MA: Masih Ada Banding terhadap Putusan PN Jakarta Pusat
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah. MA menilai masih ada proses banding untuk mempersoalkan putusan itu.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung menyatakan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum Komisi Pemilihan Umum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Masih ada proses banding yang dapat ditempuh sebagai bagian dari upaya hukum untuk mempersoalkan putusan PN Jakarta Pusat tersebut.
MA meminta semua pihak untuk menunggu proses banding yang mungkin akan diajukan dalam perkara tersebut.
”Putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap karena sangat mungkin ada pihak yang mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi. Maka, paling bijak yang kita tunggu proses bandingnya,” ujar Suharto.
Sebelumnya, tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus perkara gugatan perbuatan melawan hukum dengan nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Majelis hakim tersebut mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dan menghukum Komisi Pemilihan Umum selaku tergugat dengan ganti rugi Rp 500 juta. Majelis hakim juga menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan pada 2 Maret 2023 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Baca Juga: Pemerintah Minta KPU Tetap Laksanakan Pemilu Sesuai Jadwal 14 Februari 2024
”Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad),” demikian petikan amar putusan PN Jakarta Pusat. Perkara tersebut diputus oleh majelis hakim yang terdiri dari T Oyong selaku ketua serta Bakri dan Dominggus Silaban selaku hakim anggota.
Putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap karena sangat mungkin ada pihak yang mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi. Maka, paling bijak yang kita tunggu proses bandingnya.
Sangat aneh
Pakar hukum administrasi negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menilai, putusan PN Jakarta Pusat sangat aneh. Secara keperdataan, putusan PN seharusnya hanya mengembalikan hak keperdataan penggugat dalam hal ini Partai Prima.
Selain itu, perintah penundaan pemilu bukan merupakan kompetensi dari peradilan perdata. ”Makanya, harusnya bukan kewenangan pengadilan negeri. Ada Bawaslu dan ada PTUN (pengadilan tata usaha negara) yang berkaitan dengan proses pemilu dan surat keputusan yang berkaitan dengan jadwal (pemilu),” tutur Zainal.
Makanya, harusnya bukan kewenangan pengadilan negeri. Ada Bawaslu dan ada PTUN yang berkaitan dengan proses pemilu dan surat keputusan yang berkaitan dengan jadwal (pemilu).
Ia berharap KPU mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan PN Jakarta Pusat. ”Dan, negara harus serius untuk yang kasus begini. Pengawasan hakim yang berani (bertindak) macam ini juga harus kencang. KY (Komisi Yudisial) dan MA harus periksa,” ujarnya.
Keterlibatan KY dan MA, tambahnya, penting untuk mendalami kemungkinan adanya faktor lain selain teknis yudisial sehingga hakim sampai pada kesimpulan tersebut.
Akan tetapi, lebih jauh menurut Suharto, hakim tidak bisa dipersalahkan secara kedinasan terkait produk putusannya. Sebab, putusan hakim harus selalu dianggap benar atau sesuai dengan prinsip hukum res judicata pro veritate habetur. ”Hanya saja, dengan adanya upaya hukum, putusan hakim dapat dibatalkan oleh hakim tinggi,” ujarnya.
Sebelumnya, juru bicara KY, Miko Ginting, mengungkapkan, pihaknya akan mendalami putusan PN Jakarta Pusat tersebut untuk melihat apakah ada dugaan pelanggaran perilaku yang terjadi. KY akan memanggil hakim yang memutus perkara gugatan perdata Partai Prima untuk diminta klarifikasi.
”Apabila ada dugaan yang kuat telah terjadi pelanggaran perilaku hakim, KY akan melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang bersangkutan,” ujar Miko. Pihaknya berkomunikasi dengan MA terkait dengan putusan ini dan aspek perilaku hakim terkait.
MA sendiri tidak akan memroses etik terhadap ketiga hakim PN Jakpus yang memenangkan Partai Prima. Saat ditanya apakah MA akan memanggil para hakim untuk diminta keterangan secara etik seperti dugaan unprofessional conduct, Suharto mengatakan bahwa hal tersebut bukan merupakan kewenangan MA. “Soal itu bukan wilayah MA karena yang Anda tanya soal etik, bukan teknis peradilan,” katanya.
Apabila ada dugaan yang kuat telah terjadi pelanggaran perilaku hakim, KY akan melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang bersangkutan.
Sabotase pemilu
Advokat konstitusi, Viktor Santoso Tandiasa, menilai, putusan PN Jakarta Pusat tersebut merupakan bentuk ”sabotase pemilu”.
Menurut dia, perlu dipahami bahwa proses penyelenggaraan pemilu secara konstitusional telah memiliki instrumen dan infrastrukturnya sendiri, mulai dari peraturan perundang-undangan hingga lembaga penyelenggara (KPU); serta pengawas, penyelesaian sengketa proses dan hasil pemilu (Badan Pengawas Pemilu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP), PTUN, MA, dan Mahkamah Konstitusi).
Putusan PN Jakarta Pusat tersebut merupakan bentuk ’sabotase pemilu’.
Viktor memastikan bahwa kewenangan untuk memerintahkan penundaan pemilu bukan kewenangan PN melalui putusan gugatan perbuatan melawan hukum (perdata). Sebab, gugatan perdata diketahui untuk menyelesaikan sengketa di ranah privat, sementara penggugat merupakan badan hukum berupa partai politik dan tergugatnya adalah lembaga KPU.
Persoalan Partai Prima, menurut dia, seharusnya ditangani oleh Bawaslu dan PTUN. Namun, dua jalur tersebut sudah ditempuh. Partai Prima dua kali mengajukan sengketa hasil verifikasi administrasi persyaratan menjadi partai peserta pemilu ke Bawaslu. Sengketa pertama dikabulkan, tetapi setelah diverifikasi ulang tetap dinyatakan tak bisa menjadi parpol peserta pemilu oleh KPU.
Selanjutnya, Partai Prima mengajukan kembali sengketa ke Bawaslu dan ditolak. Partai Prima pun menggugat hasil keputusan KPU terkait penetapan parpol peserta pemilu ke PTUN Jakarta, tetapi juga ditolak.
Berkaitan putusan PN Jakarta Pusat tersebut, Viktor menilai tiga hakim pemutus perkara 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst dapat dinilai telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), khususnya pada poin berdisiplin tinggi, dalam penerapan angka 8.1. Bunyinya: ”Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa kedilan bagi pencari keadilan.”
”Dalam hal ini, majelis hakim tidak menerapkan hukum secara benar, bahkan melanggar batasan kompetensinya dalam memutus kendati untuk dapat memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan,” ujarnya.
Baca Juga: Komisi Yudisial Telusuri Dugaan Pelanggaran Perilaku Hakim PN Jakarta Pusat
Selain kode etik, tiga hakim tersebut juga dinilai melanggar Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Pelanggaran tersebut terjadi, menurut Viktor, ketika hakim memutus untuk menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan. Seperti diketahui, majelis hakim juga menghukum KPU agar melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Dalam hal ini, majelis hakim tidak menerapkan hukum secara benar, bahkan melanggar batasan kompetensinya dalam memutus kendati untuk dapat memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan.
Putusan tersebut, tambah Viktor, tidak memuat pertimbangan hukum yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. Utamanya, terkait kompetensi pengadilan yang memeriksa dan mengadili sengketa partai politik dengan penyelenggara pemilu melalui gugatan perdata.
”Maka, putusan itu dapat dikatakan sebagai bentuk ’sabotase’ pemilu yang dilakukan oleh majelis hakim dengan melanggar kompetensi pengadilan yang akan berdampak pada keamanan negara, stabilitas ekonomi, sosial, politik di Indonesia karena memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya,” paparnya.