Partai politik harus beradaptasi dan memberi ruang bagi kaum muda untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik. Karena ruang yang diberikan parpol akan meningkatkan minat dan kans politisi muda untuk terpilih.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Besarnya proporsi pemilih muda dalam Pemilihan Umum 2024 membuat kaum muda menjadi target bagi partai politik dalam menjaring suara. Akan tetapi, hal itu belum diikuti terbukanya peluang yang cukup memadai bagi kaum muda untuk terlibat aktif dalam kontestasi politik. Kondisi ini dinilai sebagai akibat perilaku elitis partai politik yang mempersempit ruang bagi kaum muda untuk terlibat.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Perindo Michael Sianipar mengatakan, ada permasalahan struktural dalam partai politik (parpol) yang telah mengakar dan menghambat kaum muda untuk terlibat baik dalam pemilu ataupun kegiatan politik. Permasalahan struktural yang dimaksud adalah perilaku senioritas atau elitis dari partai yang lebih mengutamakan orang dengan usia yang lebih tua ataupun kedekatan dengan petinggi partai.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Kondisi ini membuat kaum muda hanya menjadi komoditas dalam politik. Suara mereka dibutuhkan, tetapi ruang untuk kaum muda terlibat dihambat,” ungkapnya dalam Konferensi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik II mengenai Demokrasi, Anak Muda, dan Pemilu 2024, di Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Michael juga mengutip Survei Pemilih Muda dan Pemilu 2024 oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang menemukan hampir 60 persen pemilih dalam Pemilu 2024 merupakan kaum muda usia 17-39 tahun. Tingginya proporsi kaum muda ini dimanfaatkan parpol untuk melibatkan mereka dalam aktivitas kampanye, diskusi, dan isu yang dibawa.
Dalam kondisi ini, menurut Michael, kaum muda hanya sebatas diwakili oleh orang yang lebih tua untuk mencapai kepentingan tertentu. Karena itu, dia mempertanyakan mengapa tidak memberikan kesempatan bagi kaum muda untuk menjadi dirinya sendiri dan mewakili kelompok usianya.
Selain itu, lanjutnya, parpol memiliki ”daftar antrean” yang harus ditaati oleh kaum muda. Saat bergabung dan berpartisipasi dalam parpol, kaum muda perlu menunggu hingga waktu tertentu untuk terlibat lebih jauh dalam pengambilan keputusan. Kalaupun ada kaum muda terlibat aktif di dalam partai, itu pada umumnya masih terbatas pada kalangan anak pengusaha ataupun kerabat dari petinggi parpol.
Minimnya keterlibatan kaum muda merupakan akibat dari pemilu yang kompetitif. Kondisi ini menguntungkan politisi senior dan petahana ( incumbent).
Tipisnya peluang kaum muda berperan di partai tergambar pada hasil survei CSIS. Survei itu menunjukkan partisipasi pemilih muda meningkat dari 85,9 persen pada Pemilu 2014 menjadi 91,3 persen di Pemilu 2019. Keinginan pemilih muda untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD, DPD, dan kepala daerah mendekati 15 persen. Akan tetapi, hanya 1,1 persen responden yang menjadi anggota partai atau sayap partai.
Akibat pemilu kompetitif
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandez yang turut hadir di acara itu juga menyampaikan, minimnya keterlibatan kaum muda merupakan akibat dari pemilu yang kompetitif. Kondisi ini menguntungkan politisi senior dan petahana (incumbent). ”Politisi muda cenderung tidak memiliki modal. Jejaring sosial dan pengalaman yang masih rendah,” tuturnya.
Padahal, perkembangan zaman menuntut adaptasi yang cepat dari pengambil kebijakan. Hal itu di antaranya kecerdasan buatan, perubahan iklim, dan perkembangan media sosial. Karena itu, peran kaum muda juga dibutuhkan.
Parpol perlu memerhatikan perubahan ini dan memberi ruang bagi kaum muda untuk berpartisipasi. Ruang ini, kata Arya, dapat berupa bantuan pendanaan dalam pencalonan, kuota anggota kaum muda, dan hal lainnya.
Ruang yang diberikan parpol juga akan meningkatkan minat dan kans atau peluang politisi muda untuk terpilih. Saat terpilih, mereka dapat melanjutkan agenda dan kepentingan kaum muda lainnya.
Ruang yang diberikan parpol juga akan meningkatkan minat dan kans atau peluang politisi muda untuk terpilih.
Di kesempatan itu, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak juga menyampaikan, pemerintah perlu menunjukkan kehadiran mereka pada kaum muda. Kehadiran itu dapat ditunjukkan melalui pemenuhan kebutuhan serta kepentingan kaum muda. ”Setelah negara hadir, secara otomatis keinginan kaum muda untuk berpartisipasi akan meningkat,” ujarnya.
Ketidakmampuan negara, lanjutnya, membuktikan eksistensinya pada kaum muda dapat memicu politik pragmatis. Nilai pragmatis akan dimunculkan kaum muda dalam bentuk moneter ataupun sikap acuh tak acuh.
Kaum muda dapat memilih pemimpin atau perwakilan mereka berdasarkan bantuan keuangan yang diberikan. Lebih jauh, mereka dapat memilih calon berdasarkan tingkat kelucuannya. Padahal, calon terpilih nantinya akan bertanggung jawab dalam kebijakan infrastruktur, kesehatan, lapangan pekerjaan, dan hal kenegaraan lainnya.