Perbedaan data transaksi mencurigakan di Kemenkeu antara yang disampaikan Mahfud MD dan Sri Mulyani perlu diikuti aksi bersih-bersih, baik berupa penindakan maupun pembenahan tata kelolanya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana saat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bersama Komisi III DPR di Ruang Rapat Komisi III Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (29/3/2023). Mahfud MD yang juga Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menghadiri undangan DPR Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR terkait pembahasan transaksi janggal di Kementerian Keuangan sebesar Rp 349 triliun. Mahfud MD menjelaskan kewenangannya sebagai Ketua Komite Pencegahan dan Pemberantasan TPPU untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menjelaskan data agregat transaksi janggal tersebut yang berlangsung tahun 2009-2023.
Saat rapat kerja dengan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di DPR, Jakarta, Rabu (29/3/2023), anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan menyebut polemik nilai transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan ibarat petir yang menyambar-nyambar. Kisruh itu memperlihatkan betapa pejabat publik dalam satu organisasi tidak senada suaranya. Publik pun dibuat kebingungan.
”Jangan sampai petir menyambar menggelegar di siang bolong, tetapi hujan tak turun. Kita ingin di sini hujan itu turun dan deras sehingga terbongkar ini semua,” ujar politikus Partai Demokrat itu.
Apa yang diungkapkan Hinca itu seolah merefleksikan harapan publik. Sebab, sejak transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun di Kemenkeu itu diungkap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, publik disajikan keterangan yang berbeda oleh para pimpinan lembaga pemerintahan ataupun negara. Baik yang disampaikan Mahfud, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, itu tak ada yang senada.
Padahal, baik Mahfud maupun Sri Mulyani sama-sama tergabung di dalam Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Acara bincang-bincang Satu Meja The Forum yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, Rabu (29/3/2023) malam, membahas tema tentang "Transaksi Janggal Rp 349 T, Dana Siapa dan untuk Apa?". Narasumber yang hadir dalam acara itu adalah anggota Komisi III Trimedya Panjaitan, Komisioner KPK 2007-2011 M Jasin, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widoyoko, dan pengamat politik Philips Vermonte.
Menanggapi hal itu, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P Trimedya Panjaitan dalam acara ”Satu Meja The Forum: Transaksi Janggal Rp 349 T: Dana Siapa Untuk Apa?,” Rabu malam, mengatakan, kisruh perbedaan transaksi mencurigakan yang berkaitan dengan pegawai Kemenkeu belum tuntas. Selama raker, anggota Komisi III mempertanyakan perbedaan data yang sangat signifikan itu.
Saat raker dengan Komisi XI DPR, Sri Mulyani menyampaikan nominal transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai Kemenkeu mencapai Rp 3,3 triliun. Adapun dua hari setelahnya, Mahfud menyampaikan jumlah yang jauh lebih besar, yaitu Rp 35,5 triliun.
Kisruh perbedaan transaksi mencurigakan yang berkaitan dengan pegawai Kemenkeu belum tuntas.
”Mengapa datanya berbeda? Kepala PPATK menyebut ada temuan pegawai Kemenkeu terkait dengan lebih dari satu perusahaan. Perusahaan itu perusahaan cangkang yang kepemilikannya menggunakan nama istri, sopir, hingga tukang kebun,” kata Trimedya.
Acara bincang-bincang Satu Meja The Forum yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, Rabu (29/3/2023) malam, membahas tema tentang "Transaksi Janggal Rp 349 T, Dana Siapa dan untuk Apa?".
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian KompasBudiman Tanuredjo itu, Trimedya juga mengatakan, ada indikasi data yang disampaikan Sri Mulyani disembunyikan oleh bawahannya. Sri Mulyani tidak mendapatkan laporan secara utuh dari jajarannya. Jajaran Kemenkeu terindikasi hanya menyerahkan sebagian LHA dan melaporkan transaksi mencurigakan lainnya sebagai laporan pajak. Aksesnya terhadap LHA ditutup sehingga menyebabkan kekeliruan pemahaman.
”Yang menarik, Pak Mahfud menyatakan datanya yang benar karena langsung dari PPATK. Makanya, rapat akan dilanjutkan dengan memanggil Menkeu supaya jelas datanya,” imbuhnya.
Menyikapi transaksi mencurigakan di Kemenkeu itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi 2007-2011 Mochammad Jasin yang turut hadir di acara bincang-bincang itu mengatakan tidak kaget. Sebab, pada tahun 2008 KPK pernah melakukan inspeksi mendadak (sidak) di kantor Bea Cukai Tanjung Priok, Jakarta. Hasilnya, selama tiga jam sidak, penyidik menemukan uang suap tunai senilai Rp 500 juta. Kala itu, jumlah suap atau gratifikasi di Bea Cukai Jakarta diprediksi mencapai Rp 47 miliar per bulan. Jika kemudian data Rp 349 triliun yang disampaikan PPATK adalah akumulasi sejak 2009-2023, dia menilainya wajar.
”Kami periksa di meja-meja ternyata ada amplop-amplop dari importir melalui ekspedisi. Mulai dari front liner sudah melakukan itu sehingga tidak heran ada indikasi TPPU sebesar itu di Kemenkeu,” katanya.
Jasin menyebut, pascapenindakan itu, KPK melaporkan kepada Menkeu Sri Mulyani. KPK mengimbau kepada Kemenkeu untuk melakukan pembenahan tata kelola khususnya di Bea Cukai.
Namun, melihat fenomena yang terjadi hari ini, Jasin meyakini pembenahan yang dilakukan belum menyentuh inti persoalan. Pembenahan lebih seperti aksi memadamkan api sehingga ketika pengawasan lemah, bisa kumat lagi.
”Kami tidak kaget karena sekarang semakin pintar dan canggih sekali cara memerasnya,” bebernya.
Petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) menata barang bukti saat berlangsung rilis pengungkapan kasus tindak pidana pencucian uang dari hasil perdagangan narkoba, di Gedung BNN, Jakarta, Kamis (25/7/2019). BNN menyita aset sebesar Rp 60 miliar. Aset tersebut berasal dari hasil ungkap 20 kasus narkotika sejak Januari hingga Juli 2019.
Pengamat politik Philips Vermonte, narasumber lain di acara itu, menyebut, duduk perkara transaksi janggal Rp 349 triliun harus diletakkan bahwa itu adalah dana masyarakat yang dialihkan dengan cara ilegal. Publik harus memahami bahwa itu bukanlah uang Kemenkeu. Uang itu dialihkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dengan cara memeras, kemudian disamarkan asal-usulnya.
”Apa yang disampaikan Pak Jasin tadi sudah 15 tahun lalu. Ini menyedihkan karena ternyata cara-cara kita menangani korupsi tidak berubah. Apalagi, sekarang modus-modus korupsinya semakin canggih,” tuturnya.
Duduk perkara transaksi janggal Rp 349 triliun harus diletakkan bahwa itu adalah dana masyarakat yang dialihkan dengan cara ilegal.
Momentum pembenahan
Oleh sebab itu, menurutnya, temuan ini harus disikapi sebagai momentum untuk membenahi diri. Terutama, pemberantasan kejahatan di sektor keuangan. Paradigma pemberantasan kejahatan keuangan harus dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Tak hanya pada aktor penyelenggara negara, tetapi juga korporasi. Sebab, hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyebut bahwa dana ilegal dari kejahatan banyak yang mengalir untuk pendanaan pemilu. Patut diduga, dana itu juga mengalir ke politikus.
Sekretaris Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko pada acara bincang-bincang itu menyampaikan agar perbedaan data antara PPATK dan Menkeu bisa dibuka secara terang benderang kepada publik. Publik berhak mengetahui duduk perkara transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun itu. Ke mana ujungnya transaksi mencurigakan itu; siapa yang telah menindaklanjuti laporan hasil analisis (LHA) PPATK; jika ada kesulitan untuk menindaklanjutinya, di mana letak kendalanya; apakah LHA itu juga sudah ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, itu semua, menurut Danang, harus terjelaskan dalam rapat lanjutan di DPR.
”Untuk mencegah dan menindak tindak pidana pencucian uang memang kemudian menjadi penting untuk menghadirkan Undang-Undang Perampasan Aset ke depan,” ujarnya.
Bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo (tengah), berjalan menuju mobil setelah selesai diperiksa di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (1/3/2023). Ia diperiksa sekitar delapan jam. KPK mengklarifikasi informasi seputar enam perusahaan yang dimiliki Rafael yang dilaporkan dalam bentuk kepemilikan surat berharga dengan nominal Rp 1,55 miliar. Rafael Alun Trisambodo merupakan ayah dari tersangka Mario Dandy yang merupakan pelaku pemukulan terhadap Cristalino David Ozora.
Jasin juga berharap kasus ini dijadikan momentum bersih-bersih. Presiden Joko Widodo harus membenahi aspek pencegahan dengan restrukturisasi di Kemenkeu. Orang-orang yang terbukti terlibat dalam tindak pidana harus disingkirkan. Setelah itu, penegakan hukum juga harus berjalan. Harus ada tindak lanjut dari ramai-ramai isu Rp 349 triliun ini.
Trimedya berjanji, DPR akan mengawal data yang disampaikan Komite Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Dia juga akan membongkar masalah itu sampai ke akar-akarnya. Jika dugaan itu terbukti, Kemenkeu mutlak harus memperbaiki tata kelolanya. Aparat penegak hukum, baik itu Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK, juga harus menindaklanjuti temuan tersebut.
Kiranya, harapan publik pun sama. Menginginkan adanya pengusutan secara tuntas sebagai akhir cerita kisruh Rp 349 triliun ini di tengah tren korupsi yang masih merajalela.