Cegah Korupsi, Pemerintah Dituntut Serius Tegakkan Hukum
Kemenkeu harus melakukan tiga strategi untuk mencegah korupsi. Pendekatan itu adalah penegakan hukum, pemberian insentif yang cukup, serta perbaikan kultural.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
TANGKAPAN LAYAR
Salah satu unggahan warganet mengenai penyimpangan di Ditjen Pajak dan kekayaan pejabatnya yang tak wajar. Unggahan ini, salah satunya, ditemukan di akun media sosial Tiktok @p3nj3l4j4h.id.3.
JAKARTA, KOMPAS — Gaya hidup mewah para penyelenggara negara yang berujung pada dugaan kepemilikan harta tidak wajar ditengarai merupakan fenomena gunung es. Kondisi tersebut juga menjadi ironi karena terjadi di tengah kondisi ekonomi negara yang belum sepenuhnya pulih. Pemerintah perlu serius melakukan penegakan hukum, pemberian insentif, dan perbaikan budaya kerja untuk mencegah korupsi birokrasi.
Ahli kebijakan publik Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, dalam diskusi ”Etika Pejabat Publik dan Demoralisasi Birokrasi”, Rabu (15/3/2023), mengatakan, dugaan kepemilikan kekayaan tak wajar eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo merupakan fenomena puncak gunung es. Dia meyakini ada banyak pejabat lain yang juga memiliki harta tak wajar. Situasi ini sangat ironis dengan kondisi negara yang memiliki utang sangat besar. Per Januari 2023, utang Indonesia menggelembung menjadi Rp 7.754 triliun atau setara 38,56 persen dari produk domestik bruto (PDB).
”Ironis sekali kondisi fiskal negara dengan kekayaan yang ditumpuk oleh pejabat publik. Seorang pejabat eselon III bisa memiliki 40 akun rekening yang diduga total asetnya mencapai Rp 2,5 triliun,” ujarnya.
Dia tidak memukul rata perilaku Rafael dengan pejabat lain. Masih ada pejabat eselon III di Indonesia yang jujur dan berintegritas. Namun, fakta bahwa pegawai pajak dan bea cukai memiliki harta kekayaan fantastis, sedangkan pajak seperti pajak pertambahan nilai (PPn) terus dinaikkan menjadi ironis bagi masyarakat. Seolah-olah kenaikan pajak itu dipakai untuk membayari kehidupan mewah pejabat. Baik itu untuk membeli jam bermerek maupun mobil mewah.
”Situasi fiskal sedang lampu merah, tetapi ada pejabat publik yang justru berpesta pora. Jangan sampai negara ini menjadi negara gagal. Ini harus diantisipasi betul, karena jika terlambat bisa jadi kenyataan,” ungkapnya.
Dalam situasi seperti ini, lanjutnya, Kemenkeu harus melakukan tiga strategi untuk mencegah korupsi. Pendekatan itu adalah penegakan hukum, pemberian insentif yang cukup, serta perbaikan kultural. Ketiganya saling berkaitan. Untuk saat ini, remunerasi yang diberikan kepada pegawai pajak dan bea cukai sudah mencukupi. Jika memang ada bukti korupsi, mereka harus ditindak tegas.
Kemenkeu harus melakukan tiga strategi untuk mencegah korupsi. Pendekatan itu adalah penegakan hukum, pemberian insentif yang cukup, serta perbaikan kultural.
Selain itu, perilaku pamer harta (flexing) di media sosial harus dihindari oleh pejabat publik dan keluarganya karena merupakan budaya yang destruktif. Secara tidak langsung, mereka berkewajiban memberikan contoh hidup sederhana. Karena budaya patronase masih kental, jika pejabat gemar memamerkan hartanya, masyarakat pun akan meniru.
” Flexing adalah budaya yang destruktif. Mereka yang memiliki power akan korupsi, sedangkan masyarakat biasa bisa terjerat pinjaman online,” katanya.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, menambahkan, upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi yang dilakukan pemerintah belum menyentuh inti permasalahannya. Ini juga terekam dalam penurunan empat poin Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2022. Data TII, skor IPK sebesar 34 atau menurun empat poin dari capaian sebelumnya, yaitu 38. Skor itu juga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Penurunan pun menjadi yang tertinggi sejak 1995.
”Penurunan empat poin IPK ini terjadi salah satunya karena terlalu banyak intervensi politik yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Pilar utama pencegahan korupsi baru diselesaikan secara pinggiran,” ujar Alvin.
Dia menilai, strategi pencegahan korupsi yang dilakukan pemerintah belum bisa menyentuh inti permasalahan. Digitalisasi melalui Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) hanya menurunkan kemungkinan korupsi. Tetapi, belum sepenuhnya bisa menutup peluang korupsi.
Jika ingin serius mencegah korupsi, pemerintah perlu mengintervensi regulasi mengenai korupsi politik. Misalnya, bagaimana menata kelola pemerintahan untuk menjawab soal konflik kepentingan di pemerintahan. Banyak komisaris perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) di sektor energi berkaitan dengan partai politik. Ada pula yang mantan tim sukses. Ini menambah potensi konflik kepentingan dan memicu korupsi politik.
ARSIP PRIBADI
Alvin Nicola
”Praktik suap dan tim pelobi untuk mendapatkan proyek ataupun jabatan di pemerintah mencederai birokrasi. Muncul gejala, mereka dipilih dengan cara yang tidak transparan dan akuntabel sehingga ada unsur nepotisme saat pemilihan,” katanya.
Di saat bersamaan, juga ada fenomena rangkap jabatan pejabat publik yang menjadi komisaris di perusahaan BUMN. Regulasi yang mengatur rangkap jabatan bagi pejabat publik juga masih sangat minim dan lemah.
Aparat penegak hukum pun belum memiliki instrumen yang kuat untuk upaya pencegahan korupsi. Deklarasi aset melalui laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) sudah ada, tetapi tidak cukup untuk memidanakan orang yang tidak patuh melapor. Orang yang tidak jujur melaporkan LHKPN juga masih sulit untuk dijerat hukum. Alvin menilai, LHKPN masih menjadi semacam syarat administratif yang semu untuk menghadirkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Alvin berharap ke depannya akan ada aturan tegas mengenai konflik kepentingan pejabat publik. Semangat untuk menghadirkan pemerintahan yang demokratis yang transparan, akuntabel, dan tidak disusupi kepentingan pemodal harus diterapkan dalam level yang lebih praktikal.
Sementara itu, Direktur Pengelola Paramadina Public Policy Institute Khoirul Umam berpandangan, di situasi semacam ini, penting untuk mengingatkan kembali urgensi revolusi mental pejabat publik. Tidak hanya revolusi, menurut dia, yang dibutuhkan adalah transformasi mental. Korupsi terjadi karena ada niat dan kesempatan. Sistem harus dibangun untuk membuat kesempatan itu tidak ada. Sebab, moral manusia selalu dalam posisi naik dan turun. Kejahatan terjadi bisa setiap saat selama ada niat dan kesempatan.