TNI AL Utamakan Integrasi Armada dalam Perang Modern
Indonesia dinilai termasuk negara yang lambat dalam adaptasi NCW beserta teknologi pendukungnya. Walakin, perkembangan teknologi militer Indonesia diharapkan terus meningkat.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — TNI Angkatan Laut membutuhkan teknologi komunikasi yang mampu menjamin integrasi dari seluruh elemen armada. Elemen ini berupa rantai komando, kendali, komunikasi, komputer, intelijen, pengamatan, dan pengintaian atau K4IPP. Hal ini krusial untuk memenangi pertempuran, terutama dalam perang modern.
Konsep integrasi informasi dan komunikasi armada, kini memasuki babak pembahasan dan pengembangan ide terkait teknologinya. TNI AL berkomitmen mengurangi produk impor dalam peralatan militer untuk mewujudkan kemandirian industri pertahanan.
Pembahasannya dilakukan pada Rapat Koordinasi Komunikasi dan Elektronika (Komlek) di Markas Besar (Mabes) TNI AL, Jakarta, Kamis (16/3/2023), yang berlangsung secara tertutup. Rapat itu dihadiri jajaran pejabat Mabes TNI AL, Kepala Satuan Kerja Bidang Komlek Komando Utama (Kotama) TNI AL wilayah Jakarta, dan diikuti secara daring oleh para staf Komlek Kotama TNI AL yang ada di seluruh Indonesia.
”(Kebutuhan teknologi) krusial itu yang dapat menjamin integrasi seluruh elemen K4IPP dalam Network Centric Warfare (NCW),” ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AL Julius Widjojono saat dihubungi seusai rapat.
Teknologi dalam NCW nantinya harus mampu mendukung kombinasi taktik, teknik, dan prosedur saat perang modern. Karena itu, penyebaran informasi perlu berlangsung dalam waktu yang sama (real time).
Selain itu, teknologi yang digunakan juga dapat diterapkan dalam unsur Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT). Sistem itu terdiri dari Kapal Perang Republik Indonesia (KRI), marinir, pangkalan, dan pesawat. Dalam pengoperasiannya, dilakukan interaksi antarunsur dengan dukungan komunikasi dan elektronika.
Indonesia termasuk negara yang lambat dalam adaptasi NCW beserta teknologi pendukungnya, tahun 2010-an. Amerika Serikat (AS), misalnya, implementasi doktrin NCW telah dilakukan sejak tahun 1990-an. Di Asia Tenggara, Singapura lebih dulu, sejak 2000-an, mengadopsi doktrin NCW.
Mantan Kepala Staf TNI AL periode 2002-2005 Laksamana (Purnawirawan) Bernard Kent Sondakh mengatakan, pada era kepemimpinannya belum mengenal apa yang disebut NCW. Mayoritas operasi dan kegiatan TNI AL dilaksanakan secara manual.
Meskipun demikian, dalam perang elektronika (pernika), kapal tempur TNI AL sudah dilengkapi electronic support measurement (ESM). Alat itu bersifat pasif dan hanya berfungsi untuk menangkap gelombang elektronik lawan. ”Teknologi yang dimiliki TNI AL pada masa itu belum mampu merusak gelombang elektromagnetik lawan, hanya dapat mendeteksi. Kalau sekarang, seharusnya lebih berkembang,” ucap Bernard.
Berdasarkan keterangan Julius, sejumlah KRI sudah dilengkapi teknologi electronic counter measure (ECM) dan electronic counter-counter measure (ECCM). Keduanya bersifat aktif dan mampu mengganggu gelombang elektronik lawan, bahkan melawan upaya lawan untuk mengganggu balik.
KRI yang memiliki kedua fitur itu adalah kapal perang dengan kelas RE Martadinata (REM). Untuk kapal perang fregat kelas MRLF (multirole light fregat) dan kapal perang korvet kelas Sigma dalam proses. ”Sementara untuk kapal (perang) lainnya menyusul,” kata Julius.
Menurut pengamat militer, Tangguh Chairil dari Binus University, Indonesia termasuk negara yang lambat dalam adaptasi NCW beserta teknologi pendukungnya, tahun 2010-an. Amerika Serikat (AS), misalnya, mengimplementasikan doktrin NCW sejak tahun 1990-an. Di Asia Tenggara, Singapura lebih dulu, sejak 2000-an, mengadopsi doktrin NCW, tetapi dengan istilah integrated knowledge-based command and control (IKC2).
”Dalam perang modern seperti pernika itu termasuk dalam revolusi teknologi militer (Revolution in Military Affairs/RMA). RMA ini berfokus pada teknologi dan elektronika,” tutur Tangguh.
Ketika TNI AL fokus pada NCW, lanjut Tangguh, perlu mengedepankan teknologi sensor dan komunikasi dalam hal pemberian perintah serta kendali. Teknologi ini yang kerap diserang oleh ESM, ECM, dan ECCM.
Penerapan teknologi NCW membuat seluruh pasukan dan aset militer terintegrasi dalam pusat komando dan kendali (Puskodal). Karena itu, kapabilitas teknologi sensor atau radar berperan besar untuk mengumpulkan informasi dari medan tempur. Informasi ini secara real time harus dapat diteruskan ke Puskodal. ”Puskodal kemudian bisa mencermati dan mengambil keputusan secara langsung berdasarkan informasi dari sensor atau radar. Lalu, secara real time memerintahkan pasukan atau aset militer di medan tempur,” kata Tangguh.
Selain itu, kapabilitas teknologi dalam NCW juga mendukung penguasaan laut (sea control) di kawasan. Penguasaan ini bergantung pada kapal fregat, kapal perusak, dan kapal penjelajah.
Di perairan Asia, merujuk Lowly Institute Asia Power Index 2023, penguasaan laut Indonesia berada pada peringkat ke-11, di bawah Thailand yang menduduki posisi 10. Selain itu, Indonesia menempati peringkat ke-13 hal teknologi, pemeliharaan, dan jarak jangkauan. Indonesia berada satu peringkat di bawah Vietnam, yang berada di peringkat ke-12, dan cukup jauh tertinggal dari Singapura di peringkat ke-2 se-Asia.