Fenomena masyarakat yang mengkritisi gaya hidup mewah dan laporan harta kekayaan penyelenggara negara melalui media sosial memperlihatkan ekspresi ketidakpercayaan pada lembaga formal.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
KOMPAS
Nilai kekayaan pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam sepekan terakhir menjadi sorotan. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Kamis (15/12/2022), menyebutkan, di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, tingkat penghasilan aparatur sipil negara (ASN) jauh di atas rata-rata.
Terungkapnya kepemilikan harta kekayaan tak wajar mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, setelah kasus kekerasan yang dilakukan oleh anaknya, memicu terkuaknya kasus serupa dari sejumlah penyelenggara negara lain. Di media sosial, warganet berbondong-bondong mengunggah foto dan video yang memperlihatkan gaya hidup mewah sejumlah aparat dari berbagai instansi beserta keluarganya.
Sejumlah penyelenggara negara yang ramai diperbincangkan di medsos itu di antaranya Pejabat Kepala Subbagian Administrasi Kendaraan Biro Umum Kementerian Sekretariat Negara Esha Rahmansah Abrar, Direktur Penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi Brigadir Jenderal (Pol) Endar Priantoro, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Jakarta Timur Sudarman Harjasaputra. Tidak hanya itu, Kepala Bea dan Cukai Makassar, Sulawesi Selatan, Andhi Pramono, serta Kepala Kantor Bea dan Cukai Yogyakarta Eko Darmanto juga ikut menjadi sorotan.
Warganet tak sekadar menyoroti gaya hidup mewah para aparat dan keluarganya. Mereka juga berupaya mencari konfirmasi atau membandingkan informasi ketika ada sangkalan dari aparat terkait. Bahkan, warganet juga memperhatikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dan membuatnya viral.
Langkah tersebut tak hanya membuat persoalan gaya hidup mewah dan indikasi kepemilikan harta tak wajar penyelenggara negara berulang kali menjadi pembicaraan terpopuler di jagat maya, tetapi juga ditindaklanjuti media massa untuk diberitakan. Bahkan, instansi asal sejumlah aparat itu pun menindaklanjutinya.
Misalnya, Kementerian Keuangan memecat Rafael Alun Trisambodo dan Eko Darmanto, serta memeriksa LHKPN Andhi Pramono. Ketiganya juga sudah menjalani pemeriksaan klarifikasi LKHPN di KPK.
Kementerian Sekretariat Negara juga menonaktifkan Esha Rahmansah Abrar dari jabatannya sembari menyelidiki sumber harta kekayaannya. Sementara itu, KPK memeriksa LHKPN serta berkoordinasi dengan Dewan Pengawas KPK untuk menelaah indikasi pelanggaran etik yang dilakukan Endar Priantoro.
Medsos itu, kan, bersifat universal, spontan, setiap orang bisa menyuarakan gagasan, kepentingan, bahkan emosinya di sana. Karena itu, medsos dianggap sebagai perantara yang paling efektif bagi masyarakat
Pengajar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Fina Itriyati, melihat, upaya warganet untuk mengkritisi kekayaan tak wajar penyelenggara negara melalui medsos merupakan bentuk dari mediated citizenship atau praktik kewargaan yang termediasi melalui platform digital. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan atas alternatif saluran aspirasi. Sebab, saluran aspirasi formal, yakni lembaga negara terkait, tak bisa diakses seluruh lapisan masyarakat.
Sebelum marak penggunaan medsos, publik umumnya bisa menyalurkan aspirasi melalui organisasi nonpemerintah atau organisasi komunitas bagian dari masyarakat sipil. Namun, tetap ada tahapan formal yang mesti ditempuh. Sementara itu, medsos bisa memotong jarak tempuh protes warga sehingga mereka lebih nyaman menggunakannya.
”Medsos itu, kan, bersifat universal, spontan, setiap orang bisa menyuarakan gagasan, kepentingan, bahkan emosinya di sana. Karena itu, medsos dianggap sebagai perantara yang paling efektif bagi masyarakat,” kata Fina dihubungi dari Jakarta, Jumat (24/3/2023).
Ekspresi ketidakpercayaan
Upaya warganet tersebut, menurut Fina, juga memperlihatkan ekspresi ketidakpercayaan pada lembaga formal. Ada kepuasan tersendiri bagi publik karena protes lewat medsos akan mendapatkan reaksi langsung, baik dari sesama warganet maupun pemerintah.
KOMPAS/DIDIE SW
Ilustrasi
”Medsos menjadi institusi atau media yang efektif untuk menyalurkan suara yang tidak tersalurkan lewat institusi formal, jadi public distrust itu bisa diekspresikan,” ujarnya.
Fina menjelaskan, hal itu merupakan praktik yang baik bagi demokrasi karena posisi warga sebagai anggota penuh dari sebuah masyarakat bisa diakui di jagat maya. Kendati demikian, keberadaan medsos sebagai saluran aspirasi publik tidak bisa menggantikan seluruh sistem pengaduan masyarakat karena belum semua orang menggunakannya. Apalagi, protes lewat medsos sejatinya merupakan pelengkap untuk mendorong pemerintah agar menindaklanjuti suatu kasus dengan lebih cepat.
”Ada banyak kasus berat yang tetap harus melalui banyak proses atau jalur formal yang melibatkan lebih banyak lembaga dalam advokasinya. Terutama untuk level pengaduan yang sifatnya harus memobilisasi massa, membutuhkan audiensi, juga lobi-lobi,” tuturnya.
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman, menilai, wajar jika kemarahan publik terakumulasi dalam protes melalui medsos beberapa waktu terakhir. Sebab, aturan perundang-undangan yang ada saat ini memang belum cukup untuk mengatur ihwal penambahan kekayaan penyelenggara negara yang tak wajar. Misalnya, meski setiap penyelenggara negara wajib melaporkan LHKPN, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tidak mengatur sanksi terkait kepatuhan pelaporan LHKPN.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Zaenur Rohman memberikan keterangan kepada wartawan mengenai penolakan terhadap revisi UU KPK, di Tugu Yogyakarta, Selasa (17/9/2019). Aksi itu dilakukan bersama Jaringan Anti Korupsi (JAK) Yogyakarta.
Sejumlah institusi, seperti Kementerian Keuangan dan KPK, sebenarnya telah memiliki aturan dan kode etik yang mengatur soal gaya hidup aparatnya. Namun, aturan itu tidak dilaksanakan secara optimal karena penegakan hukum internal yang merupakan tanggung jawab aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) diduga tidak berjalan baik.
”Penegakan hukum secara represif terhadap kasus-kasus terkait oleh aparat penegak hukum itu juga tidak berjalan. Itu yang kemudian menimbulkan akumulasi kemarahan masyarakat,” ujar Zaenur.
Momentum perbaikan
Terkuaknya kasus kepemilikan kekayaan tak wajar sejumlah aparat seharusnya bisa menjadi momentum perbaikan dengan memperjelas sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak mematuhi aturan LHKPN. APIP yang selama ini dinilai lemah semestinya juga memperkuat kinerjanya. Selain itu, diperlukan pula payung hukum untuk mengusut kekayaan tak wajar penyelenggara yang selama ini belum ada.
”Agar penegakan hukum bisa berjalan efektif, perlu juga untuk menyegerakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang di dalamnya akan mengatur soal illicit enrichment,” kata Zaenur.
Aturan soal illicit enrichment atau peningkatan kekayaan secara tidak sah tersebut akan membuat protes masyarakat ada ujungnya. Sebab, saat ini kekesalan masyarakat yang ditumpahkan lewat medsos belum tentu berakhir dengan penindakan atau penegakan hukum.
Pakar tindak pidana pencucian uang dari Universitas Pakuan Bogor, Yenti Garnasih, mengungkapkan, sebenarnya tak sulit mengesahkan RUU Perampasan Aset. Apalagi saat ini, RUU Perampasan Aset sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2023. Semua tergantung kemauan dan komitmen politik dari DPR dan pemerintah selaku pembentuk UU. (DEA)