KPK memang masih memiliki sejumlah kewenangan khusus, tetapi independensinya sudah tidak seperti dulu. Diperlukan penguatan pengawasan agar KPK tetap bekerja sesuai dengan rel dan cita-cita reformasi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Petugas membersihkan sisa sampah yang ditinggalkan para demonstran pendukung revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi di depan Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Minggu (15/9/2019).
Korupsi yang seolah sudah mendarah daging merupakan salah satu pemicu gelombang unjuk rasa rakyat, terutama mahasiswa, menuntut Presiden Soeharto mundur pada 1998. Maka, tak heran jika menghapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN menjadi salah satu dari enam poin Agenda Reformasi 1998 yang diajukan mahasiswa melalui serangkaian aksi mereka.
Begitu rezim otoritarian Soeharto tumbang setelah 32 tahun berkuasa, rakyat mendesak pembatasan kekuasaan serta penguatan check and balance untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Tuntutan rakyat agar KKN diberantas dijawab dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Presiden BJ Habibie, kala itu, menindaklanjuti dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Ia juga membentuk sejumlah badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (PKPN). Tak berhenti di situ, Habibie mengesahkan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 20/2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengenalkan tujuh jenis korupsi dan sanksinya.
Perjuangan untuk memberantas korupsi itu tak berhenti setelah presiden berganti. Presiden selanjutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim yang dibentuk pada Mei 2000 itu beranggotakan 25 orang dari unsur kepolisian, kejaksaan, dan masyarakat.
Namun, tim yang diketuai mantan Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Adi Andojo Soetjipto itu kemudian dibubarkan oleh MA melalui putusan uji materi tahun 2001. Kala itu TGPTPK tengah mengincar dugaan korupsi yang melibatkan hakim agung.
KPK lahir sebagai institusi cabang keempat, di luar trias politika, yang berperan sebagai penegak hukum di bidang korupsi. Anak kandung reformasi itu dilahirkan untuk menjawab ketidakpercayaan publik pada institusi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia, dalam makalah ”Menempatkan Institusi Cabang Keempat di Indonesia sebagai Penjamin Constitutional Purpose” yang disampaikan dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara yang ke-7 tahun 2022 mengungkapkan, KPK muncul karena korupsi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). KPK dibentuk dengan semangat yang sama seperti Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong. KPK dirancang sebagai agen tunggal dalam pemberantasan korupsi yang bebas dari pengaruh cabang kekuasaan mana pun.
Agen tunggal berarti kemampuan kunci, tanggung jawab, dan sumber daya ditempatkan pada satu atap untuk menciptakan lembaga terpusat yang kuat untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. Relasi check and balance yang dihadirkan adalah relasi yang sebisa mungkin lepas dari anasir politik, kepentingan individu, ataupun condong memihak ke cabang kekuasaan tertentu.
Pada awal KPK berdiri hingga menjelang akhir periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kewenangan KPK dalam konteks penegakan hukum dan kepegawaian. Berbeda dengan lembaga penegak hukum lainnya. Ada jalur kepegawaian yang bersifat independen. Pegawai KPK bukanlah aparatur sipil negara (ASN) yang ditugaskan di KPK. Selain itu, ada penyidik yang murni berasal dari KPK.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Lima perempuan anggota Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) menampilkan aksi teatrikal mencuci baju di halaman Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Lembaga antirasuah itu juga diberi kewenangan penyadapan sejak tahap penyelidikan tanpa harus meminta izin kepada pengadilan. Ini berbeda dengan institusi penegak hukum lain yang memerlukan izin dari pengadilan negeri dan baru dapat dilakukan saat penyidikan.
KPK tidak diberi kewenangan untuk menghentikan proses penyidikan melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Konstruksi itu dirumuskan agar penyidik KPK lebih hati-hati dan kasus yang disidik betul-betul didasarkan pada keyakinan bahwa ada tindak pidana korupsi dengan tersangka yang benar adanya sehingga semua kasus yang disidik masuk ke persidangan. Ini juga untuk mencegah potensi transaksi koruptif yang kerap meliputi pengeluaran SP3.
KPK juga diberi kewenangan yang relatif luas dalam membentuk regulasi internal. Kewenangan ini tak dimiliki aparat penegak hukum lain, khususnya Polri. Amunisi yang diberikan kepada KPK itu selaras dengan standar konsep penguatan institusi cabang keempat yang berfokus pada antikorupsi.
Dilemahkan
Namun, kewenangan yang dimiliki KPK kini justru dipangkas melalui revisi UU KPK. Regulasi baru KPK, yakni UU No 19/2019, menempatkan KPK berada di bawah rumpun eksekutif dan pegawainya berstatus ASN. Tak hanya itu, UU juga mengatur pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang tugasnya tak hanya menegakkan kode etik, tetapi juga memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Wakil Ketua KPK 2007-2011 Mochammad Jasin, Jumat (24/3/2023), mengungkapkan, penempatan KPK di rumpun eksekutif merupakan pertanda hilangnya mahkota independensi KPK. Padahal, membangun independensi KPK bukan perkara mudah.
Pimpinan KPK periode pertama harus berjuang membangun sistem kepegawaian, penggajian, hingga penanganan kasus sebaik mungkin. Apalagi, saat itu KPK terus mendapatkan hambatan dari lembaga legislatif karena gigih mengusut kasus korupsi yang juga menjerat sejumlah anggota DPR.
”DPR merasa ini, kan, yang nunjuk milih, kan, saya. Kok, jadi anak berani sama bapaknya. Kan, katakanlah begitu,” ujar Jasin.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Ketua KPK Agus Rahardjo, didampingi komisioner KPK Laode Syarif dan Saut Situmorang serta mantan komisioner KPK M Jasin (kanan), memberikan keterangan kepada awak media saat akan mendaftarkan judicial review atas UU KPK No 19/2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Independensi KPK semakin terkikis dengan diberikannya kewenangan untuk menerbitkan SP3. Kewenangan itulah yang kemudian digunakan pegawai KPK yang tidak berintegritas sebagai bahan negosiasi dengan pihak-pihak yang beperkara di KPK. Kasus bekas penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju, buktinya. Robin menerima suap dari sejumlah pihak yang tengah beperkara di KPK dan kini telah divonis 11 tahun penjara.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko menambahkan, KPK semakin lemah dengan pemilihan komisioner yang tak sesuai dengan harapan publik. ”Revisi UU mempereteli kewenangan KPK. Ditambah lagi dengan penempatan orang-orang bermasalah sebagai ketua dan komisioner. Ini semakin melemahkan KPK,” ujarnya.
Danang menyebut, di atas kertas, KPK memang masih memiliki sejumlah kewenangan khusus. Namun, independensinya sudah tidak seperti dulu. Masyarakat pun tidak bisa lagi percaya sepenuhnya kepada KPK karena tidak semua kasus yang menyita perhatian publik ditindaklanjuti. Situasi ini tentu memprihatinkan bagi demokrasi karena akuntabilitas pemerintah semakin menurun.
Mantan hakim agung Gayus T Lumbuun berpandangan, untuk memperbaiki KPK, diperlukan peningkatan kinerja pengawasan dari Dewas KPK. Dewas juga harus bisa memastikan KPK bekerja sesuai dengan rel dan cita-cita reformasi.
KOMPAS/SUSANA RITA KUMALASANTI
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan penetapan tersangka Rektor Universitas Lampung Karomani dalam kasus dugaan suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di universitas tersebut tahun akademik 2022/2023, Minggu (21/8/2022).
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyadari, ekspektasi masyarakat terhadap KPK untuk menciptakan Indonesia bebas dari korupsi memang tinggi. Oleh karena itu, ia memandang positif kritik tersebut sebagai bagian dari evaluasi untuk meningkatkan kinerja KPK.