Harga Pupuk Tinggi, Presiden Berencana Bangun Pabrik Pupuk di Papua Barat
Akademisi menilai persoalan kelangkaan pupuk membutuhkan kebijakan simultan secara jangka pendek dan jangka panjang. Pembangunan pabrik pupuk baru pun menjadi salah satu solusi jangka panjang.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketersediaan pupuk masih menjadi kendala di semua negara karena bahan baku terhambat akibat perang Rusia dan Ukraina. Presiden Joko Widodo mengakui bahwa petani masih mengeluhkan harga pupuk yang tinggi. Untuk mengatasi kelangkaan pupuk, pemerintah berencana membangun industri pupuk baru, antara lain di Papua Barat.
”Mengenai pupuk, supaya juga para petani tahu bahwa kesulitan pupuk itu terjadi di semua negara karena suplai bahan bakunya dari Rusia, dari Ukraina, itu mereka baru perang. Sehingga dunia sekarang ini kesulitan pupuk,” ujar Presiden Jokowi ketika meninjau Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Al-Ittifaq di Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (6/3/2023).
Suplai bahan baku pupuk yang kurang ini kemudian diikuti kenaikan harga. ”Kemarin baru saja kita resmikan di Aceh untuk produksi urea dan NPK dari Pupuk Iskandar Muda, tambah kira-kira 500.000 ton. Tetapi, itu juga kurang. Sangat jauh dari cukup,” ujar Kepala Negara.
Untuk memenuhi kelangkaan pupuk ini, pemerintah berencana membuka industri pupuk baru. ”Mungkin tahun ini kita buka lagi industri pupuk di Papua Barat karena gasnya ada di sana. Bahan bakunya ada di sana. Tapi, itu pun nanti sudah dihitung masih juga belum cukup, masih impor,” ucapnya.
Menurut Presiden Jokowi, hingga saat ini banyak bahan baku yang memang masih harus diimpor. ”Sehingga kesulitan-kesulitan yang tadi disampaikan, selalu saya kalau ke desa ke petani mesti keluhannya yang pertama pasti selalu pupuk. Dan, memang benar itu bukan barang yang gampang sekarang ini bahan bakunya dicari,” kata Presiden Jokowi.
Mungkin tahun ini kita buka lagi industri pupuk di Papua Barat karena gasnya ada di sana. Bahan bakunya ada di sana. Tapi, itu pun nanti sudah dihitung masih juga belum cukup, masih impor.
Selain itu, Presiden Jokowi juga berharap agar petani mulai menggunakan pupuk organik atau pupuk kandang. Dihubungi terpisah, pengajar Program Studi Ekonomi Pertanian dan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Gilang Wirakusuma, menegaskan, persoalan kelangkaan pupuk membutuhkan kebijakan simultan secara jangka pendek dan jangka panjang. Pembangunan pabrik pupuk baru menjadi salah satu solusi jangka panjang.
Namun, pembangunan pabrik pupuk sintetis ini harus diimbangi dengan alternatif produksi pupuk hayati atau pupuk organik. ”Kalau Presiden punya inisiatif untuk mendirikan pabrik itu solusi jangka panjang, jangka pendeknya tentunya bagaimana memberdayakan petani dan membekali petani untuk menambah unsur hara secara mandiri, alternatif dari pupuk pabrik,” ujar Gilang, Senin (6/3/2023).
Lahan kita sedang sakit, dari produktivitas stagnan, walaupun banyak. Pupuk masih menempati urutan nomor dua untuk komponen biaya, setelah tenaga kerja. Biaya tinggi karena ketergantungan pupuk pabrik.
Salah satu solusi pengadaan pupuk alternatif bisa dilakukan dengan membangun pabrik pupuk dari bahan biomassa secara beriringan dengan pabrik pupuk sintentis. ”Lahan kita sedang sakit, dari produktivitas stagnan, walaupun banyak. Pupuk masih menempati urutan nomor dua untuk komponen biaya, setelah tenaga kerja. Biaya tinggi karena ketergantungan pupuk pabrik,” ucapnya.
Saat ini, 40-60 persen bahan baku pupuk, seperti urea, masih impor. ”Kalau kita bicara tentang kecukupan dan keberlanjutan, menurut saya harus secara simultan disiapkan juga bahan alternatif pupuk organik hayati atau berbahan biomassa. Karena tidak semua petani itu terjangkau oleh produk pupuk industri,” ucapnya.
Di sisi lain, pemerintah diharapkan terus mengalokasikan pupuk bersubsidi. Apalagi, data sensus menunjukkan bahwa pendapatan dari mayoritas petani yang disubsidi masih di bawah biaya yang dikeluarkan. ”Artinya, secara finansial petani memang membutuhkan insentif itu,” katanya.
Musim panen
Seusai meninjau Kopontren Al-Ittifaq menuju Kota Bandung, Presiden Jokowi juga sempat turun dari mobil dan berbincang dengan petani yang sedang memanen padi di Jalan Lingkar Baru Soreang. Presiden Jokowi menyebut bahwa harga gabah kering yang diungkapkan oleh petani berada di angka Rp 6.000 per kilogram
Ya, baik dong kalau Rp 6.000, hanya dikejar oleh harga pupuk yang tinggi yang dikeluhkan.
Mendengar hal itu, Presiden menilai harga tersebut masih tergolong baik. ”Ya, baik dong kalau Rp 6.000, hanya dikejar oleh harga pupuk yang tinggi yang dikeluhkan,” ucapnya.
Selain soal harga gabah, petani juga menyampaikan aspirasinya soal kesulitan mereka dalam mendapatkan pupuk. Seorang petani, Ani, misalnya, menilai harga pupuk saat ini masih tergolong mahal. ”Pupuknya susah, baru-baru sekarang ada lagi, lagi mahal pupuknya,” ucap Ani.
Ketika ditanya oleh wartawan terkait kebijakan impor pada masa panen raya padi, Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebijakan impor beras dilakukan ketika tidak ada suplai. ”Ya, kan belum ini kan baru panen raya. Impor itu kalau pas enggak ada suplai, enggak ada panen,” ujarnya.
Pada saat meninjau area pertanian Pesantren Al-Ittifaq, Presiden sempat mengapresiasi model bisnis yang diterapkan dalam mengelola hasil pertanian. ”Perencanaan yang dilakukan di Pondok Pesantren Al-Ittifaq ini betul-betul sangat baik dan bisa dijadikan contoh, bisa dijadikan role model, bisa dijadikan model bisnis yang tinggal difotokopi saja,” ujar Presiden.
Presiden pun mendorong pondok pesantren di seluruh Indonesia untuk mengadopsi model bisnis yang diterapkan Ponpes Al-Ittifaq dalam mengelola hasil pertanian. Menurut Presiden, Al-Ittifaq juga dapat dijadikan induk dalam bisnis pertanian. ”Dari Solo Raya fotokopi, dari Riau fotokopi, dari Jawa Timur fotokopi, dari Lampung fotokopi, induknya, holding-nya sementara Al-Ittifaq,” kata Presiden.
Meski dinilai berhasil, Ponpes Al-Ittifaq juga masih menemui kesulitan-kesulitan teknis di lapangan. Presiden meminta berbagai pihak untuk turut membantu menyelesaikan problem yang dihadapi ponpes.
”Saya minta tadi kesulitan-kesulitan yang ada ini nanti BI mohon bisa bantu. Medco, Pak Helmi juga tolong bisa bantu, Pak Menteri UKM juga pembiayaan bisa dibantu sehingga makin semuanya berkembang dan model bisnisnya sama seperti yang saya lihat tadi,” ujar Presiden.
Peninjauan dimulai dari gudang penyortiran produk tani (warehouse), area tanam, hingga rumah kaca (greenhouse) yang ditanami berbagai komoditas, seperti jeruk dekopon, melon, stroberi, hingga sayuran hijau. Presiden juga melihat percontohan ternak domba dan ayam yang ada di Kopontren Al-Ittifaq. Presiden sempat memetik jeruk dekopon dan buah tin di salah satu rumah kaca.
Turut mendampingi Presiden dan Ibu Iriana dalam peninjauan tersebut, yaitu Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum, Bupati Bandung Dadang Supriatna, serta Peimpin Ponpes Al-Ittifaq KH Dandan Mudawarul Fallah.