Putusan Majelis Kehormatan Hari Ini Jadi Penentu Wajah MK
Putusan Majelis Kehormatan MK diharapkan bisa mencerminkan keadilan publik. Jika tidak, putusan hari ini bisa menjadi titik awal dari kehancuran MK ke depan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi akan menyatakan sikapnya atas kasus dugaan pelanggaran kode etik terkait pengubahan putusan perkara nomor 103/PUU-XX/2022. Putusan Majelis Kehormatan tersebut menjadi penentu wajah MK ke depan, apakah akan menjadi titik awal pembenahan MK secara kelembagaan ataukah sebaliknya menjadi awal mula kehancuran.
Setelah bekerja selama 30 hari, Majelis Kehormatan MK direncanakan membacakan putusannya pada Senin (20/3/2023) pukul 13.00 WIB di ruang sidang panel lantai 4 Gedung MK, Jakarta. Putusan akan dibacakan langsung Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna serta anggota Majelis Kehormatan, Enny Nurbaningsih dan Sudjito, dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengungkapkan, putusan Majelis Kehormatan tersebut menjadi catatan penting untuk membenahi MK ke depan. Pembenahan tersebut berkaitan dengan upaya menjaga dan melindungi marwah peradilan, serta memastikan kekuasaan kehakiman betul-betul merupakan kekuasaan merdeka sebagaimana dikehendaki konstitusi.
DIAN DEWI PURNAMASARI
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menjawab pertanyaan wartawan seusai memberikan keterangan kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam perkara perubahan substansi Nomor 103/PUU-XX/2022, Kamis (9/2/2023)
”Jika kemudian putusan Majelis Kehormatan MK gagal merepresentasikan apa yang dianggap publik sebagai adil, putusan ini akan menjadi titik awal dari berbagai kehancuran yang sudah terakumulasi. Oleh karena itu, penting bagi MKMK menyadari ini. Penting pula bagi MKMK memastikan wajah MK ke depan, terutama dalam persoalan etika,” papar Feri, Minggu (19/3/2023).
Kasus ini bermula ketika Zico Lenoard Djagardo Simanjuntak, pemohon uji materi 103/PUU-XX/2022 terkait dengan penggantian hakim konstitusi Aswanto, mendapati adanya perubahan frasa dalam substansi putusan. Ada salah satu bagian pertimbangan putusan yang berbeda antara yang dibacakan di ruang persidangan dengan yang ada di salinan putusan dan risalah persidangan yang diunggah di website resmi MK. Perbedaan tersebut terletak pada paragraf terakhir halaman 51 putusan No 103/2022 pada frasa ”Dengan demikian,…” yang diubah menjadi ”Ke depan,….”
Dalam memeriksa kasus tersebut, Majelis Kehormatan sudah meminta keterangan dari seluruh hakim konstitusi, Panitera MK Muhidin, panitera pengganti, staf kepaniteraan, dan para ahli. Selain itu juga meminta pendapat dan pandangan sejumlah ahli. Mereka di antaranya adalah mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, mantan Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari, dan Ketua Komisi Informasi Pusat John Fresly Hutahaen.
Jika kemudian putusan Majelis Kehormatan MK gagal merepresentasikan apa yang dianggap publik sebagai adil, putusan ini akan menjadi titik awal dari berbagai kehancuran yang sudah terakumulasi.
Jimly dalam perbincangan dengan Kompas pada beberapa waktu lalu mengungkapkan, perubahan putusan merupakan sebuah pelanggaran serius. Terkait sanksi yang dijatuhkan, Jimly menilai bahwa hal tersebut haruslah memiliki dimensi mendidik, baik mendidik pelaku, lingkungan kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
”Jadi, harus ada special detterance dan general detterance, baik yang sifatnya individual, kolega, institusi, maupun ke masyarakat. Sifatnya mendidik,” tuturnya.
Tujuan pemberian sanksi juga untuk menjaga kepercayaan masyarakat atau public trust terhadap institusi. ”Jadi, tidak perlu memenjarakan orang yang salah, tetapi suruh pindah kerja tempat lain. Ini tujuan sistem peradilan etika. Makanya, jangan ragu-ragu,” katanya.
Jimly menyarankan agar Majelis Kehormatan memberikan sejumlah rekomendasi perbaikan lembaga MK ataupun perbaikan kerja Majelis Kehormatan di masa mendatang. Misalnya, terkait tata cara pemeriksaan Majelis Kehormatan yang dilakukan secara tertutup. Menurut dia, pemeriksaan etik tertutup sudah ketinggalan zaman.
MELATI MEWANGI UNTUK KOMPAS
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie.
”Saya sarankan mekanisme persidangan diatur ulang. Sesuai prinsip peradilan, harus terbuka. Jangan lihat etiknya sebagai pengalaman privat. Sudah ketinggalan zaman teori itu. Yang harus dilihat adalah jabatan publiknya. Ini etika yang berkaitan dengan jabatan publik, maka segala informasi yang terkait dengan jabatan publik harus dibuka. Begitu filosofi UU Kebebasan Informasi Publik,” tuturnya menambahkan.
Ia berharap Majelis Kehormatan MK nantinya dapat meniru model penyelesaian perkara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang juga menjadi peradilan etik bagi penyelenggara pemilu.
Sementara itu, Zico berharap agar Majelis Kehormatan MK memutus kasus perubahan substansi putusan tersebut secara obyektif dan tepercaya. ”Jangan ada yang ditutupi. Jangan ada kepentingan yang disusupi. Saya, sih, percaya MKM obyektif. Jadi, semoga kepercayaan ini terbalaskan dengan hasil yang memuaskan saya dan publik,” ujarnya.