Peladen adminduk telah uzur dan suku cadangnya tak tersedia. Peremajaannya butuh dukungan dana. Agar tak dikorupsi lagi, pengadaannya perlu dikawal.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peladen atau servertempat penyimpanan data administrasi kependudukan di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri yang jumlahnya tak kurang dari 300 unit sudah berusia tua. Sejumlah unit telah mengalami gangguan. Suku cadang untuk perangkat kerasnya pun sudah tak lagi tersedia. Untuk itu, Ditjen Dukcapil membutuhkan dukungan dana guna membangun pusat peladen yang baru.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Teguh Setyabudi, saat ditemui di Jakarta, Selasa (28/3/2023), membenarkan perangkat keras peladen data administrasi kependudukan (adminduk) rata-rata berusia lebih dari 10 tahun. Sejak dibangun pada 2011, perangkat kerasnya tidak pernah dilakukan peremajaan. Salah satu alasannya, suku cadang perangkat itu sudah tak diproduksi lagi.
Akibat perangkat keras yang uzur itu, beberapa waktu lalu terjadi gangguan saat peladen bermasalah. Gangguan itu di antaranya dialami perbankan, salah satu institusi yang menggunakan layanan data kependudukan di Ditjen Dukcapil, meski gangguan itu hanya berlangsung dalam hitungan jam.
Akan tetapi, lanjut Teguh, kapasitas penyimpanan data yang terpasang di peladen itu masih memadai. Bisa digunakan untuk menyimpan salinan data sebagai cadangan, termasuk untuk data kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el).
Untuk peremajaan itu, Teguh mengatakan, pihaknya telah memperhatikan sistem keamanan siber. Apalagi, saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Apabila pengelola data tidak menjaga keamanan sibernya dengan baik, saat terjadi insiden kebocoran data, ancaman hukuman pidana hingga denda mengintai.
Agar keamanan lebih optimal, Ditjen Dukcapil berencana membangun dua pusat peladen data kependudukan lagi di Jakarta. Saat ini pusat peladen data adminduk tersebar di kantor Kemendagri di Jalan Medan Merdeka Utara dan kantor Ditjen Dukcapil di Kalibata, Jakarta. Satu lagi di Batam, Provinsi Kepulauan Riau. ”Namun, sampai sekarang belum ada pagu anggarannya,” ucapnya.
Sekaligus renovasi kantor
Meski demikian, Teguh tak menyebutkan besaran dana yang dibutuhkan untuk peremajaan itu. Ia hanya menyebutkan besaran biayanya masih dihitung. Teguh pun berencana, jika peremajaan peladen itu dilaksanakan, ia juga ingin merenovasi kantor Ditjen Dukcapil agar representatif sebagai pengelola 24 jenis administrasi kependudukan, termasuk data KTP-el.
Menurut rencana, kebutuhan anggaran itu akan diajukan di APBN Perubahan 2023. ”Semoga bisa disetujui Kementerian Keuangan karena tuntutan layanan adminduk kian besar,” imbuhnya.
Teguh pun berencana, jika peremajaan peladen itu dilaksanakan, ia juga ingin merenovasi kantor Ditjen Dukcapil agar representatif sebagai pengelola 24 jenis administrasi kependudukan.
Jika anggaran tidak disetujui Kemenkeu, Teguh menyebut, skema pendanaan lain yang bisa diupayakan adalah dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Per 28 Maret 2023 ini, Ditjen Dukcapil menerapkan biaya akses nomor induk kependudukan (NIK) senilai Rp 1.000. Pihak yang dibebankan tarif NIK itu merupakan sektor usaha yang berorientasi laba, seperti lembaga perbankan, asuransi, pasar modal, dan sekuritas. Adapun biaya untuk kementerian/lembaga pemerintah, termasuk BPJS Kesehatan, tetap digratiskan.
Total lembaga yang sudah menandatangani perjanjian kerja sama untuk akses NIK itu mencapai 5.600 entitas.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, meminta Kemendagri untuk mengajukan kembali pagu peremajaan peladen data adminduk jika hal itu memang mendesak. Menurutnya, pada 2019 pengajuan anggaran untuk peremajaan itu ditolak Kemenkeu. Anggaran belum disediakan sampai sekarang karena banyak kementerian dan lembaga melakukan refocusing anggaran.
Sekarang, setelah pandemi Covid-19 mereda, dia berharap anggaran peremajaan peladen adminduk disediakan Kemenkeu. ”Kepentingan menjaga identitas kependudukan baik penyimpanan maupun pengamanan harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Ini sudah jadi keharusan. Jadi diajukan saja lagi di APBN Perubahan 2023,” ujarnya.
Dia berharap peremajaan peladen data itu bisa dipercepat karena merupakan tuntutan zaman yang semakin berorientasi digitalisasi. Jangan sampai karena perangkat keras tidak diperbarui, ada gangguan sehingga data lamban diakses. Apalagi, lanjutnya, jika itu berkaitan dengan pemilihan umum (pemilu). ”Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, sebaiknya kebutuhan pembangunan infrastruktur teknologi dan informasi itu bisa diprioritaskan,” ucapnya.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengingatkan, jika memang program peremajaan peladen dan rencana untuk menambah jumlah pusat pengelolaan data adminduk di Kemendagri sudah menjadi prioritas, upaya pencegahan agar pengadaannya tidak dikorupsi juga harus dilakukan.
Sebab, masyarakat masih ingat megakorupsi pengadaan KTP-el yang merugikan negara senilai Rp 2,3 triliun. Kasus korupsi itu melibatkan banyak terdakwa dari kalangan legislatif maupun eksekutif.
Oleh karena itu, jika program tersebut terealisasi, anggaran pengadaannya juga harus diawasi sejak dari hulu. Kemendagri bisa meminta legal opinion atau pendapat hukum dari Kejaksaan Agung dalam hal pencegahan korupsi. Setelah itu, penggunaan anggarannya juga bisa diawasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
”Ini negara koruptor, pasti masyarakat khawatir, apalagi jika anggarannya besar. Sudah dicegah pun masih bisa korupsi,” katanya.