Komnas HAM Minta MA Pertimbangkan Perpanjangan Waktu Kasasi Paniai
Hingga diperoleh hakim ”ad hoc” yang baru, MA diminta mempertimbangkan perpanjangan waktu persidangan kasasi Paniai. KY diminta berkomunikasi dengan DPR untuk proses seleksi kembali hakim ”ad hoc” HAM.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta Mahkamah Agung mempertimbangkan perpanjangan waktu persidangan kasasi dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Paniai, hingga terpilihnya hakim ad hoc yang baru. Percepatan pemilihan hakim ad hoc perlu mendapat prioritas di Komisi III DPR agar kasasi kasus pelanggaran HAM berat di Paniai dapat segera diproses MA.
Sebelumnya Komisi III DPR menolak tiga hakim ad hoc untuk pengadilan HAM yang diajukan Komisi Yudisial dengan alasan ketiganya dinilai belum berpengalaman menangani kasus pelanggaran HAM berat. Dengan penolakan tersebut, kasus pelanggaran HAM berat di Paniai bisa menjadi inkrah atau berkekuatan hukum tetap jika tak segera disidangkan sebagaimana tenggat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kejaksaan Agung sebagaimana diketahui telah mengajukan kasasi terhadap putusan pengadilan HAM berat di Paniai yang memutus bebas terdakwa tunggal Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro, Rabu (29/3/2023), di Jakarta, menyatakan, dengan memperhatikan masa persidangan di DPR, MA dan Komisi Yudisial (KY) perlu membangun komunikasi dengan Komisi III DPR agar memprioritaskan proses seleksi kembali hakim ad hoc untuk mengisi majelis hakim sidang kasasi di MA dalam kasus pelanggaran berat Ham di Paniai.
Dalam pemeriksaan perkara pelanggaran HAM berat berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, berdasarkan prinsip peradilan yang cepat dan murah, maka pemeriksaan perkara dalam tahap kasasi paling lama 90 hari sejak perkara dilimpahkan ke MA.
”Waktu persidangan ini tidak terlalu panjang, terlebih untuk segera mendapatkan hakim ad hoc. Oleh karena itu, sambil menunggu proses seleksi di DPR, MA dapat mempertimbangkan perpanjangan waktu kasasi hingga terpilihnya hakim ad hoc yang baru,” ujar Atnike.
Lebih lanjut, kata Atnike, pada saat MA dan KY mengajukan calon hakim ad hoc kepada DPR, prosesnya dapat dilakukan dengan cepat. Selain itu, jumlah calon hakim ad hoc yang diajukan minimal sebanyak enam orang. Karena itu, DPR dapat memilih calon terbaik mengingat hakim ad hoc diangkat oleh presiden berdasarkan usulan DPR.
Sejalan dengan itu, anggota Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Ahmad Sajali, menilai, seleksi ulang hakim ad hoc HAM harus segera dilakukan mengingat tengah terjadi kekosongan hakim ad hoc HAM saat ini.
Kekosongan hakim ad hoc sekarang ini nyata adanya, belum lagi berkas perkara kasasi kasus Paniai sudah masuk ke MA. Jadi, KY harus lebih masif dalam menyosialisasikan kriteria atau ketentuan calon hakim ad hoc nantinya.
”Kekosongan hakim ad hoc sekarang ini nyata adanya, belum lagi berkas perkara kasasi kasus Paniai sudah masuk ke MA. Jadi, KY harus lebih masif dalam menyosialisasikan kriteria atau ketentuan calon hakim ad hoc nantinya,” kata Ahmad.
Dalam catatan, pada 21 Desember 2022, jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan kasasi atas putusan bebas terdakwa dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai tahun 2014 di Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar. Pada saat jaksa menyatakan kasasi, MA belum memiliki hakim ad hoc yang akan memeriksa perkara tersebut. Adapun majelis hakim yang memeriksa perkara kasasi diperlukan 5 orang, yaitu 2 hakim agung dan 3 hakim ad hoc.
Terkait hal itu, KY kemudian mengajukan enam calon hakim agung dan tiga calon hakim ad hoc HAM, yang selanjutnya dilakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh Komisi III DPR. Hasil seleksi, Komisi III DPR menolak semua calon hakim ad hoc untuk pengadilan HAM. Alasannya, para calon hakim ad hoc dinilai kurang berpengalaman menangani kasus pelanggaran HAM berat.
Enam calon hakim agung tersebut ialah calon hakim agung kamar perdata Lucas Prakoso, calon hakim agung kamar pidana Sukri Sulumin, calon hakim agung kamar pidana Annas Mustaqim, calon hakim agung kamar tata usaha negara Lulik Tri Cahyaningrum, calon hakim agung kamar agama Imron Rosyadi, dan calon hakim agung kamar tata usaha negara khusus pajak Triyono Martanto. Adapun untuk tiga calon hakim ad hoc HAM, mereka adalah Harnoto, M Fatan Riyadhi, dan Heppy Wajongkere.
Siapkan surat
Vonis atas kasus pelanggaran HAM berat di Paniai terancam inkrah. Saat ini, kami sudah menyiapkan surat yang ditujukan untuk Presiden Jokowi, tapi belum kami sampaikan ke beliau karena sepertinya Presiden masih fokus dengan Piala Dunia U-20 dan kami akan berdiskusi lebih lanjut dengan koalisi masyarakat sipil lainnya.
Menanggapi kemungkinan kasus pelanggaran HAM berat di Paniai menjadi berkekuatan hukum tetap sebagai dampak dari penolakan Komisi III DPR terhadap calon hakim ad hoc tersebut, Amnesty International Indonesia telah menyiapkan surat permohonan untuk Presiden Joko Widodo agar segera meminta Komisi Yudisial menyeleksi ulang hakim serta membentuk pengadilan ad hoc HAM melalui keputusan presiden (keppres). Selanjutnya, nama-nama calon hakim ad hoc HAM dapat segera diajukan ke DPR untuk diproses uji kelayakan dan kepatutan. Koalisi masyarakat sipil juga akan mendiskusikan persoalan ini lebih lanjut.
”Vonis atas kasus pelanggaran HAM berat di Paniai terancam inkrah. Saat ini, kami sudah menyiapkan surat yang ditujukan untuk Presiden Jokowi, tapi belum kami sampaikan ke beliau karena sepertinya Presiden masih fokus dengan Piala Dunia U-20 dan kami akan berdiskusi lebih lanjut dengan koalisi masyarakat sipil lainnya,” ujar Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid saat dihubungi, Rabu (29/3/2023).
Adapun isi permohonannya terdiri dari pembentukan pengadilan ad hoc HAM melalui Keputusan Presiden (Keppres), seleksi ulang hakim ad hoc oleh KY, dan penguatan hakim dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. Amnesty menyerukan proses seleksi hakim ad hoc HAM perlu diulang secepatnya demi memenuhi keadilan bagi para korban kasus pelanggaran HAM berat di Paniai.
”Keadilan perlu ditegakkan bagi korban dan keluarga korban tragedi Paniai. KY harus mencari lagi kandidat yang layak. Selain itu, DPR jangan lantas lepas tangan setelah menolak semua calon hakim ad hoc HAM,” kata Usman.