Menuju Pemilu 2024, Pentingnya Penguatan Kepemimpinan Perempuan Disuarakan
Ekosistem politik dinilai masih tidak ramah bagi perempuan.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·2 menit baca
AYU OCTAVI ANJANI
Forum Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (7/3/2023)
JAKARTA, KOMPAS – Menuju Pemilu 2024, sejumlah pihak mendorong penguatan kepemimpinan perempuan. Memberi ruang yang lebih besar bagi perempuan dalam pengambilan kebijakan dapat mencegah lahirnya kebijakan-kebijakan yang memarginalisasi perempuan.
"Kepemimpinan perempuan sangat penting. Bagaimana mereka dapat menciptakan program-program yang tidak meminggirkan perempuan. Di sisi lain, kami berupaya melakukan gerakan ke arah pendidikan untuk mendorong perempuan memimpin di politik," ucap pengamat kesetaraan gender dari Universitas Indonesia sekaligus anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Iklilah Muzayyanah Dini dalam forum pembahasan hasil KUPI, di Jakarta, Selasa (7/3/2022).
KUPI-2 telah diselenggarakan selama dua hari di Jepara, Jawa Tengah, pada 24-26 November 2022. Salah satu yang diangkat saat kongres adalah soal pentingnya penguatan keterlibatan perempuan di ranah politik.
Marginalisasi perempuan dalam berbagai kegiatan sosial dan politik dinilai masih terjadi hingga kini karena perempuan dianggap lemah dan tidak memiliki kekuatan untuk memimpin. Oleh karena itu, KUPI berupaya terlibat dalam pendidikan politik, khususnya bagi kepemimpinan perempuan.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)-2 di Pondok Pesantren Hasyim Asyari, Jepara, Jawa Tengah resmi ditutup, Sabtu (26/11/2022) dan melahirkan delapan rekomendasi atau fatwa KUPI.
Selain itu, hasil kongres KUPI diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan para pihak berkepentingan yang akan menjadi pemimpin di ranah struktural atau kultural. Para pemimpin diharapkan dapat memiliki perspektif gender serta keberpihakan pada perempuan dan kelompok yang rentan diskriminasi.
Lebih jauh, penguatan peran perempuan dalam dunia politik dinilai penting karena berkontribusi pada lahirnya kebijakan-kebijakan yang bisa memberdayakan dan juga melindungi perempuan. Salah satu contohnya, lahirnya Undang-Undang (UU) Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Persoalannya saat ini, persentase keterlibatan perempuan di ranah politik masih rendah.
"Saat ini keterlibatan perempuan di sektor politik masih sebesar 21 persen di DPR dari total target minimal 30 persen, padahal 50 persen penduduk Indonesia adalah perempuan. Oleh karena itu, kita perlu mendorong mereka terus maju di politik," tutur Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen Luluk Nur Hamidah saat dihubungi, Selasa.
DIAN DEWI PURNAMASARI
Perwakilan anak-anak muda mendiskusikan permasalahan yang ditemui di sekitar mereka dalam acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI-2) di Pondok Pesantren Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (26/11/2022).
Indonesia, lanjut Luluk, bahkan perlu meningkatkan representasi perempuan di DPR hingga 50 persen pada 2030. Yang juga penting, meningkatkan indeks kesetaraan dan keadilan gender di bidang politik yang disebutnya masih rendah.
Untuk bisa merealisasikan lebih besar representasi perempuan di DPR, Luluk berharap partai politik mencalonkan banyak calon anggota legislatif perempuan. Namun tak semata mengejar target, penting pula agar para kandidat ini punya kualitas atau partai meningkatkan kapasitasnya sehingga kelak jika terpilih, lahir pemimpin-pemimpin perempuan yang berkualitas.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI Bintang Puspayoga, dalam siaran pers, Kamis (7/12/2022), menyatakan partai politik berfungsi mengajak perempuan yang berpotensi aktif menyampaikan aspirasinya dan merumuskan kebijakan yang berpihak kepada perempuan di bawah payung kesetaraan.
Ketua Majelis Musyawarah KUPI Badriyah Fayumi, menyebut, gerak perempuan di ranah politik masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya, perempuan masih sulit mendapatkan ruang setara dengan laki-laki. Ekosistem politik dinilainya masih tidak ramah bagi perempuan.