Pintu Masa Depan Masih Terbuka...
Meski sempat terjerembab trauma, anak-anak dari pelaku terorisme berupaya bangkit. Mereka melanjutkan sekolah, berupaya untuk mengejar cita-cita.
When I was just a little girl, I asked my mother, what will I be.
Will I be pretty? Will I be rich? Here’s what she said to me.
Qué será, será, whatever will be, will be.
The future's not ours to see, qué será, será.
What will be, will be.
Lima tahun lalu, kedua orangtua AIS beserta dua kakaknya tewas meledakkan diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, Jawa Timur. Ia tak pernah menyangka bisa melanjutkan sekolah, apalagi sampai bermimpi dapat meniti cita-cita menjadi pengajar agama dan penghafal Al Quran. Sebelumnya, jangankan menggantang asa, berpikir untuk melanjutkan pendidikan pun ia tak berani.
AIS, gadis kecil yang kini berusia 12 tahun itu, merupakan satu-satunya orang dalam rombongan pelaku yang selamat dalam insiden bom bunuh diri di Markas Polrestabes Surabaya, 14 Mei 2018. Tubuhnya terlempar sekitar 3 meter ke atas sebelum kembali terjatuh ke tanah.
Beruntung, seorang polisi yang melihatnya berdiri sempoyongan di antara kendaraan yang terpakir langsung membopongnya menjauh dari titik ledakan. AIS kemudian dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif. Tak hanya terluka, tangannya juga patah.
Meski sembuh, AIS sempat terjerembab dalam trauma. Ideologi ekstrem yang telanjur terinternalisasi dari orangtuanya pun membuatnya enggan belajar di sekolah formal, apalagi yang diselenggarakan negara.
Namun, setelah menjalani rehabilitasi lebih dari setahun di panti sosial milik pemerintah, ditambah lagi hampir tiga tahun tinggal di lingkungan pondok pesantren dan belajar di sekolah negeri, trauma AIS berangsur-angsur memudar. Ia masih bisa menceritakan dengan santai bahwa dirinya pernah tinggal di Surabaya meski tak pernah menyinggung tentang ledakan yang membuatnya terpental dari atas sepeda motor.
AIS pun semakin menikmati lagu-lagu dari boyband Korea yang biasanya menjadi pengiringnya belajarnya di pondok.
Sejak tiga tahun lalu, AIS memang mondok di sebuah pesantren di Pulau Jawa. Beberapa bulan lagi, ia akan lulus sekolah dasar. Ia, bahkan, sudah bersiap-siap melanjutkan ke madrasah tsanawiyah (MTs, setingkat sekolah menengah pertama) yang menerapkan sistem bilingual.
”Sudah lancar bahasa Inggris dan bahasa Arab-nya, Pak,” kata AIS malu-malu saat ditanya kesiapannya memasuki MTs oleh M, pemimpin pondok pesantren, dan sejumlah tamu yang rutin mengunjunginya, Minggu (5/2/2023).
Baca juga : Beban Berganda Anak Narapidana Terorisme
Di sekolah yang menerapkan pembelajaran dengan dua bahasa asing itu, AIS ingin memperkuat bekal untuk meraih cita-citanya, yakni menjadi pengajar agama dan penghafal Al Quran. Cita-cita yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, apalagi setelah ia kehilangan kedua orang tua dan kedua kakaknya yang meledakkan diri di Markas Polrestabes Surabaya lima tahun lalu.
Kecintaan AIS terhadap ilmu pengetahuan juga semakin dalam. Hal itu tidak terlepas dari kebiasaan belajar yang diterapkan di pondok pesantren. Setiap hari, AIS dan anak-anak lain mulai mengaji sejak subuh. Kemudian belajar di sekolah hingga siang hari, dan melanjutkan materi lain di pondok hingga malam hari.
Didikan dari pemimpin pondok pesantren yang merupakan akademisi dari sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah juga turut berpengaruh. Pembicaraan soal peningkatan kompetensi akademik menjadi makanan sehari-hari pemimpin pondok bersama anak didik.
Tak hanya AIS, di pondok itu juga ada HD (14), anak pelaku bom bunuh diri di Rumah Susun Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur, 13 Mei 2018. Sama dengan AIS, ia juga punya cita-cita untuk melanjutkan pendidikannya. ”Nanti kamu mau masuk SMA (Madrasah Aliyah Negeri) Insan Cendekia, kan?” tanya M kepada HD.
Menanggapi tawaran untuk masuk di salah satu SMA negeri terbaik di Indonesia, santri laki-laki itu pun mengangguk sambil mengatakan, ”Iya, Pak.”
Tawaran M kepada HD juga bukan asal terucap. Meski semasa hidup bersama orangtua kandungnya tak pernah disekolahkan di lembaga formal, HD yang saat ini duduk di kelas VIII MTs berhasil lolos seleksi untuk masuk kelas sains. Di kelas sains, anak-anak dipersiapkan untuk tidak hanya mengikuti berbagai kompetisi, tetapi juga dibiasakan untuk meriset ilmu pasti.
Tingginya intensitas kegiatan akademik yang diikuti HD membuatnya kerap berinteraksi dengan banyak guru dengan karakter yang beragam. Namun, ia geram ketika bertemu dengan pengajar yang sering membandingkan kualitas pendidikan antara di kota dan desa, bahkan Indonesia dan negara-negara lain.
Kegeraman itu pun mendorongnya untuk bercita-cita menjadi guru atau dosen, agar bisa berperan memperbaiki kualitas pendidikan nasional. ”Waktu SD, teman saya ada yang bilang, kenapa kita enggak jadi orang yang bisa membuat Indonesia menjadi pintar saja. Lalu kami membuat tim kecil yang namanya Indonesia Maju, hampir semuanya bercita-cita jadi guru. Cuma tiga orang yang mau jadi dosen, termasuk saya,” tutur HD.
Baca juga: Balada Para Pemberontak Kecil
Pilihan HD bercita-cita menjadi dosen juga terkait erat dengan profesi M. Suatu hari, M pernah mengajaknya ke kampus tempatnya mengajar. HD terpukau melihat kompleks kampus yang luas dengan bangunan-bangunan besar. ”Lagi pula, kalau jadi dosen, enggak terlalu susah. Kan, ngajar mahasiswa sudah bisa mikir karena sudah dewasa. Enggak kayak anak-anak gitu lho, he-he-he,” ujar HD.
Temukan bakat
Selain membuka cakrawala cita-cita, iklim yang terbangun di pondok pesantren itu juga memantik anak-anak menemukan minat bakatnya. RT (15), misalnya, mulai menyukai rebana karena dilatih terus-menerus oleh gurunya di pesantren.
Padahal, anak dari penusuk mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto pada 2019 itu semula sangat tertutup. Jangankan bermain rebana, ia pun kerap mogok makan jika mendengar kabar buruk mengenai orangtuanya yang kini masih menjalani hukuman di penjara.
Kendati demikian, kecintaan pada musik membuat RT semakin giat berlatih memainkan alat musik Melayu tersebut. Ia dan timnya beberapa kali menjuarai kompetisi di lingkungan pesantren. Kepiawaiannya menabuh rebana pun masyhur hingga ke sekolah. ”Saya sekarang mengajar ekskul rebana di sekolah,” ujarnya.
M menjelaskan, saat ini ada lebih dari 20 anak narapidana terorisme yang tinggal di pondok pesantren asuhannya. Beberapa di antaranya adalah anak-anak narapidana terorisme. Mereka dititipkan oleh aparat penegak hukum untuk diasuh di pesantren tersebut sejak tiga tahun lalu.
Baca juga: Butuh "Sekampung" Lepaskan Ekstremisme dari Anak Napi Terorisme
Sejak memutuskan bersedia mengasuh mereka, ia berkomitmen untuk memosisikan diri sebagai orangtua bagi anak-anak itu.
”Saya tidak membeda-bedakan perlakuan kepada anak kandung saya dengan mereka,” katanya.
Baca juga: Jerat Derita Anak Narapidana Terorisme
Keterlibatan orangtua dalam jejaring terorisme memang seolah menutup kesempatan anak-anak untuk menggapai masa depan. Pasalnya, anak-anak pelaku aksi terorisme harus menghadapi berbagai masalah untuk tetap bertahan hidup. Tak hanya stigmatisasi dari masyarakat, mereka juga harus menghadapi kondisi kehilangan orangtua, baik karena tengah menjalani hukuman maupun karena meninggal.
Namun, kehadiran orangtua baru dapat memberikan kehidupan baru. Orangtua baru itu terbukti mampu memberikan secercah harapan, bahwa pintu masa depan bagi anak-anak pelaku terorisme, termasuk narapidana terorisme ataupun eks narapidana terorisme, masih terbuka lebar.