PPATK menemukan sebagian dari Rp 45 triliun dana yang terindikasi sebagai hasil tindak pidana pencucian uang mengalir ke sejumlah politikus. Diduga dana itu digunakan untuk membiayai pemenangan Pemilu 2019 dan 2024.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Mural bergambar wajah Presiden Republik Indonesia dari masa ke masa menghiasi tembok di kawasan Petukangan Selatan, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Rabu (21/12/2022). Jelang Pemilu 2024, suhu politik di Tanah Air kembali menghangat.
Setahun menjelang pemungutan suara Pemilu 2024, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mengungkap adanya dugaan penggunaan dana hasil tindak pidana pencucian uang pada Pemilu 2014 dan 2019. Uang hasil korupsi dan sumber ilegal lain yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah itu digunakan untuk ongkos politik para kontestan pemilu.
Dalam rapat kerja Komisi III DPR, medio Februari lalu, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan, dana triliunan rupiah yang didapat dari sejumlah transaksi ilegal, seperti pembalakan liar, pertambangan ilegal, dan pencurian ikan ilegal, diindikasikan digunakan politisi secara personal.
Temuan PPATK itu melengkapi indikasi penggunaan dana hasil kejahatan korupsi oleh sejumlah kepala daerah untuk memenangi pilkada. Sebut saja Bupati Jombang Nyono Suharli, yang ditangkap KPK karena korupsi dan menggunakannya untuk maju di Pilkada 2018. Ada pula Bupati Subang Imas Aryumningsih yang korupsi untuk ongkos kampanye Pilkada 2018 dan Bupati Ngada Marianus Sae yang juga memakai uang hasil korupsi untuk kampanye pemilihan gubernur Nusa Tenggara Timur.
Meski belum memasuki masa kampanye, baliho dan poster partai politik ataupun tokoh partai politik mulai banyak menghiasi ruang-ruang publik, seperti di Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (10/3/2023).
Ketua Kelompok Hubungan Masyarakat PPATK M Natsir Kongah merinci, ada Rp 45 triliun dana yang terindikasi sebagai hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sebagian di antaranya mengalir ke sejumlah politikus. Dana itu diduga digunakan untuk membiayai pemenangan di Pemilu 2019 dan Pemilu 2024.
”Dari penelitian PPATK, setiap periode pemilu ada gejala seperti itu, hampir sama polanya, seperti memberikan izin terhadap penggalian tambang atau lahan,” ujar Natsir dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”Memburu Dana Gelap Pemilu” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (15/3/2023) malam.
Acara bincang-bincang yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu juga dihadiri anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Herwyn J Malonda; anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman; Ketua PPATK 2002-2011 Yunus Husein; serta pakar TPPU, Yenti Garnasih, sebagai narasumber.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Spanduk ajakan untuk menolak paraktik politik uang dalam Pilkada 2020 terpasang di Jalan Jombang Astek, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (7/12/2020).
Natsir menuturkan, temuan-temuan terkait penggunaan uang hasil TPPU untuk pemilu sudah dilaporkan ke aparat penegak hukum, seperti Polri dan KPK. PPATK juga telah menginisiasi pembentukan Tim Kerja Analisis Kolaboratif dengan berbagai lembaga untuk mengawasi penggunaan uang hasil TPPU untuk ongkos Pemilu 2024. Tim akan memantau transaksi yang terindikasi mencurigakan dan menyimpang selama masa kampanye.
Benny yang sudah empat periode menjadi anggota DPR mengatakan, jika masih ada dana ilegal yang mengalir untuk ongkos politik, berarti sistem pengawasan dan pencegahan tidak berjalan maksimal. Terlebih, penggunaan dana di luar dana kampanye tidak diawasi sehingga aliran uang menjadi sulit dideteksi oleh penyelenggara pemilu ataupun lembaga pengawas yang lain.
Herwyn mengakui, Bawaslu hanya bisa memantau penggunaan dana seperti dana kampanye peserta pemilu. Karena itu, dibutuhkan komitmen kejujuran dari peserta pemilu untuk memastikan dana untuk pemenangan pemilu berasal dari sumber yang legal.
Batasan maksimal sumbangan dana kampanye itu masih terlalu besar. Semestinya batasan sumbangan diturunkan, terlebih sebagian penyumbang memiliki profil yang tak jelas.
Untuk mengantisipasi penggunaan dana ilegal dalam pemilu, Bawaslu menjalin kerja sama dengan PPATK dan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengawasi aliran dana peserta pemilu. Bawaslu juga berharap agar KPU mengatur lebih rinci penggunaan dana oleh calon anggota legislatif. Sebab, selama ini, laporan dana kampanye caleg menjadi satu kesatuan dengan laporan dana kampanye parpol sebagai peserta pemilu.
Terlalu besar
Sebenarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah membatasi sumbangan dana kampanye maksimal Rp 2,5 miliar untuk perseorangan dan maksimal Rp 25 miliar untuk kelompok atau ventura. Namun, menurut Yenti, batasan maksimal sumbangan dana kampanye itu masih terlalu besar. Semestinya batasan sumbangan diturunkan, terlebih sebagian penyumbang memiliki profil yang tak jelas.
Mada Sukmajati dan Fikri Disyacitta dalam artikel ”Pendanaan Kampanye Pemilu Serentak 2019 di Indonesia: Penguatan Demokrasi Patronase” yang terbit di Jurnal Antikorupsi Integritas 75-95 juga mengungkapkan, tidak semua penyumbang melengkapi data pendukung, seperti alamat, nomor identitas, dan NPWP.
Dalam artikel itu juga disebutkan, sebagian besar sumbangan dana kampanye berasal dari kandidat yang maju di pemilihan presiden (pilpres) maupun pemilihan anggota legislatif (pileg). Dari total sumbangan dana kampanye yang dilaporkan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebesar Rp 44 miliar, misalnya, sebanyak Rp 32 miliar di antaranya merupakan sumbangan dari pasangan calon. Begitu pula sumbangan dana kampanye asangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dari total Rp 54 miliar, sebanyak Rp 52,5 miliar berasal dari pasangan calon.
Sumbangan kampanye semacam itu, lanjut Yenti, rawan menjadi sarana pencucian uang hasil kejahatan. Hal itu dikhawatirkan bisa berdampak pada keberpihakan politisi dalam membuat kebijakan.
Yunus mengungkapkan, sumbangan natura ataupun dari individu yang nilainya besar biasanya tak dilaporkan. Laporan dana kampanye cenderung hanya digunakan untuk mencari kebenaran formal. Audit dana kampanye pun tidak bisa dilakukan menyeluruh karena waktu yang sangat terbatas.