DPR memberi perhatian serius pada upaya hukum terhadap putusan PN Jakarta Pusat terkait penundaan pemilu. Memasuki masa persidangan IV 2022/2023 ini, DPR juga akan menetapkan Perppu Pemilu menjadi undang-undang.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·2 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/3/2023). Rapat paripurna ke-18 masa persidangan IV tahun sidang 2022-2023 ini diikuti 49 anggota DPR yang hadir secara fisik dan 222 orang melalui daring. Agenda rapat paripurna adalah pembacaan pidato Ketua DPR.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat berkomitmen memberikan perhatian serius terhadap proses hukum atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu 2024. Untuk memberikan kepastian hukum penyelenggaraan pemilu, DPR juga akan menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang pemilu pada masa sidang ini.
Wacana penundaan Pemilu 2024 yang kembali mengemuka setelah munculnya putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) itu menuai kritik berbagai pihak, tidak terkecuali DPR. Pasalnya, dalam putusan tersebut, majelis hakim PN Jakarta Pusat menyebutkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan perbuatan melanggar hukum terkait tidak lolosnya Prima sebagai peserta pemilu.
Oleh karena itu, majelis hakim memerintahkan KPU untuk tidak menyelenggarakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan dibacakan, 2 Maret 2023. Dalam putusan itu, majelis hakim juga memerintahkan KPU agar melaksanakan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Ketua DPR Puan Maharani lewat teks pidatonya yang dibacakan oleh Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus dalam rapat paripurna pembukaan masa persidangan IV tahun sidang 2022—2023 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/3/2023), menyampaikan bahwa putusan PN Jakarta Pusat untuk menunda pemilu telah menimbulkan perdebatan konstitusional dan membutuhkan penyikapan politik hukum agar konstitusi tetap dipatuhi. Pasal 22E UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa pemilu harus diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus (kanan) membacakan pidato Ketua DPR Puan Maharani yang berhalangan hadir dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/3/2023). Rapat paripurna ke-18 masa persidangan IV tahun sidang 2022-2023 ini diikuti 49 anggota DPR yang hadir secara fisik dan 222 orang melalui daring. Agenda rapat paripurna adalah pembacaan pidato Ketua DPR.
Perlu politik hukum
Untuk itu, diperlukan politik hukum yang sungguh-sungguh dalam menyikapi putusan tersebut. DPR pun mengapresiasi langkah KPU yang mengajukan banding terhadap putusan PN Jakarta Pusat. Itu merupakan upaya untuk mendapatkan kepastian hukum yang sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
”DPR RI akan memberikan perhatian yang serius pada penuntasan kepastian hukum permasalahan ini agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan eksekutif dan legislatif,” kata Lodewijk dari Fraksi Partai Golkar ini saat membacakan pidato Puan.
DPR juga akan memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya imbas pembentukan daerah otonom baru di Papua.
Dalam konteks legislasi, lanjutnya, DPR juga akan memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya imbas pembentukan daerah otonom baru di Papua. Kepastian hukum dimaksud dilakukan dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi undang-undang pada masa persidangan ini.
Pada Jumat pekan lalu, KPU telah secara resmi mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu. Banding itu diajukan Kepala Biro Advokasi Hukum dan Penyelesaian Sengketa KPU Andi Krisna kepada PN Jakarta Pusat. Pengajuan banding itu disampaikan enam hari lebih awal daripada batas akhir pada 16 Maret.
Selain itu, Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) juga membentuk tim untuk memeriksa putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat atas gugatan perdata Prima yang memerintahkan penundaan tahapan pemilu.
Juru Bicara MA Suharto mengatakan, tim akan menginvestigasi putusan yang dikeluarkan PN Jakarta Pusat pada 2 Maret tersebut. Investigasi itu untuk mengungkap ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat itu. ”Jika ada pelanggaran, tingkat kesalahannya dapat dijatuhi hukuman ringan, sedang, atau berat. Regulasinya berupa peraturan bersama MA dan KY (Komisi Yudisial),” ujarnya (Kompas, 11/3/2023).