Jalan Peleburan KIB-KKIR Terbuka, Tantangan Koalisi Gemuk di Depan Mata
Apabila melebur, Golkar, PAN, PPP, Gerindra, dan PKB akan membentuk koalisi gemuk. Koalisi ini memiliki tantangan berupa kian sulitnya penentuan capres-cawapres yang diusung. Tak ada juga jaminan kemenangan akan diraih.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto bertemu dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Soal Kemungkinan peleburan dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), disebut oleh elite Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) sangat terbuka.
Peleburan dianggap bisa menghasilkan mesin politik besar, tetapi analis politik mengingatkan koalisi gemuk belum jadi jaminan kemenangan.
JAKARTA, KOMPAS — Jalan peleburan Koalisi Indonesia Bersatu dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya terbuka dengan adanya dukungan dari partai-partainya. Apabila peleburan terjadi, lima partai, yaitu Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Gerindra, dan Partai Kebangkitan Bangsa, akan membentuk koalisi gemuk yang diliputi tantangan. Untuk itu, tantangan tersebut perlu menjadi pertimbangan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Wacana penggabungan Koalisi Indonesia Bersatu (Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan) dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa) mengemuka. Kemunculan wacana itu terjadi setelah Pertemuan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar di Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat (10/2/2023).
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid, Minggu (12/2/2022), mengatakan, pertemuan antara Airlangga dan Muhaimin merupakan bagian dari silaturahmi dan kolaborasi antarpartai. Menurut Nurdin, pertemuan seperti itu penting karena bagian dari kolaborasi di era multipartai.
Adapun terkait kemungkinan peleburan dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), Nurdin mengutarakan, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) sangat terbuka. Namun, ia juga menegaskan, pengusungan Airlangga sebagai calon presiden dari Golkar sudah bersifat final. Maka, soal capres dan cawapres koalisi perlu dibicarakan lebih lanjut
”Peleburan sangat menyehatkan dan menyenangkan. Kami koalisi yang sangat terbuka, paling solid dan memenuhi ambang pencalonan presiden,” ucap Nurdin saat dihubungi dari Jakarta.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani. Ia menuturkan, KIB sangat terbuka dengan berbagai kemungkinan. Sebab, koalisi dipahami sebagai sesuatu yang bersifat dinamis sehingga bisa bertambah, berkurang, atau bergabung dengan koalisi lain.
KIB sangat terbuka dengan berbagai kemungkinan. Sebab, koalisi dipahami sebagai sesuatu yang bersifat dinamis sehingga bisa bertambah, berkurang, atau bergabung dengan koalisi lain.
Menurut Arsul, keputusan penggabungan, penambahan, atau peleburan akan bergantung pada kesepakatan soal capres dan cawapres. Sejauh ini, KIB, lanjut Arsul, belum menetapkan siapa capres dan cawapres. Dengan demikian, kemungkinan perubahan di KIB akan lebih besar ketika bergabung dengan parpol atau koalisi yang sama-sama belum menetapkan atau sudah menetapkan, tetapi masih mungkin berubah.
Ia mencontohkan Golkar yang meskipun hasil Musyawarah Nasional menetapkan Airlangga Hartato sebagai capres, partai tersebut tetap cair dan tidak memaksakan kehendak saat berkomunikasi dengan KIB.
”Begitu pula Gerindra dan PKB yang belum mendeklarasikan capres-cawapres. Artinya, kalau capres-cawapresnya bukan harga mati, ya masih terbuka kemungkinan lain. Setidaknya masih bisa dimusyawarahkan. Beda jika sudah harga mati, itu akan susah,” ujar Arsul.
KIB yang bersikap terbuka sejak awal juga disampaikan Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno. Kendati pertemuan Muhaimin dan Airlangga dinilainya sebatas silaturahmi politik, Eddy mengatakan, PAN dan KIB terbuka apabila PKB ingin bergabung.
Wakil Sekretaris Jenderal PKB Syaiful Huda pun mengatakan, Muhaimin dan Airlangga tidak membicarakan peleburan koalisi dalam pertemuan mereka. Walakin, Huda mengatakan, PKB tidak menutup kemungkinan soal itu lantaran politik sangat dinamis. Dinamika itu, lanjut Huda, dilambangkan sarung berwarna hijau dan kuning yang diberikan Airlangga kepada Muhaimin.
”Sarung, kan, motifnya banyak warna. Kalau ada motif berwarna hijau bercampur kuning atau sebaliknya, sarungnya jadi indah. Bisa dibaca indah atas peleburan, bisa juga indah karena saling jaga atas demokrasi,” kata Huda.
Adapun Gerindra juga terbuka dengan kemungkinan peleburan dengan KIB. Juru Bicara Gerindra Andre Rosiade mengatakan, kedua partai sejak awal sudah bersepakat akan terus berkomunikasi dan mengajak bergabung partai lain. Salah satu bentuknya adalah pertemuan antara Muhaimin dan Airlangga.
Penentuan capres dan cawapres apabila nanti terjadi peleburan, Andre mengatakan, akan dibicarakan lebih dulu. Sebelum terjadi peleburan atau ada parpol lain yang bergabung pasti akan ada diskusi terkait mekanisme pengambilan keputusan di koalisi.
”Sebelum berkoalisi tentu akan dibicarakan bagaimana mekanisme pengambilan keputusan. Kalau Gerindra dan PKB sudah jelas, Prabowo dan Muhaimin yang menentukan. Kalau ada yang mau berhabung, pasti dibicarakan lebih dulu soal itu,” kata Andre.
Pada intinya, lanjut Andre, Gerindra menyambut gembira apabila ada parpol lain yang ingin bergabung koalisi. Kuncinya hanya dua, yaitu parpol harus berkomitmen pada Pancasila, Undang-Undang Dasar, dan NKRI. Selain itu, parpol juga harus mau membicarakan soal mekanisme pengambilan keputusan.
Tantangan koalisi gemuk
Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam mengatakan, peleburan KIB dan KKIR dimungkinkan untuk menghadirkan mesin politik yang lebih besar. Namun, peleburan itu masih akan dihadapkan pada tantangan penentuan siapa capres dan cawapres ideal yang hendak ditawarkan kepada rakyat.
Semua itu bisa menjadi bahan negosiasi untuk saling meyakinkan masing-masing partai di dalam finalisasi koalisi yang rumit.
Sebab, lanjut Umam, efektivitas mesin koalisi akan ditentukan oleh seberapa politically marketable tokoh yang diusung. Namun, ada cukup banyak strategi dan pendekatan untuk negosiasi dalam koalisi, mulai dari pembagian portofolio jatah kursi menteri, kompensasi logistik politik, komitmen pengamanan hukum, komitmen dukungan pemilihan kepala daerah di wilayah-wilayah strategis, hingga pembagian jatah posisi yang lebih rendah seperti komisaris BUMN dan posisi duta besar.
”Semua itu bisa menjadi bahan negosiasi untuk saling meyakinkan masing-masing partai di dalam finalisasi koalisi yang rumit,” ujar pengajar Ilmu Politik dan International Studies di Universitas Paramadina ini.
Umam juga mengingatkan, koalisi yang gemuk tidak akan menjamin kemenangan. Figur kandidat presiden dan wakil presiden adalah kuncinya. Jika kedua sosok itu bisa memenangkan hati, pikiran, dan suara rakyat, kemenangan sudah ada di depan mata meski ditopang oleh koalisi yang lebih kecil.
”Pengalaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pilpres 2004 yang berhadapan dengan petahana Presiden Megawati adalah contoh jelas bagaimana kemenangan koalisi kecil bisa terjadi,” kata Umam.
Begitu pula pengalaman kemenangan Joko Widodo di Pilpres 2014. Saat itu Jokowi didukung oleh PDI-P, Nasdem, PKB, dan Hanura. Jokowi menang atas Prabowo yang didukung oleh koalisi dari partai-partai besar yang terdiri dari Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Golkar.
Menurut peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati, faktor kegagalan koalisi gemuk di Pilpres 2014 adalah memori publik terhadap rekam jejak politik beberapa parpol koalisi pemerintahan sebelumnya. Hal itulah yang kemudian membuat mayoritas pemilih berpaling ke kubu koalisi Jokowi-JK yang notabene dianggap sebagai simbol harapan baru saat itu.
”Koalisi dengan banyak parpol idealnya diterapkan di sistem parlementer daripada presidensialisme. Hal itu karena mereka bisa mengunci posisi eksekutif lewat jalur legislatif,” kata Wasis.
Koalisi dengan banyak parpol idealnya diterapkan di sistem parlementer daripada presidensialisme. Hal itu karena mereka bisa mengunci posisi eksekutif lewat jalur legislatif.
Tantangan lain dengan koalisi gemuk dalam sistem presidensialisme seperti di Indonesia adalah parpol kadang kalah populer dengan figur.
Ada pula potensi kemunculan free rider atau penumpang gelap yang bisa berupa individu atau kolektif. Mereka, lanjut Wasis, mempunyai kepentingan sendiri dalam koalisi. Hal ini yang kadang membuat mesin koalisi gemuk kadang tidak maksimal.
Meski demikian, koalisi gemuk juga memiliki kelebihan. Salah satunya ialah rancangan undang-undang atau regulasi lain yang diusulkan dari eksekutif pada legislatif memiliki kemungkinan besar untuk disetujui.