Komisi Yudisial Telusuri Dugaan Pelanggaran Perilaku Hakim PN Jakarta Pusat
Komisi Yudisial akan memanggil majelis hakim PN Jakarta Pusat yang memutus perkara gugatan perdata yang diajukan Partai Prima untuk dimintai klarifikasi. KY juga akan berkomunikasi dengan MA terkait putusan tersebut.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Sejumlah kader Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) melaksanakan unjuk rasa di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Kamis (8/12/2022). Mereka menuntut pemerintah mengaudit KPU karena kerjanya dinilai tidak transparan.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial akan mendalami putusan majelis hakimPengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam gugatan perdata yang diajukan Partai Rakyat Adil Makmur atau Prima. Apabila ada dugaan terjadi pelanggaran perilaku hakim, KY akan memeriksa hakim tersebut.
Sebelumnya, majelis hakim PN Jakarta Pusat, yang diketuai T Oyong dengan hakim anggota H Bakri serta Dominggus Silaban, membacakan putusan gugatan perdata Partai Prima, Kamis (2/3/2023). Majelis menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan perbuatan melawan hukum dan diperintahkan membayar ganti rugi materiil Rp 500 juta. KPU juga dihukum agar tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan itu diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari.
Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting mengatakan, KY akan mendalami putusan itu, terutama untuk melihat apakah ada dugaan pelanggaran perilaku yang terjadi. Salah satu bagian dari pendalaman itu adalah dengan memanggil hakim untuk dimintai klarifikasi. Apabila ada dugaan kuat telah terjadi pelanggaran perilaku hakim, KY akan memeriksa hakim yang bersangkutan.
”Terkait dengan substansi putusan, forum yang tepat untuk menguatkan atau mengubah putusan ini adalah melalui upaya hukum. Domain KY berfokus pada aspek dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. KY juga akan berkomunikasi dengan Mahkamah Agung (MA) terkait dengan putusan ini serta aspek perilaku hakim yang terkait,” papar Miko melalui keterangan tertulis, Jumat (3/3/2023).
Terkait dengan substansi putusan, forum yang tepat untuk menguatkan atau mengubah putusan ini adalah melalui upaya hukum. Domain KY berfokus pada aspek dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. KY juga akan berkomunikasi dengan Mahkamah Agung terkait dengan putusan ini serta aspek perilaku hakim yang terkait.
Hakim layak dipecat
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai, hakim tersebut layak dipecat karena tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu. Hakim tersebut juga tidak mampu membedakan urusan privat (perdata) dengan urusan publik.
”Pengadilan perdata harus membatasi diri hanya untuk masalah perdata saja. Sanksi perdata cukup dengan ganti rugi, bukan menunda pemilu yang tegas merupakan kewenangan konstitusional KPU,” kata Jimly.
Ia menjelaskan, apabila ada sengketa tentang proses, yang berwenang adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan pengadilan tata usaha negara (PTUN), bukan pengadilan perdata. Apabila ada sengketa tentang hasil pemilu, yang berwenang adalah MK. Karena itu, sebaiknya putusan PN ini diajukan banding dan apabila perlu sampai kasasi. Ia pun menunggu sampai inkrah.
KOMPAS/RIZA FATHONI (RZF)
Petugas keamanan menutup pintu gerbang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (7/10/2020). PN Jakarta Pusat akan ditutup selama 10 hari ke depan setelah hasil tes cepat Covid-19 61 karyawannya reaktif.
Jimly menegaskan, perpanjangan tahapan bisa berdampak pada penundaan tahapan pemilu yang merupakan kewenangan KPU. Apabila timbul perselisihan mengenai hal itu, ada dua kemungkinan. Jika menyangkut norma aturan, upaya hukum harus judicial review ke MA. Apabila menyangkut proses administrasi tahapan, sengketanya mesti ke Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Seharusnya pengadilan perdata menahan diri tidak ikut campur urusan pemilu.
Pengadilan perdata harus membatasi diri hanya untuk masalah perdata saja. Sanksi perdata cukup dengan ganti rugi, bukan menunda pemilu yang tegas merupakan kewenangan konstitusional KPU.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Jimly Asshiddiqie
”Kalau masalahnya perdata, ya perdata saja. Hakim PN tidak berwenang memerintahkan penundaan pemilu,” kata Jimly.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango pun ikut memberikan respons atas putusan hakim PN Jakarta Pusat tersebut. Nawawi yang pernah menjadi hakim di PN Jakarta Pusat pada 2011 sampai dengan 2013 menuturkan, persoalan ini terjadi karena lemahnya sistem seleksi dalam penempatan hakim di pengadilan-pengadilan khusus, seperti PN Jakarta Pusat.
”Sepantasnya hakim-hakim yang bisa ditempatkan di pengadilan-pengadilan khusus, seperti PN Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Medan, PN Jakarta Selatan, adalah hakim-hakim yang telah mumpuni, memiliki sertifikasi kekhususan, dan tentu saja teruji integritasnya,” kata Nawawi. Menurut Nawawi, ada sekitar 15 PN dengan klasifikasi Kelas 1 A Khusus.
Ia mengungkapkan, penempatan atau pengisian formasi para hakim pada pengadilan dengan klasifikasi Kelas 1 A Khusus harus dilakukan secara teliti dan ketat dari berbagai aspek. Di antaranya, penguasaan ilmu, memiliki sertifikasi hakim khusus, dan integritas yang telah teruji.