KPK Minta Hakim Tolak Praperadilan MAKI Terkait Lili Pintauli
Salah satu yang dijadikan dasar, surat keterangan terdaftar MAKI sebagai ormas yang sudah habis masa berlakunya sejak 2017. Dengan demikian, MAKI dinilai tak memiliki kedudukan hukum untuk ajukan praperadilan.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menilai Perkumpulan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia atau MAKI tidak berkedudukan hukum dalam mengajukan permohonan praperadilan penghentian penyidikan perkara gratifikasi mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Dengan demikian, permohonan yang diajukan seharusnya ditolak hakim.
Hal itu disampaikan Tim Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang lanjutan praperadilan penghentian penyidikan Lili, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (28/3/2023). Sidang dipimpin hakim tunggal Samuel Ginting.
”Menurut kami, selaku termohon, MAKI tidak memiliki status kedudukan hukum yang sah sebagai suatu organisasi masyarakat atau ormas. Jadi, sudah seharusnya permohonan ditolak karena didasarkan pada dalil-dalil yang keliru, tidak benar, dan tidak beralasan,” kata Koordinator Tim Biro Hukum sekaligus kuasa hukum KPK Iskandar Marwanto.
Lebih lanjut, kata Iskandar, dalam permohonannya, MAKI menyatakan pihaknya merupakan organisasi kemasyarakatan. Namun, menurut KPK kedudukan hukum yang disebutkan MAKI tidak seperti yang diatur dalam undang-undang (UU).
Mengacu pada sejumlah aturan perundang-undangan terkait organisasi kemasyarakatan, seperti UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, ormas harus memiliki surat keterangan terdaftar (SKT) yang diterbitkan menteri terkait.
”Saat pemohon mengajukan pendaftaran perkara praperadilan di PN Jaksel yang teregistrasi dengan Nomor 16/Pid.Pra/2023/PN.Jkt.Sel, secara jelas dan nyata diketahui SKT yang dimiliki pemohon sudah tidak berlaku sejak 9 November 2017. Sehingga pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan praperadilan,” lanjut Iskandar.
Selain itu, dalil-dalil dalam permohonan MAKI dinilai keliru. Pasalnya, permohonan praperadilan harus menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Dalam mengajukan gugatan itu, MAKI perlu menguraikan terlebih dahulu alasan atau dalil yang melandasi pengajuan tuntutan yang berisi uraian mengenai kejadian perkara atau duduk persoalan suatu kasus.
Namun, dalam petitumnya, MAKI hanya meminta hakim PN Jaksel menyatakan KPK telah melakukan tindakan penghentian penyidikan yang tidak sah terhadap perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas kepada Lili Pintauli. Pemohon disebut tidak menguraikan bagaimana perbuatan termohon yang dianggap menghentikan penyidikan terhadap perkara tersebut.
Setelah mendengarkan jawaban KPK, Samuel Ginting menyampaikan sidang bakal dilanjutkan dengan agenda pembuktian pada Rabu (29/3/2023) pukul 09.00, di PN Jaksel.
Pada Senin (27/3), sidang perdana permohonan praperadilan terhadap pimpinan KPK dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK, yang diajukan MAKI, digelar.
Permohonan praperadilan ini diajukan untuk menguji sah atau tidaknya penghentian penyidikan terhadap dugaan gratifikasi yang melibatkan Lili saat menjabat sebagai Wakil Ketua KPK. Dalam petitumnya, MAKI meminta hakim tunggal praperadilan PN Jaksel, menerima dan mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Tidak sah
Kuasa hukum MAKI, Marselinus Edwin Hardian, pada Senin, menuturkan, Dewan Pengawas KPK telah melakukan pemeriksaan etik terhadap Lili Pintauli atas dugaan penerimaan gratifikasi dari dari sebuah perusahaan milik negara, berupa sejumlah fasilitas tiket nonton dan penginapan selama kurang lebih satu minggu untuk menonton pertandingan MotoGP di Mandalika, pada Maret 2022. Namun, tindakan KPK yang tidak menyelesaikan kasus itu ke tahap penuntutan dan pengadilan tindak pidana korupsi merupakan bentuk penghentian penyidikan tidak sah.
”Para termohon (KPK) seharusnya mengetahui bahwa pemberian fasilitas adalah bagian dari bentuk gratifikasi dan patut diduga mengarah kepada bentuk penyuapan,” kata Edwin.
Pada Juli 2022, Dewas KPK menggelar sidang etik dengan agenda klarifikasi terkait pengaduan dugaan gratifikasi yang diterima Lili dari sebuah perusahaan milik negara. Namun, Dewas KPK menggugurkan dugaan pelanggaran kode etik Lili sekaligus menghentikan persidangan terhadap Lili dengan alasan Lili sudah resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK.