MK Diminta Cabut Kewenangan Jaksa Ajukan Peninjauan Kembali
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan kembali diuji materi ke MK. Kali ini MK diminta membatalkan kewenangan jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta membatalkan kewenangan jaksa untuk mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali yang diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan terbaru, yaitu UU Nomor 11 Tahun 2021. Pembentuk undang-undang dinilai telah menghidupkan kembali norma yang semula sudah dimatikan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, MK juga diminta untuk mempercepat pemeriksaan perkara uji materi UU Kejaksaan. Sebab, pemohon uji materi norma peninjauan kembali (PK) oleh jaksa yang tercantum dalam Pasal 30C huruf h UU 11/2021 tersebut kini tengah menghadapi permohonan PK yang diajukan oleh jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Gianyar.
MK juga diminta untuk menjatuhkan putusan sela atau putusan provisi sehingga nantinya Mahkamah Agung (MA) tidak menangani terlebih dahulu perkaranya sampai ada putusan final MK. ”Kami minta (putusan provisi) karena keinginan klien,” ujar Mohammad Sholeh, kuasa hukum Hartono selaku pemohon uji materi, saat dihubungi pada Jumat (24/2/2023).
Permohonan uji materi itu didasari proses banding atas putusan kasus dugaan pemalsuan surat yang menjerat Hartono. Pengadilan Negeri (PN) Gianyar menyatakan Hartono bersalah dan menjatuhkan vonis 2 tahun penjara. Atas putusan itu, baik Hartono maupun jaksa mengajukan banding. Hasilnya, Pengadilan Tinggi Denpasar membatalkan putusan tingkat pertama sehingga Hartono bebas dari hukuman.
Namun, jaksa mengajukan kasasi ke MA dan kemudian majelis kasasi menghukum Hartono dengan pidana 4 tahun penjara. Terpidana mengajukan upaya hukum luar biasa PK dan dikabulkan. MA dalam putusan PK-nya menyatakan Hartono tidak bersalah dan memulihkan hak Hartono.
Namun, jaksa yang tak terima dengan vonis bebas tersebut kemudian mengajukan PK. PK jaksa diajukan dengan mendasarkan diri pada Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan. Pasal tersebut mengatur kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan peninjauan kembali.
Adapun bagian penjelasan pasalnya berbunyi ”PK oleh Kejaksaan merupakan bentuk tugas dan tanggung jawab Kejaksaan mewakili negara dalam melindungi kepentingan keadilan bagi korban, termasuk bagi negara dengan menempatkan kewenangan jaksa secara profesional pada kedudukan yang sama dan seimbang dengan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali”.
Menurut pemohon, pasal beserta penjelasannya tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 di mana tiap warga berhak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pemohon meminta Pasal 30C huruf h tersebut bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat, sepanjang dimaknai lain dari yang sudah tersurat dalam Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Jika jaksa diperkenankan PK, perkara tersebut tidak akan ada akhirnya sebab terpidana juga akan mengajukan kembali permohonan PK atas PK jaksa. Yang terjadi, terpidana atau ahli warisnya dan jaksa akan secara bergantian menempuh PK sehingga justru menimbulkan keambiguan hukum positif.
Pasal ini juga telah mencerminkan perbedaan kedudukan dan perlakuan ( unequal treatment), ketidakadilan ( injustice), ketidakpastian hukum ( legal uncertainty), antara pejabat negara dan warga negara.
MK sebenarnya sudah memutus perkara serupa dalam perkara 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan kewenangan PK hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Namun, pembuat undang-undang masih membuat aturan yang memberi kewenangan PK kepada jaksa. Hal tersebut oleh pemohon dinilai merusak tatanan normal hukum acara yang sudah ada, dan hal itu menyebabkan tidak adanya kepastian hukum yang adil bagi terpidana.
Dalam sidang perdana yang digelar pada Kamis (23/2/2023) lalu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon untuk mencari data perbandingan mengenai pengaturan PK dalam sistem hukum negara-negara lain. Sebab, menurut dia, bisa saja MK berubah pandangannya dari putusan 33/PUU-XIV/2016. ”Bisa saja bergeser kalau memang, ya, ada urgensi supaya juga memberikan kejaksaan melakukan PK,” katanya sembari mengungkapkan apabila alasan PK jaksa adalah mewakili negara atau kepentingan korban.