KY Masih Periksa Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Hakim PN Jakpus
Komisi Yudisial masih memverifikasi tiga laporan yang masuk untuk mengecek kelengkapan persyaratan secara formil dan materiil. Jika memenuhi syarat, baru dilanjutkan ke tahap pemeriksaan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial telah menerima tiga laporan dugaan pelanggaran etik majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memutus penundaan pemilu. Saat ini, seluruh laporan masih dicek apakah memenuhi persyaratan formil dan materiil.
Sejak Senin (6/3/2023), Komisi Yudisial (KY) menerima laporan dugaan pelanggaran etik majelis hakim PN Jakpus yang dipimpin Tengku Oyong, serta hakim anggota H Bakri dan Dominggus Silaban. Laporan dilayangkan oleh Kolisi Masyarakat untuk Pemilu Bersih, Kongres Pemuda Indonesia (KPI), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
”Mengacu pada Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penanganan Laporan Masyarakat, tahapan awal adalah verifikasi terhadap laporan, untuk mengecek kelengkapan secara formil dan materiil,” kata Juru Bicara KY Miko Ginting, Kamis (9/3/2023).
Dalam tahap verifikasi, biasanya ada perbaikan berkas oleh pelapor agar laporan memenuhi syarat. Setelah laporan lengkap dan memenuhi syarat, baru KY akan membawa ke sidang panel untuk menentukan laporan bisa ditindaklanjuti atau tidak. ”Jika kesimpulannya dapat ditindaklanjuti, dilakukan pemeriksaan. Baik bagi pelapor, saksi, dan terakhir terlapor. Pemanggilan dalam konteks pemeriksaan akan dilakukan pada tahap ini,” tambah Miko.
Miko belum bisa memastikan kapan hasil pemeriksaan itu akan tuntas. Sebab, laporan masih diteliti dalam tahapan awal.
Jika hasil pemeriksaan berlanjut, hasilnya akan dibawa ke sidang pleno. Jika hakim terbukti bersalah, KY akan menjatuhkan sanksi sesuai aturan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Jika tidak terbukti, nama baiknya akan dipulihkan oleh KY.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat berkunjung ke kantor redaksi harian Kompas, Selasa (7/3/2023), mengungkapkan, terkait dengan putusan penundaan pemilu dari PN Jakpus atas gugatan perdata Partai Prima, Presiden memerintahkan agar tahapan Pemilu 2024 tetap harus berjalan.
Secara politis, putusan itu memang mengagetkan karena partai kecil yang tidak dikenal memenangi gugatannya dan dikabulkan petitumnya oleh pengadilan. Bahkan, banyak yang mengira putusan itu adalah operasi dari pemerintah. Anggapan itu langsung dibantah oleh Mahfud, bahwa pemerintah tidak melakukan operasi tersebut. ”Malamnya (setelah putusan), Ibu Mega (Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P) marah betul (dengan putusan itu),” katanya.
Mahfud juga menegaskan bahwa putusan itu harus dilawan karena pengadilan negeri tidak berwenang memutus penundaan pemilu. Itu adalah kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Selain itu, keanehan juga terlihat dari gugatan perdata, tetapi sanksi yang dijatuhkan berupa tata usaha negara. Jika memang pengadilan ingin membuat sengketa perdata, seharusnya sanksinya berupa denda kepada Komisi Pemilihan Umum.
”Saya optimistis tidak ada penundaan pemilu. Kalau dikabulkan lagi (di tingkat banding) paling ada kompromi. Pengadilan meminta KPU agar mendahulukan Partai Prima tanpa syarat verifikasi administrasi, mungkin saja begitu. Kalau sampai menunda pemilu seluruhnya, saya rasa tidak,” tegasnya.
Sebelumnya, majelis hakim PN Jakpus memutuskan menerima seluruh gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Partai itu mengajukan gugatan karena tidak lolos dalam verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024.
Majelis hakim dalam putusannya menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan perbuatan melawan hukum dan diperintahkan membayar ganti rugi materiil Rp 500 juta. Selain itu, KPU dihukum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan pada 2 Maret 2022 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. Putusan ini otomatis membuat Pemilu 2024 harus ditunda.