Tanpa Ketentuan ”Illicit Enrichment”, LHKPN Hanya Jadi Pekerjaan Administratif
Ketentuan ”illicit enrichment” diharapkan bisa segera diakomodasi melalui revisi UU Tipikor atau pengaturan di dalam UU Perampasan Aset. Tanpa ketentuan itu, LHKPN hanya akan menjadi pekerjaan administratif.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD aktif menyuarakan pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana dan penyempurnaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ini terutama untuk memasukkan ketentuan illicit enrichment atau kekayaan tak sah sehingga aparat penegak hukum bisa menindak kasus-kasus penambahan kekayaan dari pejabat publik yang tak dapat dijelaskan sumbernya.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango mengatakan, seorang Menko Polhukam lebih pas apabila aktif menyuarakan atau mendukung pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang atau mendorong penyempurnaan UU Tipikor.
”Seperti kemungkinan memasukkan ketentuan illicit enrichment(kekayaan tidak sah) sebagai delik korupsi, juga ketentuan-ketentuan lain, seperti trading in influence (perdagangan pengaruh), ketimbang hanya seperti juru bicara menyampaikan adanya informasi setengah-setengah yang diperolehnya,” ujar Nawawi, Minggu (26/3/2023).
Ia berharap ketentuan illicit enrichmentbisa segera diakomodasi melalui revisi UU Tipikor atau pengaturan dalam UU Perampasan Aset. Menurut Nawawi, illicit enrichment dengan metode pembuktian terbalik akan menjadi instrumen paling ampuh untuk menindaklanjuti ketidakwajaran kekayaan pejabat publik yang ditemukan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
Tanpa ketentuan illicit enrichment, kata Nawawi, LHKPN hanya akan menjadi pekerjaan administratif. Sebab, ketika ditemukan adanya ketidakwajaran di dalamnya, hal itu hanya akan berbuntut pada sanksi administratif. Jika diduga ada indikasi pidana di dalamnya, penyelidikan hanya akan dapat dilakukan secara konvensional, seperti menyelidiki ada tidaknya perbuatan suap atau gratifikasi.
Sementara itu, Mahfud menanggapi santai rencana Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) untuk melaporkan dirinya bersama Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana ke Bareskrim Polri.
”Ya, nggak papa, bagus,” ujar Mahfud saat ditanya wartawan seusai acara Tadarus Kebangsaan dan Penyusunan Road Map Kepemimpinan Muslim Indonesia di Jakarta, Sabtu.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, pada Selasa (28/3/2023), dia berencana melaporkan dua pihak, yaitu Ivan Yustiavandana dan Mahfud MD, karena dianggap DPR melanggar Pasal 47 Ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Pasal 47 Ayat (2) UU TPPU menyebut bahwa laporan hasil analisis PPATK disampaikan kepada Presiden dan DPR. Sebelumnya, Mahfud menyampaikan laporan PPATK bahwa ada transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan.
”Iya, nanti akan kami laporkan Selasa, satu hari sebelum Menko Polhukam dan Kepala PPATK rapat kerja di DPR,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu.
Boyamin menyebut bahwa laporan yang akan dia buat itu sebenarnya untuk membuktikan bahwa tudingan DPR salah. Dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan PPATK di DPR, Selasa (21/3/2023), ada beberapa anggota DPR yang menuding Menko Polhukam dan Kepala PPATK melanggar UU TPPU.
”Saya sayangkan mengapa DPR hanya mempermasalahkan soal prosedur, mestinya yang ditangkap adalah substansinya, transaksi mencurigakan Rp 349 triliun. Bagaimana seharusnya pelaku oknum keuangan atau swasta itu diproses hukum. Itu yang seharusnya ditangkap oleh DPR,” paparnya.
Mahfud MD mengatakan, dalam agenda rapat kerja dengan DPR pekan depan, dirinya akan mengklarifikasi semua pertanyaan dan tudingan dari DPR. Dia menyebut akan menguji logika DPR dengan prinsip kesetaraan. Sebab, pemerintah bukanlah bawahan DPR. Posisi pemerintah setara dengan DPR.
”Pokoknya, Rabu saya datang. Kemarin yang ngomong-ngomong agak keras itu supaya datang juga, supaya imbang,” katanya.
Dalam rapat kerja bersama Kepala PPATK, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman, mempertanyakan apakah Kepala PPATK wajib melaporkan indikasi TPPU itu kepada ketua komite, dalam hal ini Mahfud MD. Pertanyaan selanjutnya, apakah kemudian ketua komite boleh membuka data tersebut kepada publik.
”Dalam konteks kasus yang menjadi perhatian publik, itu bisa disampaikan. Namun, tidak bisa menyentuh kasusnya dan tidak menyebut nama-namanya, boleh,” jawab Ivan.
Benny juga mempertanyakan kepada Ivan apakah dia sudah melapor kepada Presiden atau belum terkait laporan hasil analisis (LHA) yang menyebutkan transaksi mencurigakan di Kemenkeu mencapai Rp 349 triliun itu. Sebab, UU memerintahkan laporan itu diserahkan kepada Presiden dan DPR. Ivan menjawab, dalam kasus itu, dia sudah melapor kepada Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
”Tolong tunjukkan di pasal berapa laporan itu boleh dibuka ke publik? Sebab, kalau tidak, patut diduga Saudara dan Menko Polhukam punya niat politik yang tidak sehat karena ingin memojokkan Menteri Keuangan dan Kementerian Keuangan,” kata Benny.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, rapat kerja dengan PPATK akan dilanjutkan dengan rapat lanjutan bersama Menko Polhukam dan Menteri Keuangan. Semua pihak harus berbicara dan mengklarifikasi perihal indikasi TPPU senilai Rp 349 triliun yang melibatkan tugas pokok dan fungsi Kemenkeu. Rapat kerja lanjutan itu direncanakan akan digelar pada Rabu (29/3/2023).
”Akan ada rapat lanjutan lagi untuk lebih serius lagi mengklarifikasi sumber yang tergambar Rp 349 triliun itu. Apakah dari dua lembaga di Kemenkeu, yaitu Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai, atau di mana? Tadi, jawaban dari PPATK masih belum sesuai dengan harapan Komisi III,” ujarnya.