Cegah Keterbelahan, Kontestan Pemilu Dilarang Kampanye di Tempat Ibadah
Menggunakan tempat ibadah untuk berkampanye tak hanya dilarang oleh Undang-Undang Pemilu, tetapi juga dikhawatirkan akan memicu keterbelahan di masyarakat.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat, terutama para pemuka agama dan kontestan Pemilu 2024 beserta para pendukungnya, diminta tidak menggunakan rumah ibadah untuk berkampanye. Penggunaan rumah ibadah untuk politik praktis dikhawatirkan justru akan memicu keterbelahan di masyarakat, karena biasanya kampanye dilakukan dengan menyanjung atau menjelekkan seseorang, termasuk calon kontestan pemilu.
Seruan tidak menggunakan tempat ibadah untuk aktivitas politik praktis disampaikan sejumlah pihak jelang Ramadhan 1444 H. Salah satunya Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla yang melarang semua pihak, baik personal maupun organisasi partai politik, menggunakan masjid sebagai tempat berkampanye politik praktis. Sebab, jika digunakan untuk berkampanye politik praktis, masjid akan menjadi tempat menyanjung dan menjelekkan pihak-pihak tertentu.
DMI bahkan sudah mengeluarkan surat edaran yang menyatakan masjid harus steril dari politik praktis. Melalui surat edaran itu, DMI melarang siapa pun berkampanye di masjid. ”Kalau semua mikrofon boleh dipakai oleh 24 parpol, nanti bingung masyarakatnya. Yang ada, masjid jadi tempat menyanjung dan menjelekkan orang. Kalau di lapangan silakan, tetapi tidak di masjid. Siapa pun tidak boleh kampanye di masjid,” kata Kalla saat memberi sambutan dalam acara pelantikan pengurus DMI Provinsi Sumatera Selatan periode 2023-2028 di Masjid Agung Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Selasa (21/3/2023).
Meskipun melarang masjid dijadikan tempat berkampanye politik praktis, DMI mempersilakan masjid digunakan sebagai wadah melakukan sosialisasi politik. Dalam hal ini masjid boleh dijadikan tempat bagi petugas pemilu untuk mengajak masyarakat menggunakan hak pilihnya atau menyosialisasikan tata cara pelaksanaan pemilu.
”Kalau berbicara politik boleh, misalnya, mengajak jemaah untuk mendaftarkan diri jadi pemilih, boleh saja karena itu demokrasi. (Hal ini) termasuk mengajak masyarakat pada 14 Februari 2024 ke TPS (tempat pemungutan suara), itu boleh karena mendukung pemilu yang jujur dan adil,” ujar Kalla.
Seruan juga datang dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Menurut dia, tempat ibadah, salah satunya masjid, tidak boleh dijadikan tempat kampanye para peserta pemilu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga telah mengatur larangan bagi para peserta pemilu untuk melakukan kampanye di tempat ibadah, pendidikan, dan fasilitas pemerintah.
”Kepada pengurus masjid semua itu, jangan boleh ada kampanye di masjid-masjid. Sebab, nanti akan terbelah itu. Belum tentu di satu masjid itu aspirasi politiknya itu sama. Bisa terjadi pembelahan-pembelahan,” kata Wapres Amin dalam keterangan persnya seusai menghadiri acara peringatan Hari Desa Asri Nusantara 2023 di Lapangan Bola Desa Makmur, Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, Senin (20/3).
Pada kesempatan tersebut Wapres Amin meminta pimpinan partai politik dan para relawan tidak menjadikan masjid sebagai tempat kampanye. ”Kepada pimpinan partai politik dan juga relawannya supaya tidak bernafsu untuk menjadikan masjid sebagai tempat kampanye. Biarkan masjid untuk shalat, untuk ibadah, untuk kegiatan sosial. (Masjid) Supaya disterilkan dari kampanye,” tuturnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD juga mengajak para peserta Pemilu 2024 agar tidak berkampanye di tempat ibadah. Ajakan itu disampaikan dalam rangka mencegah keterbelahan akibat politisasi agama.
Politik praktis jangan di tempat ibadah. Pilihan politik setiap orang itu dapat berbeda sehingga politik praktis di tempat ibadah akan memicu keterbelahan.
Mahfud menegaskan, berceramah atau berpidato politik di tempat ibadah itu diperbolehkan. Namun, hanya dengan topik politik kebangsaan, kemanusiaan, dan kenegaraan. Tempat Ibadah tidak boleh dimanfaatkan untuk berkampanye calon tertentu peserta pemilu.
”Politik praktis jangan di tempat ibadah. Pilihan politik setiap orang itu dapat berbeda sehingga politik praktis di tempat ibadah akan memicu keterbelahan,” ujarnya dalam saat menyampaikan pidato kunci Simposium Nasional bertajuk ”Kedamaian Berbangsa Menuju Pemilu 2024 Tanpa Politisasi Agama”, di Sekolah Partai PDI-P, Jakarta, Selasa.
Pemilu, lanjut Mahfud, merupakan sebuah upaya untuk mencari pemimpin dan wakil rakyat yang baik. Karena itu, prosesnya harus berlangsung secara damai dan mengedepankan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hasil dari pemilu juga harus diterima bersama sebagai keputusan masyarakat luas.
Peran agama dalam demokrasi adalah sebagai inspirasi untuk merawat negara dan membangun pemerintahan yang baik. Pada dasarnya, meski keyakinannya berbeda, semua agama memiliki pesan yang sama, yaitu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Semua agama mengajarkan keadilan dan toleransi. Agama yang tidak mengajarkan toleransi, menurut Mahfud, adalah kepercayaan yang salah. Kesalahan agama seperti itu terletak pada penafsiran ataupun dasar ajarannya.
”Kalau tidak mengajarkan toleransi, pasti itu agama tidak benar. Sebab, agama mengajarkan toleransi, perbedaan, dan persatuan,” ucapnya.
Ketua Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) PDI-P Hamka Haq menuturkan, bangsa Indonesia harus menjadi pelopor kedamaian, bukan keterbelahan. Ini karena agama yang ada di Indonesia tidak mengajarkan keributan.
Keterbelahan atau keributan yang terjadi itu dipicu ambisi politik untuk menguasai dan mengabaikan kelompok lainnya. Dia mencontohkan, perang yang mengatasnamakan agama merupakan ambisi politik untuk memperluas wilayah.
Dalam kesempatan itu, Hamka juga mengajak seluruh kelompok untuk melestarikan tradisi toleransi yang sejak lama hadir di Indonesia. ”Semua umat beragama sebaiknya mempelajari, memahami, dan menaati ajaran masing-masing,” ucapnya.
Dalam simposium itu, perwakilan tokoh sejumlah agama menyatakan komitmen untuk memastikan budaya damai, rukun, dan solid, bebas dari politisasi agama melalui ”Deklarasi Bersama untuk Kedamaian, Pemilu Berkualitas 2024”.
Naskah deklarasi dibacakan Ketua PP Muhammadiyah Bidang Kerja Sama dan Hubungan Luar Negeri Syafiq A Mughni bersama tokoh agama lainnya. Mereka di antaranya Fatah S Massinai dari Ahlul Bait Indonesia, Rio Sidauruk dari sekretaris DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Hafizurrahman Danang PB dari Ahmadiyah dan Romo Hans Jeharut dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Ada pula Pendeta Gomar Gultom dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia dan Prof Dr KH Hamka Haq dari Baitul Muslimin Indonesia. Adapun Mayor Jenderal (Purn) Wisnu Bawa Tenaya dari Parisada Hindu Dharma Indonesia/PHDI) dan WS Budi Santoso Tanuwibowo dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia hadir secara virtual.
”Untuk menjaga tegaknya Negara Pancasila, kami peserta Simposium Nasioanal Umat Beragama, yang diselenggarakan pada tanggal 21 Maret 2023, menyepakati perlunya membangun kedamaian dalam kehidupan beragama guna lebih meningkatkan soliditas dan solidaritas berbangsa tanpa diskriminasi dan tanpa politisasi agama,” kata Syafiq.
Para tokoh agama menyadari bahwa diskriminasi dan politisasi agama sangat bertentangan dengan Pancasila dan pada gilirannya akan melahirkan disintegrasi bangsa. Untuk itu, segala bentuk gagasan yang mengarah kepada politisasi agama atau politik identitas diskriminatif atas nama agama harus dihindari.