Agar Kompetisi Pemilu Sehat, Sumber Dana Ilegal Perlu Diawasi Ketat
Penegak hukum didorong serius menindaklanjuti temuan PPATK terkait adanya triliunan rupiah dana ilegal yang digunakan untuk Pemilu 2014 dan 2019. Peredaran dana ilegal di Pemilu 2024 perlu diantisipasi secara maksimal.
Oleh
IQBAL BASYARI, PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Ketua KPU Arief Budiman memberikan hasil audit laporan dana kampanye kepada perwakilan Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Maruf Amin dan Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di kantor KPU, Jakarta, Jumat (31/5/2019).
Penelusuran terhadap temuan PPATK terkait masuknya dana ilegal di Pemilu 2014 dan 2019 dinilai perlu ditangani serius penegak hukum.
Transparansi dan akuntabilitas dana kampanye yang rendah membuka ruang penggunaan dana-dana ilegal.
Perlu ada kerja sama erat antara Bawaslu, KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung untuk mengatasi persoalan ini.
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan dana ilegal untuk kepentingan pemenangan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah berpotensi membuat peserta pemilu terjerat pada praktik korupsi politik. Aparat penegak hukum didorong segera menelusuri temuan transaksi ilegal yang ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk menjaga kompetisi Pemilu 2024 berlangsung sehat.
Pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, dihubungi dari Jakarta, Kamis (16/2/2023), mengatakan, sumber dana ilegal sangat berpotensi digunakan untuk kepentingan pemilu dan pilkada yang berlangsung di tahun 2024. Sebab, pembiayaan pemilu bisa menjadi arena pencucian uang, terlebih dana yang dibutuhkan untuk pemenangan cenderung besar.
Oleh sebab itu, temuan PPATK terkait adanya dana hasil pencucian uang digunakan di pemilu harus dijadikan momentum untuk mengawal penegakan prinsip transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana di Pemilu 2024. Sebab, selama ini, pelaporan dana kampanye masih jauh dari kedua prinsip tersebut. Apalagi aturan dana kampanye yang digunakan untuk Pemilu 2024 masih sama dengan pemilu sebelumnya.
”Selama ini transparansi dan akuntabilitas dana kampanye sangat rendah, padahal banyak riset menunjukkan korupsi politik yang terjadi pada pascapemilu. Salah satu faktornya adalah pengelolaan dana kampanye yang tidak transapran dan akuntabel, termasuk pembiayaan dari kandidat yang tidak ada batas maksimalnya,” tutur Mada.
DOKUMENTASI PPATK
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana
Sebelumnya PPATK dalam rapat kerja Komisi III DPR mengungkapkan, pihaknya menemukan adanya dugaan penggunaan dana hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam proses Pemilu 2014 dan 2019. Uang hasil korupsi dan sumber ilegal lain yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah itu digunakan untuk biaya politik oleh para kontestan pemilu.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana tidak mengungkap nilai nominal pasti dana hasil TPPU yang beredar dalam dua kali pemilu tersebut. PPATK hanya memastikan nilai dana TPPU mencapai triliunan rupiah. Dana itu didapat dari sejumlah transaksi ilegal, seperti pembalakan liar, pertambangan ilegal, dan pencurian ikan ilegal. Dana tersebut diindikasikan digunakan oleh para politikus secara personal (Kompas, 15/2/2023).
Mada menuturkan, aparat penegak hukum bekerja sama dengan penyelenggara pemilu harus berani menginvestigasi temuan itu. Sebab, secara umum, pola penggunaan dana ilegal cenderung bisa ditelusuri untuk sejumlah kebutuhan, di antaranya untuk kandidasi dan pembelian suara. Kebutuhan ini tidak dilaporkan ke laporan dana kampanye karena biasanya laporan dana kampanye hanya untuk keperluan pengeluaran formal yang diatur dalam undang-undang.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Mada Sukmajati.
Penelusuran sejak sebelum masa kampanye, katanya, amat dibutuhkan karena selama ini ketergantungan kandidat kepada sumber dana dari pihak luar amat tinggi. Kontribusi partai kepada kandidat juga masih rendah sehingga sumbangan dari perorangan dan perusahaan masih amat tinggi. Kondisi tersebut membuat kandidat membutuhkan dana pemenangan dari ”bohir” yang sulit ditelusuri.
”Laporan dana kampanye resmi sering kali lebih rendah dibandingkan pengeluaran riil. Riset kami di Pilkada 2020 menemukan dana kampanye yang dikeluarkan mencapai 15 kali dibandingkan dana yang dilaporkan,” tutur Mada.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, Badan Pengawas Pemilu harus menelusuri temuan PPATK agar hal ini tidak sekadar menjadi diskursus publik. Dengan kerja sama Bawaslu dengan PPATK, lembaga pengawas tersebut harusnya bisa berperan aktif mencari tahu temuan tersebut.
Namun, menurut anggota Bawaslu, Puadi, Bawaslu memiliki keterbatasan kewenangan pengawasan. Dalam kaitan dengan pengunaan dana, Bawaslu hanya mengawasi keuangan parpol terkait dana kampanye. Sementara itu, penggunan dana di luar masa kampanye tidak bisa diawasi karena keterbatasan kewenangan.
Pihaknya terus mengingatkan agar peserta pemilu menggunakan sumber dana yang legal untuk pemenangan pemilu. Selain tidak boleh berasal dari dana asing seperti diatur dalam UU Pemilu, ia meminta agar dana-dana ilegal tidak digunakan kandidat dalam pemenangan. Sebab, penggunaan dana ilegal dapat merusak pemilu dan merugikan keadilan kompetisi.
”Untuk mewujudkan pemilu yang bebas adil, maka penting memastikan sumber dana pemilu harus bersih dari kegiatan ilegal, seperti hasil korupsi dan pencucian uang,” tutur Puadi.
AXEL JOSHUA HALOMOAN RAJA HARIANJA
Anggota Bawaslu, Puadi, seusai menghadiri acara peluncuran Sistem Informasi Penanganan Pelanggaran Pemilu dan Pelaporan (SiGapLapor) di Mercure Hotel, Ancol, Jakarta Utara, Senin (31/10/2022) malam.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengatakan, hasil transaksi ilegal yang diindikasi beredar di pemilu harus ditelusuri oleh kejaksaan, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia meyakini ada politik uang dalam pemilu yang jumlahnya sangat besar dari DPRD kabupaten, kota, provinsi, DPR, sampai di tingkat pemilihan presiden.
”Pasti akan ada yang membutuhkan dana besar untuk maju kontestasi. Bahkan, untuk sekadar mendapatkan kendaraan partai politik saja ini harus setor banyak dengan alasan untuk biaya saksi dan lain-lain,” kata Boyamin.
Ia menegaskan, meskipun tidak salah mengumpulkan uang dalam jumlah besar sampai triliunan, tetapi jangan sampai pemilu dikotori oleh terlalu banyak politik uang.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno, dan Bendahara Umum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Thomas Djiwandono, saat menyerahkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye ke Kantor Akuntan Publik di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (2/5/2019).