Debat Panjang Saksi-Pengacara di Sidang Kasus Satelit Orbit 123
Silang pendapat keduanya terus berlangsung dan berulang hampir selama satu jam dari total 3,5 jam persidangan. Perbedaan pendapat keduanya akhirnya ditengahi oleh Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sidang perkara korupsi proyek pengadaan satelit orbit 123 derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan pada 2015 terus bergulir. Dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (30/3/2023), saksi yang dihadirkan jaksa koneksitas terlibat adu pendapat dengan kuasa hukum dari para terdakwa.
”Satelit Artemis yang disewa berbeda spesifikasi dengan satelit Garuda-1 yang menempati slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT). Artemis memiliki lebar 29 MHz, bertipe Ku-Band, dan melayani wilayah Eropa. Sementara Garuda-1 selebar 34 MHz, bertipe Extended-C, dan melayani wilayah khatulistiwa,” ujar Direktur Penataan Sumber Daya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Denny Setiawan yang hadir sebagai saksi.
Jaksa koneksitas menghadirkan enam saksi yang pernah atau masih bekerja di Kemenkominfo. Saksi itu di antaranya Denny Setiawan, Bupati Magetan Suprawoto, Farida Dwi Cahyarini, Ikhsan Baidirus, Benyamin Sura, dan Kepala Biro Hukum Kemenkominfo Bertiana Sari. Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Fahzal Hendri.
Total ada empat terdakwa dalam kasus ini. Terdakwa itu di antaranya Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kemenhan periode Desember 2013-Agustus 2016 Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto, Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma (DNK) Arifin Wiguna, Direktur Utama PT DNK Surya Cipta Witoelar, dan Senior Advisor PT DNK Thimas Anthony van der Heyden.
Para terdakwa dianggap menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 453,09 miliar. Kerugian tersebut terjadi karena Agus Purwoto diminta oleh Arifin Wiguna, Surya Cipta Witoelar, dan Thomas Anthony van der Heyden untuk menandatangani kontrak sewa satelit Artemis antara Kemenhan dan Avanti.
Satelit Garuda-1, pada 2015, mengalami deorbit dan dinilai perlu diselamatkan. Karena itu, orbit yang ditinggalkan Garuda-1 juga perlu diisi (filling) oleh satelit dengan spesifikasi yang sama. Jika tidak, kata Denny, jalur itu tetap tidak bisa diselamatkan.
Sementara itu, kuasa hukum berpendapat bahwa spesifikasi sama itu hanya berpengaruh pada layanan yang diberikan oleh satelit. ”Apakah orbit 123 derajat BT masih milik Indonesia?” tanya kuasa hukum kepada Denny.
Menurut Denny, orbit bukan sesuatu yang dapat dimiliki suatu negara. Hal yang dapat dimiliki itu hanya filling-nya. Pada orbit 123 derajat BT, Indonesia memiliki beberapa filling untuk satelit, seperti Nusantara-1.
”Jadi, masih ada filling-filling yang didaftarkan untuk menyelamatkan orbit selain Garuda-1,” ucap Denny.
Kuasa hukum lantas mempertanyakan suspensi waktu tiga tahun yang tersisa untuk mengisi orbit 123 derajat BT dan makna dari kehadiran satelit Artemis.
Denny pun menjawabnya dengan jawaban yang sama seperti sebelumnya, yakni perbedaan spesifikasi Artemis dan Garuda-1. Perbedaan itu menyebabkan 5 MHz tidak dapat diselamatkan.
Silang pendapat keduanya terus berlangsung dan berulang hampir selama satu jam dari total 3,5 jam persidangan. Akhirnya, Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri menengahi dan menyebut pertanyaan dari kuasa hukum lebih cocok ditanyakan kepada saksi ahli karena Denny hanya saksi fakta.
Persidangan selanjutnya akan berlangsung pada 6 April 2023 dengan agenda pemeriksaan saksi dari jaksa koneksitas. Menurut rencana, jaksa koneksitas akan menghadirkan lima hingga enam saksi.