Pembahasan RUU Perampasan Aset Masih Terkatung-katung
DPR belum juga mengagendakan pembahasan RUU Perampasan Aset. Pandangan bahwa regulasi itu belum tentu dapat menyelesaikan persoalan korupsi menjadi salah satu alasan DPR.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ilustrasi. Papan sita aset terpasang di tanah yang berhasil disita negara dalam kasus BLBI, di Lebak Bulus, Jakarta, Jumat (10/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2023, Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Perampasan Aset belum juga dibahas. Dewan Perwakilan Rakyat belum juga menjadwalkan pembahasan karena menilai regulasi tentang perampasan aset tersebut belum tentu menjadi jawaban atas sejumlah permasalahan dalam penegakan hukum, termasuk korupsi dan temuan harta kekayaan tak wajar penyelenggara negara.
Argumentasi tersebut disayangkan oleh masyarakat sipil karena keberadaan RUU Perampasan Aset kian mendesak di tengah menurunnya indeks persepsi korupsi di Indonesia. Apalagi, belakangan menyeruak sejumlah kasus kepemilikan harta aparatur sipil negara yang tak sesuai dengan profil jabatannya.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, saat ditemui seusai Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan IV Tahun 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/3/2023), mengungkapkan, belum bisa memastikan kapan DPR akan mengagendakan pembahasan RUU Perampasan Aset karena sejumlah agenda lain yang juga harus dikerjakan.
”Ya nanti kalau RUU Perampasan Aset, kami lihat karena agenda di masa sidang ini, kan, padat sekali,” katanya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR 2019-2024
Politikus Partai Gerindra itu mengaku belum bisa bicara banyak terkait RUU perampasan aset, termasuk dugaan sejumlah kalangan bahwa draf regulasi tersebut tak kunjung dibahas karena adanya kekhawatiran akan menjadi bumerang bagi harta kekayaan pejabat. Sebab, sampai saat ini, ia belum memeriksa naskah akademik dan draf RUU Perampasan Aset.
”Terlalu dini jika kita bicara soal kekhawatiran, tetapi yang pasti semua UU yang masuk ke dalam prolegnas tentunya akan kita bahas sesuai dengan skala prioritas,” ujar Dasco.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menambahkan, Komisi III masih menunggu penugasan dari pimpinan DPR untuk membahas RUU tersebut. Menurut dia, RUU Perampasan Aset perlu dibahas untuk memperkuat rezim hukum nasional dalam memberantas tindak kejahatan yang merugikan negara. Kejahatan yang dimaksud tidak hanya terkait tindak pidana korupsi, tetapi juga tindak pidana lainnya.
Kehadiran UU Perampasan Aset juga tidak bisa serta merta menyelesaikan persoalan kekayaan tidak wajar aparatur negara yang terungkap beberapa waktu belakangan. Dibutuhkan terobosan lain seperti revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan memasukkan pasal tentang penambahkan kekayaan secara tidak sah.
Arsul menjelaskan, kehadiran UU Perampasan Aset akan memberikan landasan hukum yang lebih baik dalam penegakan hukum. Akan tetapi, keberadaan regulasi itu tidak serta merta menyelesaikan persoalan perampasan aset dari pelaku tindak pidana.
Selama ini, Arsul melihat masih ada kecenderungan pembatasan penyelesaian kasus. Penegak hukum masih bersikap setengah-setengah atau tebang pilih, sehingga proses hukum tidak dijalankan secara optimal. ”Jika proses hukum itu dilimitasi alias masih tebang pilih, ya, jangan berharap terlalu banyak juga meski dibuat UU Perampasan Aset,” ujarnya.
Arsul menambahkan, kehadiran UU Perampasan Aset juga tidak bisa serta-merta menyelesaikan persoalan kekayaan tidak wajar aparatur negara yang terungkap beberapa waktu belakangan. Dibutuhkan terobosan lain, seperti revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan memasukkan pasal tentang penambahkan kekayaan secara tidak sah.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, mengatakan, RUU Perampasan Aset tidak bisa menyelesaikan persoalan tindak pidana korupsi atau temuan harta kekayaan pejabat yang tidak wajar. Menurut dia, RUU tersebut berfungsi pada bagian akhir, yakni ketika tindak pidana korupsi sudah terjadi. Persoalan yang lebih besar adalah adanya peluang dan kekuasaan yang besar sehingga menyebabkan seseorang berperilaku korup.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman
”Kalau perampasan aset, pembuktian terbalik, inspektorat, itu ada di ujung. Tidak selesai mau perampasan aset segala macam. Kalau seseorang bisa memanipulasi harta hasil korupsinya sebagai harta putih macam-macam tekniknya banyak, ya, bisa lolos juga. Jadi tidak cukup,” kata Habiburokhman.
Urgensi RUU Perampasan Aset kembali disuarakan sejumlah pihak seiring dengan kemunculan aparatur negara dengan penambahan harta kekayaan yang tidak wajar. Namun, selama ini penelusuran ketidakwajaran harta aparat melalui laporan harta kekayaan penyelenggara negara belum optimal.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), misalnya, telah mengendus adanya transaksi mencurigakan senilai Rp 300 triliun yang bergerak di Kementerian Keuangan. Transaksi itu terdiri atas 200 laporan dan diduga melibatkan 460 orang di Kemenkeu. Namun, laporan yang sudah disampaikan PPATK kepada Kemenkeu itu tidak memperoleh respons.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mural tentang hukuman untuk koruptor tergambar di Keranggan, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (9/3/2023).
Selain itu, keberadaan RUU Perampasan Aset kian mendesak seiring dengan merosotnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia. Berdasarkan data Transparency International Indonesia, pada 2022 Indonesia mencatatkan skor IPK sebesar 34, menurun dari capaian tahun sebelumnya, yakni 38. Skor itu menempatkan Indonesia pada peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Penurunan pun menjadi yang tertinggi sejak 1995. Dalam konteks tersebut, penegak hukum dinilai tidak hanya perlu mengejar koruptor, tetapi juga mengembalikan aset koruptor kepada negara.
Dihubungi terpisah, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan, bola pembahasan RUU Perampasan Aset sebenarnya berada di pemerintah. Sebab, hingga saat ini pemerintah belum menyerahkan surat presiden (surpres) terkait pembahasan RUU tersebut kepada piminan DPR. ”Pemerintah lamban menangani masalah surpres, ini perlu ditanyakan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia apa alasannya belum dikirim,” katanya.
Lalola menambahkan, terkuaknya kekayaan tidak wajar sejumlah pegawai Kementerian Keuangan semestinya menjadi momentum untuk mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset. Dengan peristiwa tersebut tidak ada alasan lagi pemerintah dan DPR menunda pembahasan.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Peneliti ICW, Lalola Easter.
Untuk memaksimalkan regulasi yang ada dalam konteks perampasan aset, lanjutnya, sebenarnya penegak hukum bisa menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Akan tetapi, regulasi tersebut terbatas karena mensyaratkan sejumlah jenis tindak pidana asal. Penegak hukum tidak bisa bertindak jika tindak pidana asalnya belum diketahui. Oleh karena itu, RUU Perampasan Aset tetap penting untuk segera dibahas. Publik lebih bisa mengawal substansinya jika sudah dibahas oleh pemerintah dan DPR.