa yang bisa mengubah wajah Indonesia tidak terjelaskan secara detail,” ujarnya.
Namun, politisi tentu menilai, mereka mesti memenuhi ambang batas pencalonan presiden dan wapres dulu. Barulah gagasan dibicarakan. ”Koalisi pintunya. Harus (di-)putus(-kan) dulu capres cawapres baru membicarakan kesamaan gagasan,” katanya.
Umam melihat pembentukan koalisi tampak terjadi akibat pragmatisme, bukan karena historis ideologis atau kesamaan visi misi. Ini membuat kesamaan gagasan seakan tak penting ketimbang kesamaan kepentingan pragmatis.