Kasasi Kasus Paniai Terancam Inkrah
Selama dua hari ini, di Kompleks Parlemen Senayan, Komisi III DPR menggelar ”fit and proper test” 6 calon hakim agung dan 3 calon hakim ”ad hoc” HAM. Tiga hakim ”ad hoc” HAM akhirnya ditolak DPR karena tak pengalaman.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menolak seluruh calon hakim ad hoc untuk pengadilan HAM, yang diajukan oleh Komisi Yudisial. Alasannya, para calon hakim ad hoc dinilai kurang berpengalaman menangani kasus pelanggaran HAM berat. Dengan begitu, kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai bisa terancam inkrah atau memiliki kekuatan hukum tetap karena tidak dapat disidangkan sebagaimana tenggat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Selama dua hari ini, Senin dan Selasa (28/3/2023), di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Komisi III DPR menggelar uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap enam calon hakim agung dan tiga calon hakim ad hoc HAM pada Mahkamah Agung. Enam calon hakim agung tersebut ialah calon hakim agung kamar perdata Lucas Prakoso, calon hakim agung kamar pidana Sukri Sulumin, calon hakim agung kamar pidana Annas Mustaqim, calon hakim agung kamar tata usaha negara Lulik Tri Cahyaningrum, calon hakim agung kamar agama Imron Rosyadi, dan calon hakim agung kamar tata usaha negara khusus pajak Triyono Martanto. Adapun untuk tiga calon hakim ad hoc HAM, mereka adalah Harnoto, M Fatan Riyadhi, dan Heppy Wajongkere.
Namun, dari sejumlah nama calon hakim itu, hanya tiga nama yang disetujui oleh Komisi III DPR. Mereka adalah Lucas Prakoso, Lulik Tri Cahyaningrum, dan Imron Rosyadi. Hal itu berarti pula tidak ada calon hakim ad hoc HAM yang lolos dari uji kelayakan dan kepatutan.
Baca juga: Minim, Peminat Calon Hakim ”Ad Hoc” HAM pada MA
Ketua Komisi III Bambang Wuryanto saat ditemui usai rapat pleno pengambilan keputusan pemberian persetujuan atas calon hakim agung dan hakim ad hoc pada Mahkamah Agung mengatakan, dari hasil mendengarkan semua pandangan sembilan fraksi dan dilanjutkan dengan lobi-lobi politik, hanya mengerucut pada tiga nama. Kemudian, untuk tiga hakim ad hoc HAM, semuanya ditolak karena memang dinilai belum berpengalaman untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat.
Yang kudengar tadi, yang (tiga calon hakim ad hoc) HAM belum punya pengalaman menangani (kasus pelanggaran) HAM berat. Hakim ini, kan, juga harus disambungkan antara kompetensi dan karakter. Kalau karakternya tidak bagus, ya mau bagaimana.
”Yang kudengar tadi, yang (tiga calon hakim ad hoc) HAM belum punya pengalaman menangani (kasus pelanggaran) HAM berat. Hakim ini, kan, juga harus disambungkan antara kompetensi dan karakter. Kalau karakternya tidak bagus, ya mau bagaimana,” ujar Bambang.
Pencarian hakim ad hoc HAM ini sebenarnya berkejaran dengan waktu. Sebab, pada 20 Desember 2022, Kejaksaan Agung telah mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan Pengadilan HAM berat di Paniai yang memutus bebas terdakwa, Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu. Isak adalah terdakwa tunggal kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai pada 2014.
Jika mengacu pada Pasal 33 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, perkara tersebut harus diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke MA. Pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah lima orang, terdiri atas dua hakim agung dan tiga hakim ad hoc.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, berpandangan, Komisi III tidak ingin dihadapkan pada masalah tenggat tersebut. Sebab, Komisi III juga punya kepentingan untuk menyetujui nama-nama hakim yang berkompeten dan berpengalaman di bidangnya.
Persoalannya, kan, bukan hanya apa yang diperlukan MA saat ini, berapa hakim, tidak bisa dong kami ditodong seperti itu, misalnya, dari stok calon hakim yang ada, kami harus kami setujui, enggak boleh begitu dong.
”Persoalannya, kan, bukan hanya apa yang diperlukan MA saat ini, berapa hakim, tidak bisa dong kami ditodong seperti itu, misalnya, dari stok calon hakim yang ada, kami harus kami setujui, enggak boleh begitu dong. Kami, kan, juga harus lihat macam-macam, performa dia ketika fit and proper test, rekam jejak juga harus jelas. Kalau tidak memenuhi, ya, tidak bisa, nanti pertanggungjawaban kami bagaimana,” tutur Habiburokhman.
Untuk itu, jika KY memang membutuhkan kursi hakim ad hoc HAM itu bisa terisi dengan segera, KY bisa mengusulkan kembali nama-nama calon hakim ad hoc HAM kepada Komisi III DPR. Namun, pengajuannya bukan dalam putaran ini, melainkan putaran berikutnya.
Juru bicara KY, Miko Ginting, masih belum mau mengomentari terkait hal tersebut. Begitu pula juru bicara MA, Suharto, enggan berkomentar terkait implikasi dari kekosongan hakim ad hoc HAM terhadap kelanjutan sidang perkara kasus Paniai. ”Maaf, kami tunggu pengumuman (persetujuan atas calon hakim agung dan hakim ad hoc) secara resminya dan setelah itu akan saya konsultasikan dengan pimpinan terkait pertanyaan itu tadi,” ujarnya.
Rantai masalah yang pelik
Dihubungi secara terpisah, anggota Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Ahmad Sajali, menyambut positif hasil uji kelayakan calon hakim ad hoc HAM, yang sedari awal memang prosesnya berlangsung dengan sangat tidak optimal. Jumlah calon hakim ad hoc yang diajukan KY juga sangat sedikit dan memiliki kriteria yang cukup buruk dari segi pengetahuan, pengalaman, dan kepedulian terhadap gerakan HAM.
Karena sebagaimana kita tahu bahwa ketiga calon ini memiliki banyak catatan bahwa ketiganya tidak punya rekam jejak yang mumpuni dalam gerakan HAM sehingga bisa memenuhi kriteria untuk jadi hakim ad hoc yang ditugaskan menyidangkan satu perkara pelanggaran HAM berat.
”Karena sebagaimana kita tahu bahwa ketiga calon ini memiliki banyak catatan bahwa ketiganya tidak punya rekam jejak yang mumpuni dalam gerakan HAM sehingga bisa memenuhi kriteria untuk jadi hakim ad hoc yang ditugaskan menyidangkan satu perkara pelanggaran HAM berat,” ujar Sajali.
Dari hasil penelusuran Kontras, M Fatan Riyadhi merupakan mantan hakim ad hoc tindak pidana korupsi. Kemudian, Harnoto masih sebagai anggota aktif Polri, yang ini dianggap dapat memunculkan konflik kepentingan. Sebab, kepolisian dianggap merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam tragedi Paniai. Lalu, Heppy Wajongkere merupakan seorang advokat. Heppy disebut telah menggunakan surat rekomendasi Kepala Bidang Hubungan Antar-Lembaga Pusat Penerangan Hukum Jaksa Agung Muda Intelijen Kejagung untuk proses seleksi.
Menurut Sajali, memang ada rantai masalah yang cukup pelik dari proses pencarian calon hakim ad hoc HAM di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Sebagai catatan, proses seleksi yang terjadi sekarang ini merupakan proses seleksi hakim ad hoc HAM pertama yang diajukan KY sepanjang lembaga itu berdiri.
Namun, kenapa baru di akhir Agustus 2022 KY menyelenggarakan seleksi dari calon hakim ad hoc peradilan HAM?
Sajali melihat ada kesan tergesa-gesa dalam melakukan proses seleksi calon hakim ad hoc ini. KY nyatanya baru mencari hakim di tingkat kasasi dan PK ketika peradilan tingkat pertama berlangsung. Padahal, secara logika kemungkinan upaya hukum lanjutan seperti banding, kasasi, hingga PK adalah suatu keniscayaan dari setiap perkara di pengadilan. ”Namun, kenapa baru di akhir Agustus 2022 KY menyelenggarakan seleksi dari calon hakim ad hoc peradilan HAM?” katanya.
Hal ini tentu mengundang kekhawatiran karena tenggat kasasi paling lama 90 hari dari pendaftaran sampai ke putusan. Namun, ia melihat ada celah di Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHAP) di maan tidak diatur dengan jelas konsekuensi dari lamanya proses perkara yang melebihi batas pengaturannya. Untuk itu, ia berharap, MA tetap dapat menyelenggarakan proses kasasi ketika perangkatnya sudah siap.
Dinilai tidak paham
Ada sedikit perbedaan pendapat antara sejumlah anggota Komisi III DPR dan para calon hakim ad hoc HAM ketika proses uji kelayakan dan kepatutan. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Santoso, sempat meminta pendapat kepada Harnoto mengenai bagaimana penyelesaian permasalahan pelanggaran HAM berat yang tidak selesai akibat persoalan politik.
Terhadap pertanyaan itu, Hanoto menegaskan bahwa penyelesaian kasus HAM berat memang dibutuhkan kemauan politik, baik dari DPR maupun pemerintah, terutama berkaitan dengan pembentukan peradilan ad hoc.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa kemudian menanyakan kepada Harnoto ranah penyelesaian kasus pelanggaran HAM merupakan pada individual atau institusional. Harnoto menjawabnya bahwa hal tersebut merupakan ranah individual. Terhadap jawaban itu, Desemon tampak geram.
Pelanggaran HAM berat itu penyelesaiannya institusional. Kewajiban negara melindungi warga negaranya agar tidak terjadi hal serupa di masa depan. Kalau individual itu kriminal biasa. Anda tidak paham.
”Pelanggaran HAM berat itu penyelesaiannya institusional. Kewajiban negara melindungi warga negaranya agar tidak terjadi hal serupa di masa depan. Kalau individual itu kriminal biasa. Anda tidak paham,” ujar Desmond.
Baca juga: Pilih Hakim ”Ad Hoc” HAM, MA Perlu Hindari Potensi Konflik Kepentingan
Desmond juga menanyakan pertanyaan yang sama kepada M Fatan Riyadhi. Menurut Fatan, berdasarkan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, pelaku pelanggaran HAM berat merupakan negara atau non-negara. Untuk itu, kemungkinan pelaku pelanggar HAM bisa dua, institusi atau non-institusi.
Tidak puas dengan jawaban tersebut, menurut Desmond, memang terdapat ekses individual dalam pelanggaran HAM berat. Namun, penyelesaiannya dan pertanggungjawabannya tetap secara institusional berada di tangan negara.
Berbeda dengan Harnoto dan Fatan, Komisi III DPR banyak mengkritisi mengenai latar belakang Heppy Wajongkere di firma bisnis. Dalam kesempatan itu, Heppy pun mengakui bahwa dirinya memang belum pernah menangani klien atau mengadili pelanggaran HAM berat. Ia merupakan advokat lembaga bantuan hukum selama empat tahun.