Koalisi besar yang diwacanakan oleh Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto belum pernah didiskusikan dalam Koalisi Indonesia Bersatu.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
KOMPAS/HAS/RON
(kiri ke kanan) Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan
JAKARTA, KOMPAS — Konstelasi politik jelang Pemilihan Presiden 2024 diperkirakan masih dipenuhi ketidakpastian hingga pendaftaran kandidat calon presiden dan wakil presiden pada Oktober mendatang. Pilihan elite dan masyarakat dalam menentukan calon presiden masih bakal dinamis, karena tidak ada tokoh potensial yang memiliki tingkat elektabilitas dominan. Oleh karena itu, tatanan koalisi juga masih bisa berubah mengikuti sosok yang akan diusung untuk berkontestasi.
Ketidakpastian dalam kompetisi elektoral jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 salah satunya terlihat dari tingkat elektabilitas tiga sosok potensial calon presiden (capres) yang kompetitif. Ketiga sosok dimaksud adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia periode 12—18 Maret 2023, ketiga sosok tersebut berada di posisi teratas dengan elektabilitas berturut-turut, Ganjar (30,8 persen), Prabowo (21,7 persen), dan Anies (21,7 persen).
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam konferensi pers daring, Minggu (26/3/2023), menjelaskan, persaingan elektabilitas ketiga sosok tersebut berlangsung sengit karena tidak ada satu pun yang mendominasi. Ganjar, misalnya, meski elektabilitasnya tertinggi tetapi mengalami stagnasi. Jika dibandingkan dengan survei pada Februari lalu, elektabilitas kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu mencapai 29,8 persen pada Februari, sedangkan pada Desember 2022 elektabilitasnya adalah 29,5 persen.
Prabowo yang mengalami tren penurunan elektabilitas selama dua tahun terakhir, justru kembali menguat dalam empat survei terakhir. Pada Desember 2022, elektabilitas Ketua Umum sekaligus bakal capres Partai Gerindra itu naik menjadi 19,5 persen dari 16,1 persen pada November 2022. Kemudian pada Februari lalu, tingkat keterpilihan Prabowo sempat menyentuh angka 17,2 persen sebelum naik kembali menjadi 21,7 persen pada Maret.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam acara Kompas100 CEO Forum di kantor redaksi Harian Kompas, Jakarta, Senin (10/10/2022),
Sementara itu, elektabilitas Anies cenderung menurun. Dari 23,6 persen pada November 2022, menjadi 22,8 persen pada Desember 2022, 23 persen pada Februari, dan 21,7 persen pada Maret. Padahal, kata Burhanuddin, Anies sempat mendapatkan momentum politik setelah dideklarasikan sebagai bakal capres Partai Nasdem pada Oktober 2022, kemudian disusul dukungan resmi dari Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Januari dan Februari lalu.
“Suasana ketidakpastian ini mungkin yang akan terus kita lihat sampai pendaftaran (capres dan cawapres) nanti. Ketidakpastian bukan hanya (mempengaruhi) di tingkat elite dalam menentukan capres dan juga koalisi yang sudah dibentuk tetapi belum ada capresnya, melainkan juga ada di tingkat massa, karena tidak ada sosok yang dominan,” kata Burhanuddin.
Ia melanjutkan, pilihan publik yang dinamis juga terlihat dari simulasi pertarungan jika ketiga tokoh tersebut dihadapkan satu sama lain. Dengan asumsi Ganjar, Prabowo, dan Anies, benar-benar akan maju di Pilpres 2024, maka diperkirakan kontestasi akan berlangsung dalam dua putaran.
Jika di putaran pertama Ganjar kalah, maka pertarungan antara Anies dan Prabowo dimenangi oleh Prabowo dengan perolehan suara 45 persen karena mendapatkan limpahan pemilih Ganjar, sedangkan Anies memperoleh 37,4 persen. Jika kontestasi putaran kedua terjadi antara Ganjar dan Prabowo, maka Ganjar unggul tipis dengan perolehan suara 41,8 persen, sedangkan Prabowo 40,8 persen, karena suara pemilih Anies tidak otomatis terlimpahkan ke salah satu dari mereka.
Tingkat elektabilitas capres pilihan publik hasil survei Indikator Politik Indonesia perioe Maret 2023.
Sementara itu, jika Ganjar berhadapan dengan Anies, Ganjar menang dengan suara 45,2 persen berbanding Anies yang mendapatkan suara 37,6 persen. Sebab, suara pemilih Prabowo tidak serta merta hanya berpindah ke Anies, tetapi juga bisa kepada Ganjar.
Dukungan Presiden
Dalam persaingan yang kompetitif itu, lanjut Burhanuddin, hanya elektabilitas Prabowo yang menunjukkan peningkatan. Menurut dia, itu tidak terlepas dari sinyal dukungan dari Presiden Joko Widodo yang dikemukakan secara jelas di hadapan publik. Misalnya, dalam perayaan hari ulang tahun Partai Perindo pada November 2022, Presiden sempat menyatakan bahwa 2024 adalah waktu bagi Prabowo setelah kalah darinya pada Pilpres 2014 dan 2019. Dukungan serupa juga sempat diungkapkan dalam berbagai momentum.
Bahkan, dalam beberapa pekan terakhir, Presiden mengajak Prabowo dalam kunjungan kerja di antaranya pada panen raya padi di Kebumen, Jawa Tengah, dan peresmian Gedung Papua Youth Creative Hub (PYCH) dan peluncuran produk-produk kreativitas di Abepura, Jayapura, Papua. “Ada kenaikan elektabilitas Prabowo di kalangan pemilih Jokowi sekitar 2 persen setelah ada endorsement dari Jokowi,” kata Burhanuddin.
Ia menambahkan, kenaikan elektabilitas dari pemilih Jokowi itu menandakan bahwa saat ini Prabowo tidak hanya bergantung pada basis pemilihnya di Pilpres 2019. Adapun basis pemilih Prabowo di Pilpres 2019 sudah terbagi karena sebagian berpindah ke Anies. Saat ini, Prabowo sudah mulai bisa mendapatkan suara dari pemilih Jokowi yang selama ini hanya memberikan suaranya kepada Ganjar. “Ke depan masih akan menarik, karena ada pertarungan untuk memperebutkan pangsa pasar (pemilih) baru dan lama. Jadi jika bisa mempertahankan captive pemilih lama sambil mencari captive yang baru, itulah syarat untuk bisa menang,” ujar Burhanuddin.
Presiden Joko Widodo bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat meninjau panen raya padi dan berdialog dengan petani di Desa Lajer, Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah, Kamis (9/3/2023).
Koalisi besar
Pertarungan elektabilitas capres pilihan publik yang kompetitif turut mempengaruhi dinamisnya pembentukan koalisi partai politik (parpol). Meski saat ini sudah terbentuk tiga poros, yakni Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB (Partai Golkar, Partai Amanat Nasional atau PAN, dan Partai Persatuan Pembangunan atau PPP), koalisi Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa, dan Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP (Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera), tatanan koalisi itu masih bisa berubah mengikuti sosok yang bakal diusung.
Dari ketiga poros koalisi yang terbentuk, hanya KPP yang sudah menyatakan untuk mengusung Anies, sedangkan dua koalisi lainnya baru memiliki bakal capres di tingkat parpol. Komunikasi antarparpol dan antarkoalisi juga berlangsung cair, semua pihak juga masih membuka kemungkinan untuk bergabung dengan yang lain.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto seusai buka puasa bersama di antaranya dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Sekretaris Jenderal PKS Abu Bakar Al Habsyi, Wakil Presiden RI ke-10 dan 12 Jusuf Kalla, dan Anies, di Nasdem Tower, Jakarta, Sabtu (25/3), mengatakan, penting menjaga komunikasi antarparpol meski berada di koalisi yang berbeda. Keterbukaan informasi perlu dijaga agar seluruh proses politik berjalan dengan baik. Ia pun tidak memungkiri kemungkinan KIB memperbesar koalisi dengan tambahan anggota dari parpol lain.
“Koalisi besar di mana-mana menguntungkan Indonesia, jadi kita tunggu tanggal mainnya,” ujar Airlangga.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana meja utama para tokoh di Ballroom Kantor DPP Partai Nasdem di Nasdem Tower, Jakarta, saat acara Buka Bersama Partai Nasdem, Sabtu (25/3/2023).
Terkait wacana koalisi besar itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid, belum mengetahuinya. Sejauh ini, ia hanya memeroleh informasi soal wacana koalisi poros tengah. Akan tetapi, ia tidak bisa menjelaskan lebih lanjut. “Belum dibahas secara mendalam,” katanya.
Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Wibowo mengatakan, belum pernah mendengar istilah koalisi besar. Akan tetapi, pembahasan mengenai KIB yang terbuka untuk berkoalisi dengan parpol di luar tiga parpol yang sudah tergabung kerap dilakukan. Kesamaan pasangan capres dan cawapres yang akan diusung menjadi faktor utama yang menentukan kesediaan untuk bergabung dengan parpol lain dan sebaliknya.
“Apakah keterbukaan berkoalisi itu menghasilkan koalisi besar, koalisi agak besar, atau malah koalisi terlalu besar, kita belum tahu. Semuanya masih berproses,” kata Dradjad.
Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani mengatakan, koalisi yang ada saat ini memang masih mungkin berubah. Perubahan dimaksud baik bertambah, berkurang, atau berganti komposisi. Namun, hingga saat ini KIB belum membahas secara khusus tentang kemungkinan penambahan atau perubahan konfigurasi parpol yang bergabung.
“Yang sudah menjadi kesepahaman adalah bahwa KIB tidak menutup diri dari kemungkinan bertambahnya anggota atau dilakukannya merger dengan parpol anggota koalisi lain,” katanya.
Arsul menambahkan, pertimbangan dalam perubahan komposisi koalisi nantinya tidak jauh dari unsur pasangan capres dan cawapres yang akan diusung. Ia melihat, lebih besar kemungkinan bagi KIB untuk bergabung dengan parpol di luar KPP.
“KIB sepertinya punya capres sendiri masing-masing, tetapi bukan Mas AB (Anies Baswedan),” kata dia.