Dugaan Harta Tak Wajar Jadi Pintu Masuk Pengusutan Pencucian Uang
Sejumlah peneliti dan aktivis antikorupsi menyampaikan, ada sejumlah strategi yang dapat ditempuh KPK untuk menangani kasus pencucian uang dari kekayaan tidak wajar pejabat negara tanpa melulu terpaku pada pidana asal.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo (tengah) berjalan menuju mobil setelah selesai diperiksa di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (1/3/2023). Ia diperiksa sekitar delapan jam. KPK mengklarifikasi informasi seputar enam perusahaan yang dimiliki Rafael yang dilaporkan dalam bentuk kepemilikan surat berharga dengan nominal Rp 1,55 miliar.
JAKARTA, KOMPAS — Kekayaan yang tidak wajar berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atau LHKPN dinilai dapat menjadi pintu masuk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membangun konstruksi hukum terhadap bekas pegawai pajak Rafael Alun Trisambodo. Dari situ, aparat penegak hukum mengembangkannya dengan mencari tindak pidana asal.
Sesuai dengan data LHKPN, Rafael disebutkan memiliki kekayaan hingga Rp 56,1 miliar. PPATK juga menemukan uang tunai dalam bentuk mata uang asing di dalam safe deposit box (SDB) atau kotak penyimpanan harta di salah satu bank BUMN senilai Rp 37 miliar.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, dihubungi Minggu (12/3/2023), berpandangan, kekayaan Rafael berdasarkan LHKPN yang tidak wajar dapat menjadi pintu masuk penyelidikan. Demikian pula temuan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga dapat menjadi pintu masuk bagi KPK untuk mencari dugaan suap atau gratifikasi yang dilakukan Rafael serta dilanjutkan dengan dugaan pencucian uang.
Alvin mengatakan, Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2014 tentang pengujian Pasal 69 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sudah jelas menyatakan bahwa tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan. Namun, menurut Alvin, pada praktiknya tindak pidana pencucian uang justru sering digabung dengan tindak pidana asal dengan alasan efisiensi administrasi perkara.
”Karena kerangka pidana pencucian uang adalah mengikuti tindak pidananya. Jadi sulit membayangkan cuci uang, tapi tidak ada predicate crime-nya (tindak pidana pokok). Salah satu peluangnya, bisa jadi aparat penegak hukum membuktikan sebagian tindak pidana asalnya, kemudian sisanya menggunakan ’pembuktian terbalik’,” kata Alvin.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Para pembicara dalam konferensi pers berbincang sebelum meninggalkan ruangan di Gedung Radius Prawiro, Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (1/3/2023). Kementerian Keuangan menggelar konferensi pers terkait kasus harta kekayaan bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo serta pejabat eselon III Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Eko Darmanto. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyampaikan, Kementerian Keuangan menolak pengunduran diri Rafael Alun Trisambodo sebagai aparatur sipil negara dan akan segera mencopot Eko Darmanto dari jabatannya.
Keterbatasan instrumen hukum itu, ujar Alvin, diharapkan menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum agar Rafael tidak lolos dari jerat hukum. Untuk itu, aparat penegak hukum diharapkan kreatif untuk mengatasi keterbatasan tersebut.
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman berpandangan, jika aparat penegak hukum tidak menemukan asal-usul suap atau gratifikasi, maka KPK bisa saja hanya mengenakan pasal pencucian uang tanpa ada perkara pokok atau tindak pidana asal. Konstruksi hukum semacam itu pernah terjadi dalam sebuah kasus pembobolan bank di Tegal, Jawa Tengah.
Meski demikian, lanjut Boyamin, KPK juga bisa mengenakan Pasal 11 UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang ancaman pidana bagi pegawai negeri yang menerima hadiah. Sementara pada Pasal 12C dalam UU yang sama, diatur bahwa gratifikasi harus dilaporkan paling lambat 30 hari kerja sejak diterima. Jika tidak bisa membuktikan harta tersebut dari sumber yang sah, patut diduga yang bersangkutan memperdagangkan pengaruh.
”Di dalam hukum dikenal adanya peristiwa hukum berupa melakukan yang tidak boleh dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan atau istilahnya pembiaran. Itu bisa kemudian dikonstruksikan dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jadi, tidak harus semata (dikenakan) pasal suap,” ujar Boyamin.
Melalui peraturan perundang-undangan yang tersedia, menurut Boyamin, tidak ada lagi alasan bagi KPK untuk tidak memproses hukum Rafael. Kini, lanjut dia, hanya tinggal kemauan KPK untuk melakukannya.
Sementara itu, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, ketika dikonfirmasi, mengatakan, saat ini proses hukum terhadap Rafael telah masuk tahap penyelidikan. Bersamaan dengan itu, proses klarifikasi masih dilakukan. ”Kami sedang bekerja, termasuk berkoordinasi dengan lembaga lain, dalam rangka pengumpulan bahan keterangan sehingga bisa mengungkap apakah ada indikasi pidana yang menjadi kewenangan KPK,” kata Ali.
Menurut Ali, substansi perkara tersebut tidak bisa disampaikan kepada publik. Sebab, hal itu merupakan bagian dari strategi penyidik dalam mengungkapkan kasus tersebut.
KOMPAS/NINA SUSILO
Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Sosial Tri Rismaharini keluar dari Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (2/3/2023), seusai rapat tertutup terkait bantuan sosial beras. Sri Mulyani segera masuk mobilnya ketika wartawan menanyainya mengenai kasus Rafael Alun Trisambodo.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, di dalam akun media sosial Facebook-nya, menyatakan, pihaknya belum pernah menerima data dari PPATK tentang transaksi mencurigakan yang berjumlah sampai Rp 300 triliun di lingkungan Kemenkeu. Sri Mulyani menyatakan, informasi yang disampaikan PPATK kepada Kementerian Keuangan tidak sama dengan informasi yang disampaikan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD serta aparat penegak hukum.
”Pak Ivan Kepala PPATK perlu menjelaskan data tersebut ke masyarakat agar tidak simpang siur,” demikian pernyataan Sri Mulyani.
Ketika dikonfirmasi, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, data tentang transaksi mencurigakan yang berjumlah sampai Rp 300 triliun di lingkungan Kemenkeu tersebut terkait dengan data yang sudah disampaikan kepada Kemenkeu. Menurut Ivan, terdapat hampir 200 Informasi Hasil Analisis (IHA) yang telah disampaikan PPATK kepada Kemenkeu pada 2009-2023.
Terkait dengan permintaan Sri Mulyani agar PPATK menjelaskan tentang informasi tersebut, Ivan mengatakan, PPATK bersama Inspektorat Jenderal Kemenkeu akan mendiskusikan langkah yang tepat dan efektif terhadap dokumen yang telah diserahkan oleh PPATK kepada Kemenkeu. Hal itu sekaligus akan memperkuat kerja sama di antara kedua institusi. ”PPATK dan Itjen Kemenkeu selalu melakukan langkah kolaboratif yang efektif untuk penanganan seluruh data yang ada,” ujar Ivan.