Para perwakilan pimpinan partai politik dan pimpinan KPU dalam acara Pengundian dan Penetapan Nomor Partai Politik Peserta Pemilihan Umu 2024 di halaman Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu (14/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan adanya dugaan penggunaan dana hasil tindak pidana pencucian uang dalam proses Pemilu 2014 dan 2019. Uang hasil korupsi dan sumber ilegal lain yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah itu digunakan untuk biaya politik oleh para kontestan pemilu.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam rapat kerja Komisi III DPR, di Gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa (14/2/2023), mengungkapkan, PPATK bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk melihat potensi penggunaan dana hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagai sumber pembiayaan pemilu. Dari hasil riset PPATK dalam dua pemilu terakhir, potensi itu ternyata ditemukan.
”Kami menemukan ada beberapa memang indikasi ke situ dan faktanya memang ada. Nah, kami koordinasikan itu terus dengan teman-teman dari KPU dan Bawaslu,” ujarnya.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana memberikan pidato kunci dalam acara diskusi "Sinergi Membangun Negeri: Mencegah Kriminal Menguasai Negeri" yang disiarkan secara daring, Selasa (22/3/2022).
Ivan tidak mengungkap nilai nominal pasti dana hasil TPPU yang beredar dalam dua kali pemilu tersebut. PPATK hanya memastikan nilai dana TPPU mencapai triliunan rupiah. Dana itu didapat dari sejumlah transaksi ilegal, seperti pembalakan liar, pertambangan ilegal, dan pencurian ikan ilegal. Dana tersebut diindikasikan digunakan oleh para politikus secara personal.
”Jumlah agregatnya, kami enggak bisa sampaikan di sini. Pokoknya besar, ya. Hasil pidana asalnya saja triliunan, karena terkait dengan banyak tindak pidana, kan, terkait dengan sumber daya alam, lalu masuk ke orang-orang tertentu yang kami duga sebagai political as person itu, ya ada, banyak juga. Saya tidak bisa sebutkan,” tutur Ivan.
Jika merujuk pada hasil analisis dan pemeriksaan PPATK sepanjang 2022, aliran dana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi mencapai Rp 81,3 triliun. Nilai tersebut merupakan akumulasi dari beberapa tindak pidana, seperti perjudian, tindak pidana berkaitan sumber daya alam (green financial crime), tindak pidana narkotika, penggelapan dana yayasan, dan berbagai pengungkapan perkara lain.
Jika ada indikasi transaksi yang mencurigakan, hal itu sebaiknya disampaikan kepada aparat penegak hukum agar bisa segera diproses
Menanggapi temuan PPATK, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, laporan yang disampaikan PPATK baru indikasi adanya perbuatan tindak pidana dan masih sebatas paparan secara global. Karena itu, Komisi III meminta PPATK untuk merinci laporan, terutama mengenai nilai nominal pasti dana hasil pencucian uang yang digunakan untuk aktivitas politik.
”Itulah yang kami minta agar itu disampaikan sehingga tidak sekadar kemudian menjadi isu liar yang bergulir di luar,” ujar Arsul.
Jika data itu benar, Arsul menyarankan agar PPATK membuktikan dan melaporkannya kepada aparat penegak hukum. Tidak hanya nilai nominal dana yang beredar, tetapi juga pihak-pihak yang terindikasi melakukan TPPU.
Proses hukum
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, PPATK merupakan lembaga yang berwenang memantau dan menganalisis transaksi keuangan. Jika ada indikasi transaksi yang mencurigakan, hal itu sebaiknya disampaikan kepada aparat penegak hukum agar bisa segera diproses. Adapun dalam konteks kepemiluan, penegakan hukum terkait transaksi mencurigakan dalam pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi kewenangan Bawaslu.
Sejumlah pekerja membersihkan papan nama Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di Gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (30/01/2021).
”Jadi informasi itu disampaikan kepada penegak hukum, dalam konteks ini yang relevan adalah teman-teman Bawaslu,” ucap Hasyim.
Secara terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri menyampaikan, KPK hanya berwenang menangani tindak pidana pencucian uang, korupsi, atau suap dari praktik pertambangan ilegal. Umumnya, korupsi atau suap terjadi dalam proses pengurusan perizinan.
Salah satu kasus yang pernah diusut KPK ialah perkara Bupati Tanah Bumbu 2010-2018 Mardani H Maming. Pekan lalu, Maming divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta karena terbukti korupsi terkait izin usaha pertambangan di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.