Pembahasan Perppu Cipta Kerja di DPR Dikhawatirkan Hanya Formalitas

Tiga hari tersisa hingga akhir masa sidang, DPR belum juga memproses persetujuan Perppu Cipta Kerja. Ada pakar yang berpendapat proses itu bisa dilanjutkan di masa sidang berikutnya. Ada juga yang berpendapat sebaliknya.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Elemen buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat menggelar aksi penolakan Perppu Cipta Kerja di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (10/1/2023).

JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat tidak harus menyelesaikan pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang berujung pada pemberian persetujuan atau penolakan pada masa sidang ini yang akan berakhir tiga hari lagi, tepatnya pada 16 Februari 2023. Pembahasan secara buru-buru tidak akan menghasilkan sesuatu yang ideal.

”Jadi sebenarnya tidak ideal kalau bahas perppu dalam kemendesakan, dalam waktu yang sangat pendek, apalagi menjelang penutupan masa sidang. Itu, kan, akhirnya formalitas saja pembahasannya. Padahal, di situlah ruang kontrol bagi DPR selaku pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Negeri Jember (Unej) Bayu Dwi Anggono, Senin (13/2/2023).

Menurut Dekan Fakultas Hukum Unej tersebut, banyak pihak sering kali salah kaprah dengan memaknai pemberian persetujuan atau penolakan terhadap perppu hanya terkait dengan alasan formal atau alasan kegentingan memaksa mengapa perppu harus diterbitkan. Namun, pembahasan perppu tak semata-mata mengenai hal tersebut. Yang juga penting adalah apakah substansi perppu tersebut dapat disetujui DPR, sesuai konstitusi ataukah tidak.

”DPR tidak bisa merevisi pasal per pasal, hanya menyetujui atau tidak. Yang namanya menyetujui itu artinya dia bertanggung jawab juga terhadap isi perppu itu. Padahal, banyak ketentuan baru (di dalam Perppu Cipta Kerja). Bahas dalam tiga hari itu gimana. Kan, enggak mungkin,” kata Bayu.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengikuti rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/1/2022).

Ia mengakui bahwa ada ketentuan Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan bahwa perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. Pada bagian penjelasan pasal disebutkan, yang dimaksud dengan ”persidangan berikutnya” adalah masa sidang pertama DPR setelah perppu ditetapkan.

Seperti diketahui, Perppu Cipta Kerja ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 saat DPR masih dalam masa reses. Adapun masa sidang pertama setelah perppu ditetapkan adalah masa persidangan yang dibuka pada 10 Januari hingga 16 Februari 2023.

Menurut Bayu, masa sidang berikutnya tidak harus dimaknai sebagai masa sidang pertama kali setelah perppu ditetapkan. DPR tidak harus memberikan persetujuan atau penolakan perppu pada masa sidang saat ini. ”Bisa pada masa sidang berikutnya,” ujarnya.

Alasannya, ada putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang memberikan penafsiran mengenai hal tersebut.

Menurut Bayu, pertimbangan hukum dalam putusan MK tersebut menjawab pertanyaan bagaimana jika sudah lewat masa sidang ternyata perppu tersebut belum disetujui atau ditolak oleh DPR. Bagi Bayu, ada pesan konstitusional dalam putusan MK tahun 2009 bahwa sebelum ada pendapat DPR, norma tersebut tetap sah dan berlaku seperti UU sehingga dapat diuji konstitusionalitasnya.

”Dalam pertimbangannya MK menyatakan dengan jelas, sangat mungkin karena satu atau lain hal, DPR tidak dapat membahas atau belum dapat menyetujui perppu itu sehingga ada potensi kerugian masyarakat, misalnya jika perppu itu terkait dengan pembatasan HAM. Kan, sangat mungkin. Maka, kemudian muncul kewenangan MK menguji perppu itu,” katanya.

Baca juga: Pemohon Minta MK Tunda Keberlakuan Perppu Cipta Kerja

Namun, pengajar hukum tata negara Universitas Hasannudin, Makassar, Fajrulrahman Jurdi, menyampaikan pandangan berbeda.

Menurut dia, UUD 1945 tidak menyebutkan bagaimana nasib perppu jika belum mendapat persetujuan atau penolakan menjadi undang-undang pada masa sidang DPR berikutnya setelah perppu ditetapkan. Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 hanya menyebutkan, perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Ayat selanjutnya mengatur, jika tidak mendapat persetujuan, perppu itu harus dicabut.

”Kalimat konstitusi tidak menyebutkan ’jika tidak dibahas’. Saya menafsirkan, jika tidak dibahas pada masa persidangan berikutnya, maka dianggap ini ’dicabut’,” ujar Fajrulrahman.

Menurut dia, kata ”harus” pada Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 memiliki makna yang bersifat imperatif atau perintah. ”Bukan fakultatif. Karena itu, wajib dibahas,” katanya.

Baca juga: DPR Baru Memulai Proses Persetujuan Perppu Cipta Kerja dan Pemilu

Ilustrasi

Sebagai konsekuensi jika perppu dianggap dicabut, maka sidang pengujian formil yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) pun harus berhenti.

Menurut Fajrulrahman, ketentuan itu semestinya berlaku mutatis mutandis. Karena perppunya jika tidak disetujui DPR (pada persidangan berikutnya), maka perkara pengujian di MK pun semestinya tidak dilanjutkan karena obyek pengujiannya sudah tidak berlaku lagi.

Empat pengujian formil

Hingga Senin (13/2/2023), MK telah menerima empat permohonan pengujian formil Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja. Dua perkara telah disidangkan sebanyak dua kali, satu perkara mulai disidangkan pada Selasa (14/2/2023), sedangkan sebuah perkara lainnya baru didaftarkan pada 9 Februari dan hingga kemarin belum diregister.

Permohonan mayoritas diajukan oleh kelompok buruh ataupun pihak-pihak yang memiliki perhatian pada isu-isu ketenagakerjaan dan perundang-undangan. Dua perkara pertama diajukan oleh dosen, mahasiswa, pekerja migran, dan federasi buruh. Perkara ketiga diajukan oleh 13 federasi serikat buruh dari berbagai sektor dan wilayah. Sementara permohonan terakhir diajukan oleh 15 serikat pekerja.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).

Salah satu kuasa hukum pemohon uji materi nomor 5/PUU-XXI/2023, Viktor Santoso Tandiasa, mengungkapkan, pihaknya sudah mengajukan percepatan penanganan perkara kepada MK saat memasukkan berkas perbaikan permohonan pada 23 Januari lalu. Ia berharap MK mempercepat proses persidangan mengingat masa berlaku perppu sangat terbatas, yaitu hingga mendapat persetujuan atau penolakan dari DPR. Akan tetapi, MK belum merespons permohonan percepatan sidang tersebut.

Apabila dilihat dari timeline perkara, sidang untuk dua perkara pengujian formil Perppu No 2/2022 yang masuk pada awal Januari adalah sidang perdana pada 19 Januari 2023, sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan pada 2 Februari. MK menjadwalkan sidang ketiga dengan agenda mendengarkan keterangan dari Presiden/pemerintah pada 20 Februari mendatang.

Baca juga: Bayang-bayang Ketidakpastian Aturan Cipta Kerja

Para pemohon kebanyakan mempersoalkan tidak terpenuhinya syarat kegentingan memaksa sebagai alasan utama diterbitkannya Perppu. Perppu No 2/2022 tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945, UU Pembentukan Peraturan Perundangan, dan dua putusan MK. Salah satu putusan yang dimaksud adalah putusan 138/2009 yang memberikan tiga syarat suatu keadaan dapat dinyatakan genting sehingga Presiden dapat mengeluarkan perppu, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan hukum secara cepat berdasarkan UU; UU yang dibutuhkan belum ada atau belum memadai sehingga terjadi kekosongan hukum; dan kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan membuat UU dengan prosedur biasa.

Menurut pemohon, tiga syarat yang menjadi ukuran kegentingan memaksa tidak terpenuhi. Sebab, tidak ada kekosongan hukum, ada cukup waktu untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja, dan lainnya. Seperti diketahui, putusan MK Nomor 91/2020 memberikan waktu kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja selama dua tahun. Dengan demikian, penerbitan perppu tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.