Megawati Ingatkan Pentingnya Kolaborasi demi Melindungi HAKI
Elemen proteksi perlu diperkuat dengan kolaborasi demi melindungi hak kekayaan intelektual sehingga dapat meminimalisasi kasus pelanggarannya sekaligus mendorong komersialisasi.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·2 menit baca
Ketua Dewan Pengarah BRINMegawati Soekarnoputri saat sedang memberikan sambutan dalam nota kesepahaman (MoU) antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) di Jakarta Pusat, Rabu (1/3/2023),
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi untuk melindungi kekayaan intelektual demi mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 mendatang dirasakan sangat penting. Perlindungan kekayaan intelektual itu tak hanya bagi penegakan hukum, tetapi juga bagi perekonomian nasional.
Saat penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dan Perjanjaian Kerja Sama antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) di Jakarta Pusat, Rabu (1/3/2023), Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional Megawati Soekarnoputri menyatakan, Indonesia sangat kaya sehinga penting untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
”Sebab, ini sangat bermanfaat dan kita perlu mewujudkan Indonesia Emas di masa depan,” ujarnya.
Menurut Megawati, peran para peneliti menjadi sangat penting untuk melindungi kekayaan intelektual Indonesia tersebut. Pasalnya, setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual.
Saya sangat berisik soal HAKI ini sebab saya ingin seluruh hal strategis itu harus milik negara dan segala keuntungan itu milik negara maupun perseorangan.
”Saya sangat berisik soal HAKI ini sebab saya ingin seluruh hal strategis itu harus milik negara dan segala keuntungan itu milik negara maupun perseorangan,” ucapnya.
Hadir dalam acara itu, Menteri Hukum dan HAM Yassona H Laoly, Wakil Ketua Dewan Pengarah BRIN Srimulyani Indrawati, dan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko. Dalam kesempatan itu, Megawati menerima penghargaan sebagai Tokoh Pendorong Pemajuan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly dalam nota kesepahaman (MoU) antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) di Jakarta Pusat, Rabu (1/3/2023), menuturkan, elemen proteksi menjadi salah satu visi dalam mendukung hak atas kekayaan intelektual (HAKI) di Indonesia.
Mewujudkan proteksi
Terkait dengan MoU dan perjanjian kerja sama BRIN dan Kemenkumham, Yasonna mengatakan, elemen proteksi menjadi salah satu visi dalam mendukung HAKI di Indonesia. Demi memperkuat elemen proteksi tersebut, BRIN dan Kemenkumham diharapkan dapat bertukar data atau informasi pada sistem informasi kekayaan intelektual dalam rangka melindungi hasil riset dan inovasi. Selain itu, diharapkan adanya dukungan manajemen kekayaan intelektual terhadap perlindungan, pemanfaatan, dan komersialisasi hasil riset dan inovasi suatu karya.
Elemen itu sebagai pelumas yang bertujuan memperlancar proses perlindungan terhadap inovasi dan kreativitas, berupa perolehan, perlindungan, serta penegakan hukum kekayaan intelektual (KI) agar mempersempit kesempatan untuk menjiplak atau membajak karya.
”Elemen itu sebagai pelumas yang bertujuan memperlancar proses perlindungan terhadap inovasi dan kreativitas, berupa perolehan, perlindungan, serta penegakan hukum kekayaan intelektual (KI) agar mempersempit kesempatan untuk menjiplak atau membajak karya,” ujarnya.
Adapun perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual telah tertuang dalam Pasal 1 Nomor 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 24/2019 tentang Ekonomi Kreatif. Kekayaan intelektual merupakan kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta, rasa, dan karsanya. Bentuknya, berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.
Sementara Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan hak yang berhubungan dengan karya tulis atau sastra, karya seni, ilmu pengetahuan, dan ciptaan dalam segala bidang yang dihasilkan oleh manusia. Desain industri, merek dagang, dan jasa sebagai hasil dari kekayaan intelektual di bidang industri, ilmu pengetahuan, sastra, atau bidang seni lainnya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menghadiri rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Ruang Kerja Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (25/1). Rapat tersebut di antaranya membahas masalah lembaga permasyarakatan (lapas) dan pengawasan orang asing (POA) serta hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
Pemanfaatan secara komersial
Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi Agus Haryono mengungkapkan, hingga saat ini BRIN telah mengelola lebih dari 2.500 kekayaan intelektual yang terdiri dari 2.371 paten, 352 hak cipta, 122 desain industri, 46 merek, dan 17 perlindungan varietas tanaman (PVT).
Pengelolaan kekayaan intelektual ini tidak hanya mendapatkan perlindungan dan penegakan hukum, tapi kami juga berupaya mendorong pemanfaatannya secara komersial.
”Pengelolaan kekayaan intelektual ini tidak hanya mendapatkan perlindungan dan penegakan hukum, tapi kami juga berupaya mendorong pemanfaatannya secara komersial,” ucap Agus.
Dengan kerja sama BRIN dan Kemenkumham, pemanfaatan data dan informasi terkait kekayaan intelektual dapat saling dipertukarkan serta mendorong peningkatan komersialisasi hasil riset dan inovasi sebuah karya.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko di Jakarta, Jumat (10/2/2023).
Sebagaimana disebutkan dalam rilis BRIN, Direktur Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham Razilu menjelaskan, terdapat kasus penjiplakan merek yang saat ini marak terjadi, yaitu penjiplakan parfum (dupe parfum). Dupe parfum merupakan jenis parfum yang aromanya menyerupai wewangian asli parfum mahal. Selain itu, beberapa dupe parfum memiliki kemasan serta merek yang mirip dengan yang asli.
Penjualan dupe parfum yang kemasan dan mereknya dibuat semirip mungkin dapat diancam pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp 200 juta. Ancaman itu tertuang dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Meskipun demikian, pelanggaran HAKI merupakan hal yang masih sulit dicegah, khususnya bagi pemiliknya, yaitu pelaku usaha kelas kecil dan menengah. Hal ini karena sulitnya memantau perilaku pasar, baik secara konvensional maupun elektronik selama 24 jam.