Utamakan Integritas dan Kompetensi Saat Seleksi Anggota KPU Provinsi
Pemilu 2024 sangat kompleks dan sarat dinamika politik sehingga membutuhkan penyelenggara pemilu yang kompeten dan bisa menjaga integritas.
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 212 calon anggota Komisi Pemilihan Umum atau KPU di 20 provinsi segera mengikuti tahapan uji kelayakan dan kepatutan. KPU sebagai pihak penguji diminta mengutamakan aspek integritas dan kompetensi dalam memilih.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Parsadaan Harahap, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (26/3/2023), mengatakan, tim seleksi calon anggota KPU provinsi telah menyerahkan 212 nama calon anggota KPU daerah di 20 provinsi ke KPU. Nama-nama yang diserahkan sebanyak dua kali lipat dari kebutuhan untuk selanjutnya mengikuti tahapan uji kelayakan dan kepatutan yang dijadwalkan pada awal April mendatang.
”Kami masih mempertimbangkan untuk mendatangi provinsi atau memanggil ke Jakarta. Tetapi, jadwalnya dipastikan mulai awal April karena rata-rata masa jabatannya berakhir awal Mei,” katanya.
Saat ini, KPU melaksanakan rekrutmen penyelenggara gelombang I di 16 provinsi dan empat provinsi baru. Sebanyak 16 provinsi dimaksud meliputi Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, dan DKI Jakarta. Selanjutnya, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Adapun empat provinsi baru adalah Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya.
Rekrutmen anggota KPU provinsi dimulai pada 16 Januari dengan pembentukan tim seleksi (timsel). Penyampaian calon anggota KPU provinsi oleh timsel kepada KPU pusat telah dilakukan pada 21-23 Maret. Adapun tahapan uji kelayakan dan kepatutan berlangsung pada 24 Maret hingga 5 Mei. Calon anggota KPU provinsi terpilih akan diumumkan pada 8-14 Mei untuk dilantik pada 24 Mei.
Menurut Parsadaan, materi dalam uji kelayakan dan kepatutan mirip dengan tahap wawancara bersama timsel KPU provinsi. KPU pusat sebagai pihak yang melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan akan memperdalam sejumlah hal, di antaranya terkait integritas, loyalitas, independensi, pengetahuan kepemiluan, wawasan kebangsaan, serta kepemimpinan. Tidak tertutup kemungkinan pihaknya juga kembali melakukan klarifikasi atas tanggapan masyarakat yang disampaikan kepada timsel.
Adapun aspek integritas dan loyalitas, menurut dia, amat diperlukan untuk melaksanakan tahapan Pemilu 2024 yang kompleks dan penuh dinamika. Oleh karena itu, sikap dan kemampuan tersebut mutlak dimiliki semua penyelenggara pemilu. Pihaknya pun tidak akan membedakan calon anggota KPU provinsi petahana ataupun tidak sehingga semua calon diperlakukan sama. ”KPU sebagai lembaga vertikal membutuhkan satu komando. Jadi, dua sisi, yakni integritas dan loyalitas, tidak bisa dilepaskan untuk menjadi anggota KPU di semua tingkatan,” kata Parsadaan.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah menilai, faktor integritas dan kompetensi semestinya menjadi pertimbangan utama dalam memilih anggota KPU provinsi. Sebab, penyelenggaraan Pemilu 2024 sangat kompleks sehingga membutuhkan penyelenggara yang kompeten dan bisa menjaga integritas. Terlebih, KPU sempat diterpa isu integritas karena adanya dugaan manipulasi saat tahapan verifikasi faktual parpol calon peserta Pemilu 2024.
”Sedangkan loyalitas hanya pada kode etik dan prinsip penyelenggaraan pemilu, bukan pada kelembagaan yang bersifat personal,” katanya.
Oleh karena itu, KPU mesti melihat rekam jejak dalam menilai integritas dan loyalitas. Nama-nama yang bermasalah dan terlibat dalam dugaan manipulasi verifikasi faktual jangan dipilih. Termasuk nama-nama yang sudah mendapatkan ”lampu kuning” berdasarkan catatan publik ataupun masyarakat sipil karena diduga melanggar prinsip integritas penyelenggara pemilu.
Di sisi lain, lanjut Hurriyah, politik dalam rekrutmen penyelenggara memang sulit dihindari karena adanya afiliasi peserta dengan organisasi dan partai politik. Politik rekrutmen tersebut bahkan cenderung mengakibatkan munculnya persepsi publik bahwa KPU telah memiliki nama-nama yang akan dipilih sebelum tahapan seleksi berakhir.
”Jangan sampai proses seleksi hanya sekadar prosedur formal karena nama-nama terpilih sudah dikantongi. Ini bisa mencederai proses seleksi dan mengakibatkan ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggara terpilih,” ucapnya.
Selain itu, menurut dia, KPU diingatkan untuk memperhatikan minimal 30 persen keterwakilan perempuan. Sebab, hingga saat ini keterwakilan perempuan di penyelenggara pemilu masih rendah. Diperlukan mekanisme yang jelas untuk berpihak pada keterwakilan perempuan dalam tahap akhir yang menjadi kewenangan penuh dari KPU kali ini.