Menengok Pilihan Parpol Baru dan Non-Parlemen Mendukung Capres
Di tengah dinamika parpol parlemen mendukung capres, parpol baru lebih memilih memperkuat basis dukungannya. Bagi parpol non parlemen pun, pilihan mendukung capres akan diperhitungkan dengan memerhatikan kader.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
Alih-alih larut dalam dinamika koalisi antar-partai politik mendukung salah satu bakal calon presiden, sebagian parpol baru memilih fokus memperkuat basis dukungan. Bagi parpol non-parlemen pun, keputusan mendukung bakal capres dari parpol lain diambil dengan pertimbangan matang. Sebab, jangan sampai keputusan itu membuat parpol kehilangan pendukung.
Partai Gelora tak memprioritaskan pemilihan presiden.
PSI memperhitungkan dukungan terhadap salah satu bakal capres dari partai lain dengan memperhitungkan mayoritas dukungan kadernya.
PBB berhati-hati menentukan capresnya dengan harapan pendukung juga akan memilih PBB.
Partai Gelora, salah satu partai baru yang didirikan Oktober 2019 ini pun tak memprioritaskan pemilihan presiden. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) Mahfudz Siddiq, Selasa (28/2/2023) mengatakan, isu mengenai pemilihan presiden (pilpres) belum menjadi agenda prioritas. Hingga Agustus 2023, Partai Gelora berfokus pada konsolidasi pemenangan pemilihan legislatif (pileg) dengan melakukan roadshow ke 84 daerah pemilihan (dapil) di seluruh Indonesia.
”Sebagai partai baru, tantangan pertama yang harus kami lampaui adalah lolos ambang batas parlemen atau parliamentary threshold di pileg. Jangan sampai Partai Gelora sibuk pada urusan koalisi dan pilpres tetapi tidak lolos ambang batas parlemen,” katanya dihubungi di Jakarta.
Partai Gelora, salah satu partai baru yang didirikan Oktober 2019 ini pun tak memprioritaskan pemilihan presiden.
Ambang batas parlemen merupakan perolehan suara minimal yang harus didapatkan partai politik (parpol) agar memiliki jatah kursi di DPR dan DPD. Penentuan ini didapatkan dari persentase perolehan suara parpol di pemilu. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, Indonesia menetapkan ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
”Target mobilisasi yaitu sekitar 5.000 kader di setiap dapil. Dari penguatan konsolidasi ini diharapkan Partai Gelora punya modal politik yang memadai untuk bicara agenda pilpres,” tuturnya.
Lain halnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI). mulai memperhitungkan dukungan terhadap salah satu bakal capres dari partai lain dengan memperhitungkan mayoritas dukungan kadernya. Juru Bicara (Jubir) PSI Aryo Bimmo mengatakan, dari 100.000-an orang yang melakukan voting, mayoritas kader PSI menginkan Ganjar Pranowo, salah satu kader Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, sebagai capres PSI 2024.
Ganjar yang masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah ini merupakan satu dari tiga figur capres potensial teratas hasil pilihan publik menurut hasil jajak pendapat sejumlah lembaga survei. Dua figur potensial lainnya adalah Prabowo Subianto yang kini menjabat Menteri Pertahanan dan juga Ketua Umum Partai Gerindra, serta mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“Dukungan PSI pada capres ini berdasarkan amanat pendukung, jadi bukan sekedar mengacu pada potensi dampak elektoral yang didapatkan. Bergabung dengan koalisi tertentu dasarnya juga mendukung capres yang kita usung," kata Aryo.
Menyadari tiadanya dukungan kursi di parlemen, membuat Partai Bulan Bintang (PBB) lebih memilih menawarkan ketua umumnya, Yusril Ihza Mahendra, sebagai calon wakil presiden kepada parpol lain. Seperti diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Noor mengatakan, pada rapat koordinasi nasional (rakornas) PBB akhir Januari 2023 lalu, Presiden Joko Widodo juga telah memberi restu bagi Ketua PBB untuk maju sebagai bakal cawapres. Untuk itu, PBB akan berkoalisi dengan beberapa parpol parlemen seperti PDIP, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PBB juga akan berkoalisi dengan partai non-parlemen seperti Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
“PBB tidak boleh salah menentukan capresnya. Jika orang setuju dengan capres yang kami pilih, mereka juga akan memilih PBB, begitu korelasinya. Saat ini kami sedang melihat perkembangan siklus dari parpol yang mendukung beberapa nama capres yang telah muncul ke publik seperti Prabowo, Puan Maharani, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo,” kata Afriansyah.
Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) pun akan akan berembuk dan menentukan pilihan capres yang sudah resmi terdaftar. Walakin, saat ini, parpol baru ini tengah mencoba peruntungannya agar bisa mengusulkan capres dalam Pemilu 2024 nanti dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 222 UU Pemilu tentang persyaratan parpol untuk mengajukan capres di pemilu.
Lewat uji materi itu, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) I Gede Pasek Suardika menyampaikan harapannya, agar PKN pun dapat mengusulkan capres di pemilu nanti. “Semoga uji materi ini dikabulkan MK karena merupakan hak konstitusional parpol peserta pemilu,” sebut Gede.
Ketika mengusung capres dan cawapres, parpol non-parlemen bertaruh besar pada basis massa pendukungnya.
Hati-hati
Peneliti pada Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai, ketika mengusung capres dan cawapres, parpol non-parlemen bertaruh besar pada basis massa pendukungnya. Para pendukung akan bertahan apabila capres dan cawapres yang diusung sesuai dengan keinginan mereka, namun justru sebaliknya jika yang diusung tidak sesuai dengan keinginan.
“Deklarasi dukung capres ini sangat krusial karena yang dipertaruhkan adalah basis konstituen. Lebih baik partai non parlemen ini fokus pada kegiatan mereka. Jadi tidak melulu menjual capres tetapi program-program partai. Masyarakat pun belum tentu memilih partai tersebut walaupun mereka memilih capres yang diusung,” kata Firman.
Partai non parlemen juga dianggap lebih menguntungkan apabila berkoalisi dengan partai parlemen, alih-alih dengan partai non-parlemen lain. Selain itu, partai-partai non-parlemen memiliki spektrum ideologis beragam yang sulit untuk disatukan.
“Umumnya masyarakat memiliki penilaian terlebih dahulu kepada partai, baru pada hal-hal lain seperti capres yang diusung. Bagi partai non-parlemen yang belum memiliki figur, mereka umumnya akan mengusung calon dari eksternal parpol. Hal ini bisa menguntungkan dan tidak. Lebih baik mereka bersifat netral karena kesalahan memilih capres membuat minat masyarakat menjadi turun,” sebutnya.
Hasil Survei Kepemimpinan Nasional Kompas periode Oktober 2022 menunjukkan pertimbangan responden memilih partai non parlemen berdasarkan program kerja partai justru lebih tinggi dibanding partai parlemen. Sebanyak, 21,2 persen responden memilih partai non parlemen ketimbang partai parlemen yang hanya 12,4 persen pada kategori yang sama.