Pertajam Batasan Hak untuk Dilupakan di Revisi UU ITE
Hak untuk dilupakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dinilai tidak memiliki batasan yang jelas. Sejumlah elemen masyarakat sipil meminta pengaturan ini diperjelas pada revisi UU ITE.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pembahasan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, sejumlah elemen masyarakat sipil mendorong agar batasan pengaturan right to be forgotten atau hak untuk dilupakan dalam UU itu diperjelas. Sebab, pengaturan hak untuk dilupakan di UU ITE saat ini dinilai berpotensi bersinggungan dengan hak lain yang juga perlu diutamakan, terutama informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Pengaturan hak untuk dilupakan tercantum dalam Pasal 26 Ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Di pasal itu disebutkan, ”Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan”.
Dalam webinar yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Senin (27/2/2023), Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin menilai, terdapat potensi persinggungan antara hak untuk dilupakan dan hak-hak lain. Dia merujuk pada Pasal 17 Ayat (3) Peraturan Perlindungan Data Umum Eropa atau European General Data Protection Regulation (EU GDPR).
Aturan itu memberi perkecualian bagi hak untuk dilupakan, misalnya untuk kepentingan hak kebebasan berekspresi dan informasi, untuk alasan kepentingan publik pada area kesehatan publik. Selain itu, untuk tujuan arsip bagi kepentingan publik, untuk kepentingan klaim legal, dan sejumlah hal lain.
Menurut Ade, Indonesia tidak memiliki batasan penerapan hak untuk dilupakan sehingga berpotensi menyinggung aturan perundang-undangan lain saat diterapkan, salah satunya kebebasan berekspresi dan UU No 40/1999 tentang Pers. Selain itu, akan berdampak pada kepentingan informasi publik yang akan hilang jika tidak ada regulasi batasan dari pemerintah.
”Catatannya dari UU ITE, definisi terkait penghapusan dokumen yang tidak relevan. Kemudian berpotensi menyinggung ranah-ranah ekspresi, ranah informasi publik, serta wilayah pers,” ujar Ade.
Sejumlah batasan, seperti informasi yang berguna bagi pembelajaran atau kepentingan publik, perlu dilindungi pemerintah. Jadi, seseorang tak hanya memiliki hak untuk menghapus informasi, tetapi juga hak untuk melindungi informasi tersebut. Misalnya, informasi tentang seseorang yang melakukan tindakan korupsi tidak boleh dihapus karena hal itu merupakan kepentingan publik.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Parasurama Pamungkas, juga mengatakan, UU ITE tidak jelas dalam merumuskan batasan penghapusan informasi atau dokumen elektronik yang tidak relevan. ”Saat ini, kita akan merevisi UU ITE dan dalam materinya, tidak diatur secara khusus mengenai syarat, prosedur, serta batasan-batasan penggunaan RTBF (hak untuk dilupakan), sehingga itu menjadi persoalan,” katanya.
Sementara itu, saat ini, Komisi I DPR sedang membahas revisi UU ITE. Pembahasan RUU ITE kembali bergulir setelah cukup lama terbengkalai. Revisi UU ini merupakan usulan pemerintah. Revisi difokuskan untuk mengubah sejumlah pasal yang meresahkan publik karena kerap digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat. Untuk itu, pemerintah hanya mengusulkan sembilan pasal direvisi plus penambahan pasal (Kompas.id, 26/1/2023).
Perbaikan
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Indriaswati D Saptaningrum, menilai, kelemahan akibat tidak adanya rumusan hak untuk dilupakan perlu diperbaiki. Adapun usulan pengaturan hak untuk dilupakan diajukan oleh DPR dalam pandangan umum terhadap draf yang diajukan oleh pemerintah pada 14 Maret 2016.
Hal ini memunculkan kekhawatiran dari masyarakat terkait munculnya motif lain untuk melindungi elite politik karena draf tersebut diusulkan oleh DPR. Para elite politik dinilai mampu memanfaatkan hak untuk dilupakan, kemudian masuk ke ranah politik karena rekam jejaknya tidak dapat ditemukan. ”Mau tidak mau, suka tidak suka, dalam proses politik di DPR, usulan ini telah diakomodasi,” ujar Indri.
Oleh karena itu, pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan masih terlampau banyak terkait dengan RTBF. Pemerintah dinilai memerlukan kontribusi dari berbagai kajian dan praktik dari tempat lain terkait data pribadi.